Hujan rintik-rintik turun pelan sore itu, membasahi peron stasiun tua yang mulai dimakan usia. Di ujung bangku kayu panjang yang catnya mulai terkelupas, duduk seorang wanita dengan payung lipat tergeletak di samping kakinya. Rambutnya yang memutih diikat rapi, gaunnya sederhana, dan di pangkuannya ada bunga kamboja putih yang mulai layu.
Namanya Raisa. Setiap hari, sejak puluhan tahun lalu, ia datang ke stasiun ini tepat pukul 16.05. Waktu keberangkatan kereta terakhir yang membawa Arga, lelaki yang ia cintai, ke medan perang yang tak pernah mengizinkan pulang.
Raisa masih ingat hari itu dengan jelas, seolah tak pernah jauh dari ingatannya. Arga mengenakan seragam cokelat lusuh, ransel besar di punggungnya, dan senyum paksa yang berusaha menyembunyikan ketakutan. Mereka tak sempat berciuman, hanya saling menggenggam tangan sekuat tenaga seakan ingin menahan waktu.
> "Aku akan kembali sebelum bunga kamboja yang kau tanam di halaman rumah mekar," ujar Arga sambil tersenyum.
Namun bunga-bunga itu telah mekar, gugur, dan tumbuh kembali—berkali-kali. Sedangkan Arga tak pernah menampakkan wajahnya.
Berita terakhir yang Raisa terima hanyalah sepucuk surat dari rekannya—bertuliskan kemungkinan gugur dalam pertempuran. Namun kata "kemungkinan" itu, entah bagaimana, membuat Raisa tak pernah menganggapnya benar-benar pergi. Ia memilih percaya bahwa Arga masih hidup, mungkin tersesat, mungkin terluka, atau... mungkin sedang berusaha keras kembali padanya.
Tahun demi tahun berlalu. Peron stasiun berubah. Kereta menjadi lebih cepat, warna dinding diperbarui, para penjual kopi silih berganti. Tapi bangku itu, dan wanita tua di ujungnya, tak pernah bergeser.
Beberapa orang mulai mengenalnya. Mereka menyapa, mengangguk penuh hormat, dan beberapa bahkan membawakannya payung jika hujan terlalu deras. Tapi Raisa hanya mengangguk kecil, matanya tetap terpaku pada rel.
Hari itu, seperti biasa, Raisa duduk tenang. Namun langit mendung seperti memeluknya lebih erat dari biasanya. Tangannya yang keriput menggenggam bunga kamboja dengan erat, dan napasnya perlahan-lahan menjadi berat.
Seorang petugas stasiun mendekat, melihat wajah Raisa yang teduh namun mulai pucat. Ia panik, lalu memanggil bantuan. Tapi sebelum siapa pun bisa menyentuhnya, Raisa sempat berbisik pelan, hampir tak terdengar:
> "Aku... sudah melihatnya tadi... Dia... akhirnya pulang..."
Senyum lembut menghiasi wajahnya. Matanya terpejam damai.
Hari itu, bangku stasiun akhirnya kosong untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun. Namun bagi banyak orang, bangku itu akan selalu terasa penuh—penuh dengan kesetiaan, harapan, dan cinta yang tak pernah luntur oleh waktu.
---
Bangku itu kini dijadikan monumen kecil oleh warga kota. Sebuah plakat kecil tertempel di sandaran bangku, bertuliskan:
> "Di sinilah Raisa duduk menanti cinta sejatinya—tak sehari pun terlewat, hingga akhirnya mereka bertemu kembali di tempat yang hanya cinta tahu jalannya."