Hujan turun pelan di luar jendela. Malam itu terasa biasa saja—tak ada kilat, tak ada badai—tapi pikirannya porak-poranda. Tubuhnya letih, matanya sembab, dan di dadanya… ada ruang kosong yang tak bisa dijelaskan.
Ia menarik selimut hingga ke leher, berharap tidur bisa memberinya sedikit ketenangan. Tapi ia tak menyangka—mimpi itu datang.
Ia berdiri di tempat yang terasa akrab. Langit berwarna jingga, lantai kayu yang hangat, dan tawa… tawa yang sudah lama ia kenal.
Di sana, ia melihatnya.
Gadis itu.
Seseorang yang dulu hanya ia tatap dari kejauhan.
Seseorang yang dulu ia rindukan dalam diam—tanpa pernah bisa ia miliki.
Tak ada kata yang terucap.
Mereka hanya tertawa.
Seperti dua anak kecil yang melupakan kerasnya dunia orang dewasa.
Tak ada luka. Tak ada beban. Hanya kebahagiaan polos yang sulit dijelaskan.
Namun perlahan, dunia itu mulai memudar.
Warnanya memucat.
Suaranya mengecil.
Dan ia tahu… waktunya bangun.
Dengan mata terbuka, ia menatap langit-langit kamar yang gelap. Jantungnya berdetak kencang—bukan karena takut, tapi karena perih yang diam-diam datang.
“Kenapa harus kamu yang datang? Saat aku sudah sejauh ini tumbuh?”
Ia ingin marah pada dirinya sendiri. Tapi kemudian… ia terdiam.
Dan dalam diam itu, ia akhirnya paham.
Bahwa semua ini bukan tentang gadis itu.
Ini tentang dirinya sendiri.
Ia duduk di pinggir ranjang, memeluk dirinya sendiri.
Lalu ia bicara—bukan pada mimpi, bukan pada kenangan—tapi pada bagian kecil dalam dirinya yang dulu pernah mencintai diam-diam.
“Lucu ya... Kita tumbuh, kita berubah,
Tapi kenangan kadang tetap tinggal di tempat.
Kita jatuh cinta lagi, menjalani hidup,
Tapi sesekali… hati kita menoleh ke belakang, bukan untuk kembali,
Hanya untuk memastikan: kita baik-baik saja.
Aku bukan lagi orang yang dulu menangis diam-diam karena kamu.
Tapi aku juga bukan orang yang pura-pura lupa kamu pernah ada.
Aku sudah berubah. Lebih tenang.
Tapi bagian dari diriku yang pernah mencintaimu…
Tetap ada di sana—duduk diam, tidak bersuara, hanya mengingat.
Dan itu tidak apa-apa.
Tidak semua kenangan harus dilupakan.
Beberapa cukup disayangi… dari kejauhan.
Karena aku akan terus melangkah.
Terus tumbuh.
Selama aku tidak lupa
Siapa aku dulu,
Dan siapa yang pernah membuatku ingin jadi lebih baik.”
Ia tersenyum kecil, meski matanya masih berkaca.
Lalu memejamkan mata.
Dalam benaknya, ia melihat gadis itu berlari, tertawa, lalu perlahan memudar dalam cahaya hangat.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
Ia berani berkata:
“Bintang lama di langitku… selamat malam.
Terima kasih sudah bersinar di waktumu.
Kini, aku melangkah lagi… menyusuri langit yang baru.”
TAMAT