Eka berdiri diam di bawah pohon akasia halaman sekolah, menatap Geisha yang sedang tertawa kecil dengan Rafa di tangga mushola. Ia sudah menunggu momen ini selama dua minggu momen untuk menyatakan perasaan. Hari itu langit sedikit mendung, seperti hatinya yang gelisah.
Geisha, cewek ceria yang selalu membuat Eka lupa caranya marah, berjalan mendekat. Eka menunduk sejenak, mencoba mengatur detak jantungnya.
“Geisha…” gumam Eka pelan, nyaris tak terdengar.
“Iya, Ka? Kenapa manggil serius gitu?” Geisha menyandarkan punggungnya ke pohon, tersenyum datar.
Eka menggenggam kertas yang tadi dia tulis. Tapi sekarang, dia buang saja niatnya untuk membacakan isi surat itu. Dia memilih jujur dari hati.
“Aku suka sama kamu. Udah lama. Tapi aku baru berani ngomong sekarang.”
Geisha terdiam. Lalu dia menatap Eka tajam. Bukan tatapan malu atau terkejut. Tapi... dingin. “Kamu serius, Ka?”
“Iya. Serius banget.” Senyum Eka gugup.
Tapi Geisha tertawa... bukan yang manis. Lebih seperti tawa mengejek. “Ka… kamu pikir aku bakal suka sama cowok kayak kamu? Yang doyan tawuran, yang tiap hari dihukum BP?”
Eka membeku. Matanya langsung berubah redup.
“Kamu bukan tipe aku. Aku udah cukup dekat sama Rafa, dan dia bilang… kamu itu toxic. Nggak bisa dipercaya. Banyak muka. Dan aku percaya dia.” Nada Geisha semakin tinggi, tanpa sadar mulai menyakiti.
“Jadi kamu milih percaya Rafa… orang yang bahkan selalu ngomongin cewek-cewek lain di belakangmu?”
Geisha menyipitkan mata. “Jangan bawa-bawa Rafa. Setidaknya dia nggak fake kayak kamu. Gue nggak butuh orang kayak lo di hidup gue, Ka. Dan mulai sekarang… jangan deket-deket gue lagi.”
Deg.
Itu bukan cuma penolakan. Itu pemutusan hubungan. Hancur semua pertemanan mereka selama ini. Eka diam. Tak tahu harus berkata apa. Kata-kata seperti lumpur masuk ke mulut, menyesakkan.
Geisha melangkah pergi. Meninggalkan Eka sendirian di bawah pohon yang kini terasa seperti nisan bagi hatinya.
Eka tidak menangis.
Tapi sejak hari itu, dia tak pernah lagi menyapa Geisha. Bahkan tak melihat ke arahnya. Di kelas, di kantin, bahkan saat Geisha sendiri yang menatap Eka dari jauh mencari sesuatu yang tak dia sadari telah dia buang.
Eka kembali jadi dirinya yang lama. Dingin. Keras. Tapi kali ini, bukan karena masalah rumah, atau lingkungan. Tapi karena satu hal sederhana: dia sudah tidak percaya lagi dengan yang namanya “rasa suka”.