Aku adik bungsu dari seorang perempuan luar biasa bernama Chandra—satu-satunya kakak perempuanku, panutan dalam segala hal. Kami sangat dekat. Dia 3 tahun tahun lebih tua dariku, tak pernah sekalipun aku merasa jauh darinya. Kak Chandra adalah separuh hidupku. Tempatku bertanya, tempatku bersandar, tempatku pulang.
Dia adalah guru SD di sebuah sekolah swasta. Seorang wanita cerdas, percaya diri, blak-blakan kalau bicara, tapi hatinya luar biasa lembut. Dia tegas, tapi selalu ramah. Teman-temannya menghormatinya, murid-muridnya menyayanginya, dan aku—aku mengidolakannya.
Kak Chandra punya seorang putri cantik bernama Riris, baru delapan tahun. Anak manis yang mewarisi senyum ibunya.
Aku masih ingat jelas malam itu.
Kita video call seperti biasa. Kakak terlihat ceria, bahkan sempat tertawa saat aku menceritakan kejadian lucu. Tidak ada yang aneh. Tidak ada tanda sakit. Dia masih sempat menanyakan kabar Mama, menasihatiku agar istirahat cukup, dan seperti biasa, menutup percakapan dengan, “Jaga diri ya, Dek. Kakak sayang Usu.”
Pagi harinya, semuanya runtuh.
Aku dikejutkan dengan kabar dari keluargaku. “Kak Chandra sakit. Tiba-tiba. Tidak bisa duduk, tidak bisa bicara, bahkan mulutnya tak bisa terbuka.”
Aku membeku.
Bagaimana bisa? Semalam dia baik-baik saja. Tidak ada keluhan. Tidak ada tanda.
Keluarga membawanya ke rumah sakit. Dari sana, semuanya seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Hari demi hari, kondisi Kak Chandra memburuk. Dokter belum bisa memastikan apa penyebabnya. Kami hanya bisa menunggu dan berharap. Tapi waktu terus berjalan, dan harapan kami perlahan redup.
Di ranjang itu, Kakak terbaring lemah. Tak lagi bisa bicara. Tapi aku tahu dia mendengar. Aku terus menggenggam tangannya, berbicara pelan sambil menahan air mata. Di sampingku, Mama duduk memeluk Riris yang kebingungan. Wajah kecil itu mencari-cari ibunya yang tak lagi mampu memeluknya.
Dua minggu. Hanya dua minggu sejak video call itu.
Tepat di hari ke-14, Kak Chandra pergi. Untuk selamanya.
Dunia runtuh. Aku tak bisa bernapas. Suara tangis Mama menggema di seluruh rumah mama baru saja kehilangan ibunya, sekarang kehilangan anaknya aku tau mamaku pasti sangat hancur tapi dia berusaha tegar. Riris memeluk bonekanya, matanya kosong. Dan aku... hanya bisa memandangi wajah kakakku yang tenang, tak bergerak, tak akan pernah menjawab lagi.
Tidak... Aku belum siap.
Aku belum sempat mengucapkan terima kasih atas semua yang dia lakukan untukku. Aku belum sempat bilang betapa aku mencintainya lebih dari yang pernah kukatakan. Aku belum siap menjalani hidup tanpanya.
Kini, rumah kami berbeda. Sepi. Tak ada lagi suara tawa Kak Chandra, tak ada lagi nasihat bijaknya, tak ada lagi candaannya yang khas.
Di kamarnya, aku menemukan buku catatannya. Di halaman pertama tertulis:
"Hidup tidak bisa diprediksi. Tapi selagi masih bisa tertawa dan mencintai, lakukanlah dengan sepenuh hati."
Itu dia. Itulah Kakakku.
Tegas, tapi penuh cinta. Blak-blakan, tapi menguatkan. Kuat, tapi selalu ada untuk orang lain.
Kini, aku hanya bisa meneruskan jejaknya—mencintai Riris seperti dia mencintainya. Menjaga Mama seperti dia menjaganya. Dan menjadi perempuan kuat, seperti dirinya.
Kak, terima kasih karena telah jadi kakak terbaik di dunia. Aku sayang Kakak. Dan akan terus merindukanmu... setiap hari.
Selesai 🤍