Hari itu hujan turun sejak pagi. Langit mendung, dan Jakarta seakan malas bangun. Di tengah kesibukan jalanan yang tergenang, seorang gadis berdiri di bawah halte tua, menggenggam map biru yang mulai basah di ujungnya.
Namanya Nayla. Usianya dua puluh tiga. Ia sedang dalam perjalanan wawancara kerja yang sangat penting. Tapi, ojek online yang ia pesan tak kunjung datang, dan payungnya tertinggal di rumah kontrakan.
“Lupa bawa payung ya?”
Suara itu datang dari seorang laki-laki yang berdiri tak jauh darinya. Tingginya sekitar 180 cm, rambutnya sedikit berantakan, dan senyumnya… hangat.
Rafa, namanya. Orang asing yang menawarinya tempat berteduh di bawah payung biru miliknya.
"Bareng aja, halte ini sempit banget," katanya, sambil mengangkat payungnya ke arah Nayla.
Awalnya Nayla ragu, tapi hujan semakin deras, dan ujung map-nya sudah mulai basah. Ia mengangguk pelan, lalu berjalan mendekat.
Sepanjang 10 menit mereka berdiri bersama, obrolan kecil pun terjadi. Tentang cuaca, tentang nasi goreng langganan di dekat halte, dan tentang pekerjaan impian.
“Aku pengen buka taman baca gratis,” kata Rafa, “Biar anak-anak jalanan juga bisa punya mimpi.”
Nayla terdiam. Tak menyangka lelaki asing ini punya visi yang sama dengan dirinya.
“Kalau nanti kamu buka, boleh aku bantu jadi relawan?” tanyanya sambil tersenyum malu.
Rafa membalas dengan tawa kecil. “Kalau nanti? Kenapa nggak mulai dari sekarang?”
Tiba-tiba, notifikasi di HP Nayla berbunyi. Interview-nya dibatalkan karena HRD-nya mendadak sakit.
“Wawancara aku batal,” ucap Nayla lesu.
Rafa menoleh, “Berarti kamu punya waktu buat sarapan?”
Dan sejak saat itu, pagi mereka diisi dengan nasi goreng hangat dan kopi di warung kecil dekat halte. Obrolan mereka tidak berhenti. Seperti dua orang lama yang saling menemukan kembali.
---
Tiga tahun kemudian, taman baca impian mereka berdiri.
Payung biru itu kini tergantung di dinding ruangan sebagai simbol pertemuan mereka.
Dan hari itu, di hari ulang tahun Nayla ke-26, Rafa berdiri di depan rak buku anak-anak dengan satu kotak kecil di tangannya.
"Nayla," katanya sambil menatap mata gadis itu, "Kamu mau jadi bagian dari cerita hidupku selamanya?"
Nayla tertawa pelan. “Janji ya, hujan atau tidak, kamu tetap pegang payung birunya?”
Rafa mengangguk. “Sampai kapan pun.”