Malam di penginapan itu terasa sunyi. Suara angin yang berdesir melalui jendela kayu menjadi satu-satunya pengisi keheningan. Semua anggota kelompok sudah terlelap, kecuali satu orang.
Anari duduk di depan meja kecil, diterangi cahaya lilin yang bergoyang-goyang. Peta terbuka di hadapannya, bersama dengan catatan-catatan strategi yang ia tulis sendiri. Tinta masih basah di beberapa bagian, mencerminkan bagaimana pikirannya tak pernah berhenti bekerja.
Matanya menyapu garis-garis jalur yang ia rancang. Perjalanan ke Benteng Obscura tidak akan mudah. Mereka harus melewati lembah berbatu, menghindari serangan bandit, dan kemungkinan besar menghadapi pasukan dari Kekaisaran Atria yang masih mencari Catrina.
Namun, bukan rute yang membuatnya khawatir—melainkan orang-orang yang harus ia lindungi.
Catrina.
Niana.
Aleandro.
Rokan.
Theodore.
Mereka semua memiliki keunikan masing-masing. Kelebihan yang luar biasa, tetapi juga kelemahan yang bisa berakibat fatal jika tidak diperhitungkan dengan baik.
"Catrina terlalu impulsif. Niana mudah ragu. Aleandro sulit diatur. Rokan terlalu percaya diri. Theodore terlalu baik hati."
Anari menghela napas, meletakkan pena di samping catatannya. Ia bukan tipe orang yang menyukai kebersamaan. Namun, entah bagaimana, ia kini menjadi bagian dari kelompok yang bergantung padanya.
Setiap anggota kelompok memiliki pandangan sendiri tentang Anari sebagai perencana dalam tim.
Catrina selalu menganggap Anari luar biasa. “Kau itu jenius, Anari! Aku yakin kita tidak akan tersesat kalau mengandalkanmu!”
Tapi Catrina juga yang paling sering membuat rencana Anari berantakan dengan keputusannya yang spontan. Seperti saat mereka harus menyelinap ke kota Merc secara diam-diam, tetapi Catrina justru menantang seorang prajurit dalam duel terbuka.
Niana, di sisi lain, merasa sedikit canggung dengan Anari. Ia mengagumi kepintaran gadis itu, tetapi terkadang merasa kecil dibandingkannya. “Aku… tidak bisa berpikir secepat itu. Kau selalu tahu apa yang harus dilakukan.”
Aleandro? Dia lebih suka menggoda Anari setiap ada kesempatan. “Kau selalu serius, Anari. Jangan-jangan kau ini tidak bisa bersenang-senang?”
Tapi Anari tahu, Aleandro menghargai strateginya lebih dari yang ia tunjukkan.
Rokan sering berdebat dengannya. Pria gurun itu lebih mengandalkan naluri bertarung daripada perhitungan rumit.
“Anari, kau selalu terlalu banyak berpikir. Saat bertarung, kau harus bergerak, bukan berhitung.”
Anari akan membalas dengan dingin, “Jika aku tidak berpikir, kau semua sudah mati.”
Dan Theodore? Theodore tidak pernah menentangnya, tetapi juga tidak selalu setuju dengannya. Ia adalah satu-satunya yang benar-benar bisa mendengar kekhawatiran Anari, meski gadis itu tidak mengatakannya secara langsung.
Suara langkah kaki pelan terdengar. Anari tidak menoleh, ia tahu siapa itu.
Theodore duduk di seberangnya, menyilangkan tangan sambil menatap peta yang terbuka. “Kau belum tidur.”
Anari tetap diam. Ia tahu Theodore tidak perlu jawaban.
Theodore melanjutkan, “Kau selalu berpikir terlalu jauh. Aku mengerti. Tapi kau tidak bisa mengendalikan segalanya, Anari.”
Anari menatapnya dengan tatapan dingin. “Kalau aku tidak memikirkannya, siapa lagi?”
Theodore tersenyum tipis. “Kami semua ada di sini. Kau bukan satu-satunya yang peduli pada kelompok ini.”
Keheningan mengisi ruangan. Anari menatap peta itu, lalu dengan perlahan, ia menutupnya.
Theodore benar. Ia bukan satu-satunya yang peduli.
Untuk pertama kalinya sejak lama, Anari membiarkan pikirannya tenang. Ia meniup lilin di depannya dan berdiri.
Malam itu, ia tidur lebih awal.
Dan untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih ringan.