Langit siang itu mendung, angin berembus lembut membelai rambutku saat aku diam menatap halaman sekolah dari atap gedung tua yang tak banyak orang tahu. Tempat ini jadi pelarianku setiap kali dunia terasa terlalu berat untuk ditanggung. Tapi siang itu, aku tak sendiri.
“Akhirnya ketemu juga,” suara berat itu membuatku tersentak.
Aku menoleh. Dia berdiri di dekat pintu besi yang setengah berkarat, bersandar santai dengan tangan dimasukkan ke saku celana. Jaket almamaternya setengah dikenakan, dan mata tajamnya mengamatiku, seolah sudah lama tahu aku suka menyendiri di sini.
“Ryan...” bisikku, separuh gugup.
“Udah kuduga kamu lagi kabur dari semuanya,” ucapnya, melangkah mendekat. “Dibully lagi?”
Aku mengangguk pelan, menunduk. Aku tak sanggup menatap matanya lebih lama.
Mereka geng Geisha dan teman-temannya kembali mengerjaiku tadi pagi. Melempar bukuku ke tong sampah, menyebutku pecundang, dan menertawakan tugas seni yang kubuat semalam suntuk.
“Aku capek, Ry...” suaraku nyaris tak terdengar. “Kenapa mereka selalu ngejar-ngejar aku?”
Ryan duduk di sampingku, memandangi langit yang semakin kelabu. “Karena mereka pengecut. Dan pengecut selalu takut sama orang yang beda.”
Aku diam, mendengarkan napasnya yang tenang di antara hembusan angin.
“Kalau kamu butuh tempat sembunyi, aku bisa jadi tempatnya,” lanjut Ryan. “Tapi kalau kamu mau bangkit, aku juga bisa jadi tameng di depanmu.”
Aku menoleh padanya, mata kami bertemu.
“Kenapa kamu peduli?” tanyaku pelan.
Dia menghela napas dan tersenyum miring. “Karena kamu satu-satunya orang yang pernah senyum ke aku waktu semua orang liat aku kayak monster. Kamu nggak takut sama cap berandalan yang nempel di aku. Jadi, sekarang giliran aku yang jaga kamu.”
Dadaku menghangat. Bukan karena kata-katanya manis, tapi karena aku tahu dia tulus.
Hari-hari setelah itu, segalanya berubah. Geisha dan gengnya mulai mundur perlahan. Mereka tahu, setiap kali mereka coba menggangguku, Ryan selalu muncul entah dari mana, menatap mereka dengan tajam dan membuat mereka gentar.
Aku bukan lagi gadis yang lari ke atap untuk menangis. Aku jadi lebih kuat. Karena setiap kali aku nyaris jatuh, aku tahu ada seseorang yang berdiri di belakangku. Bukan untuk menuntunku, tapi untuk melindungiku.
Dan semuanya bermula... dari pertemuan kita di atap sekolah.