Jun bukan cowok populer. Bukan juga ketua geng, apalagi anak basket yang semua cewek suka. Tapi hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jun memberanikan diri menyatakan perasaannya ke Alya siswi cantik, pintar, dan ketua OSIS yang jadi pusat perhatian sekolah.
Semua orang ada di lapangan waktu itu. Hari upacara. Jun nekat maju ke depan kelas Alya, bawa sebuket bunga yang kelihatan agak layu karena sembunyi di tas seharian.
“Alya…” suara Jun bergetar, “aku suka kamu. Mau nggak jadi pacarku?”
Hening. Mata semua orang tertuju padanya. Bahkan suara jangkrik pun kalah nyaring dari detak jantung Jun.
Alya mengangkat alis. Senyum tipis menghias wajahnya—tapi bukan senyum bahagia.
“Jun… Kamu siapa ya?” katanya keras, cukup buat satu lapangan denger.
Tawa pun pecah. Bukan karena lucu, tapi karena kejam. Jun berdiri kaku, wajahnya merah campur pucat. Seperti mimpi buruk yang ditayangkan di depan umum.
Sejak hari itu, semuanya berubah. Teman-teman sekelas mulai menjauh. Grup WhatsApp kelas mendadak hilang nama Jun. Di kantin, nggak ada yang mau duduk semeja dengannya. Bahkan guru pun seperti pura-pura lupa dia ada.
“Dia pikir siapa, nembak Alya? Cupu begitu…”
“Pede amat, kayak pahlawan film Korea gagal…”
Jun mulai jalan sendiri ke sekolah. Pulang pun sendiri. Di lorong sekolah, semua bisik-bisik kalau dia lewat. Dunia seperti mengecil, dan dia seperti makhluk asing yang nggak diinginkan siapa pun.
Tapi Jun nggak marah. Dia nggak nangis di depan umum. Dia cuma diam. Tatapannya kosong tapi tenang. Ada luka yang dalam, tapi nggak semua luka harus ditunjukkan ke dunia.
Sampai suatu hari, nama Jun muncul di papan pengumuman.
“Juara I Lomba Menulis Cerpen Tingkat Provinsi – Jun Saputra”
Baru orang sadar, Jun bukan cowok sembarangan. Cerpennya dibacakan di aula sekolah. Judulnya: “Tentang Gadis yang Menolak Matahari” cerita tentang seseorang yang bersinar dalam diam, tapi ditolak hanya karena tak masuk dalam definisi sempurna orang lain.
Alya duduk di barisan depan. Kali ini, dia yang tertunduk.
Satu per satu, mereka yang dulu menjauh mulai menyapa. Tapi Jun cuma senyum, singkat.
Karena dari semua hal yang dia pelajari, yang paling penting adalah: kadang kamu harus dibuang dulu, biar orang tahu kalau kamu berharga.