Malam itu panas. AC rusak. Lampu dapur masih nyala, padahal dari tadi sore udah dia matiin tiga kali. Tapi tiap kali balik, nyala lagi sendiri. Entah listriknya error, atau emang rumah ini bangsat.
“Nah, bagus. Lampu setan,” dia gumam sambil lempengin sendok di wastafel. Ujung sendoknya bengkok, kayak bekas dipake colok-colok sesuatu yang bukan makanan.
Jam udah pukul 2.45 pagi. Dia belum tidur, belum makan, belum mandi. Mukanya lengket, rambut kayak karpet keset toilet.
Handphone berdering. Lagi-lagi. Nama kontak: “Jangan Diangkat.”
Dia angkat.
“Aku di luar. Bukain pintu.”
Suara cowok. Dingin. Nggak ada nada minta tolong. Lebih ke... perintah.
“Ngapain anjing lo dateng jam segini?” dia ngebales datar, tapi kakinya udah gerak ke arah pintu. Buka slot kecil. Kelihatan. Cowok itu. Kaosnya robek dikit di bagian lengan. Lehernya ada luka. Entah kena besi, entah digigit anjing liar.
Dia buka pintu.
Cowok itu masuk tanpa permisi. Ngelewatin dia, duduk di sofa, ngeluarin rokok dari jaket yang sobek-sobek.
“Lo berdarah.”
“Gue tau.”
“Siapa?”
Cowok itu diem. Tarik napas. Buang asap.
“Ayah gue.”
Sunyi.
“Lo bisa mati kalo balik,” dia ngomong sambil nyari kotak P3K. Tangan dia gemeter, bukan karena takut. Tapi karena udah terlalu sering liat cowok ini berdarah-darah dan tetap balik lagi ke sumbernya.
“Gue juga bisa mati kalo diem di sini kelamaan,” balas cowok itu. Sambil senyum kecil. Matanya merah. Bukan karena nangis. Tapi capek. Kayak udah tidur di ranjang trauma sejak lahir.
Sambil bersihin luka itu, dia ngeliat dada cowok itu. Ada lebam baru. Bukan bekas jatuh. Ini bekas sepatu. Sepatu kulit. Satu sisi doang. Kiri.
“Ayah lo pake sepatu kiri doang?”
“Biasa gitu. Katanya kanan buat ke masjid. Kiri buat ke neraka.”
Dia ketawa kecil. Ngeri. Geli. Muak.
“Lo sayang nggak sih sama diri lo?” tanyanya pelan.
“Gue sayang lo.”
“Bukan jawabannya, Bangsat.”
Dia berdiri. Ambil air. Minum. Balik badan. “Lo tidur aja sini. Tapi jangan mikir aneh-aneh.”
“Gue nggak mikir. Gue ngerasa.”
“Lo ngerasa apa?”
Cowok itu berdiri. Jalan pelan. Deketin dia. Tangan berdarahnya sentuh pinggang.
“Gue ngerasa kalo malam ini... kita nggak harus sendiri.”
Detik itu, ruang jadi hening. Nggak ada suara motor. Nggak ada suara kipas. Nggak ada suara hati nurani juga.
Dia diem. Nggak nolak. Tapi juga nggak nyambut. Cuma berdiri.
Ciuman itu datang tiba-tiba. Nggak manis. Nggak lembut. Lebih ke... putus asa. Udara panas. Bibir dingin. Lidah penuh rasa besi. Tapi tetap—dia nggak dorong cowok itu. Nggak bilang “berhenti.” Mungkin karena dia juga capek. Sama kayak cowok itu.
Dan akhirnya... ya, mereka jalanin juga. Di sofa bau, di rumah sewa, di jam 3 pagi. Tanpa cinta. Tapi juga tanpa benci.
Pas selesai, cowok itu peluk dia dari belakang. Tangannya masih luka. Tapi sekarang diem. Tenang. Damai kayak anak bayi yang akhirnya bisa tidur.
Dia cuma tatap langit-langit. Mata masih melek.
“Lo bakal balik ke rumah lo besok?” bisiknya.
“Enggak. Gue mau mati di sini.”
“Jangan nyebelin.”
“Gue serius.”
Dia narik napas. Panjang. Berat.
“Kalau lo mati di sini, gue ikut.”
Cowok itu nggak jawab.
Tapi senyumnya kerasa di tengkuk.