Tiga tahun yang lalu, masihkah kau mengingatnya? Kala itu, di bulan Januari tahun 2022, semesta mempertemukan kita dengan cara yang paling tidak terduga. Sebuah kebetulan yang terasa seperti takdir. Tak ada aba-aba, tak ada tanda-tanda, hanya dua jiwa yang dipertemukan oleh waktu dan keadaan.
Pertemuan pertama itu begitu sederhana, namun entah mengapa mampu membuat hatiku berbunga-bunga. Senyummu, caramu berbicara, hingga caramu melihat dunia—semuanya terasa begitu hangat. Aku mengingat jelas perasaan girang yang tak bisa kujelaskan ketika pertama kali mengenalmu. Seolah semesta sedang bermain peran, menjadikan kita sepasang tokoh utama dalam kisah yang belum tertulis.
Hari demi hari berlalu, dan akhirnya, tanpa sadar, kita menyepakati satu hal: menjalin hubungan, memberi nama pada kedekatan itu. Kita berpacaran. Namun, seperti halnya bunga yang mekar cepat tapi layu lebih cepat, hubungan kita pun tidak berjalan lama. Lima bulan setelah itu, semua berubah. Kita tidak lagi sejalan. Kata demi kata yang dulu membawa tawa kini hanya memicu perdebatan. Hingga akhirnya, kita memutuskan untuk selesai.
Sakit? Tentu. Tapi hidup terus berjalan. Pada akhirnya, pepatah lama “people come and go” terbukti nyata. Kita kembali menjadi dua orang asing setelah sebelumnya begitu bising dengan cerita dan mimpi. Yang tersisa hanyalah kenangan yang perlahan memudar, dan mungkin, luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Waktu berlalu begitu cepat. Hingga pada Mei tahun 2024, tak kusangka, kamu kembali hadir dalam hidupku. Bukan sebagai kekasih, bukan pula sebagai orang yang ingin kembali, tapi sekadar seseorang yang ingin menyapa dan berbagi cerita lama. Kita kembali menjalin komunikasi, kali ini tanpa status, tanpa label, tanpa janji-janji manis. Namun anehnya, kehadiranmu kembali membawa warna. Kita kembali merangkai kenangan, meski tahu bahwa tak ada masa depan yang menanti.
Bulan demi bulan berlalu, dan kini, di Juni tahun 2025, tibalah saat yang mungkin bisa disebut sebagai pertemuan terakhir kita. Rasanya masih sama seperti dulu—hangat, namun penuh bayang. Di balik tawa dan senyum saat bertemu, aku tahu ada sesuatu yang bersembunyi: perpisahan.
Bukan karena marah, bukan pula karena benci. Hanya karena takdir tidak menuliskan akhir bahagia untuk kisah kita. Masing-masing dari kita memiliki tujuan, impian, dan arah yang berbeda. Kita harus berpisah, bukan karena gagal, tapi karena kita harus tumbuh. Aku tahu, setiap orang berhak untuk meraih impiannya, dan jika itu berarti harus berjalan tanpa saling menggenggam, maka biarlah begitu.
Tak ada yang perlu disesali. Semua sudah tertulis sebagaimana mestinya. Dan hari ini, aku hanya ingin menyampaikan satu kalimat yang mungkin tak sempat terucap saat kita bertemu terakhir kalinya:
"Selamat berkelana, wahai orang yang pernah kuanggap spesial."
Terima kasih sudah pernah singgah di hidupku. Terima kasih atas tawa, tangis, dan pelajaran yang kau tinggalkan. Aku harap semesta mempertemukanmu kembali dengan kebahagiaan yang selama ini kau cari. Dan bila suatu saat takdir mempertemukan kita lagi—meski bukan sebagai pasangan—aku harap kita bisa saling tersenyum tanpa menyimpan luka. Karena pada akhirnya, kamu tetap menjadi bagian dari perjalananku yang paling berharga.