Kereta barang berhenti di luar gerbang pasokan sektor timur. Setelah menyelinap melalui jalur bawah, gang sempit, dan pipa tua, akhirnya mereka tiba di tempat yang dijanjikan Orin: sebuah pintu tersembunyi di balik sistem pembuangan kota.
Orin mengetuk pola lama—tiga kali pelan, dua kali cepat. Setelah beberapa detik, terdengar derit pelan, dan bagian dinding pipa berkarat terbuka. Seorang pria tua muncul, wajahnya dipenuhi keriput, tapi matanya tajam seperti seseorang yang hidup lebih dari satu kehidupan.
Ia menatap Orin lama. Lalu Riven. Lalu Lyra—sorot matanya membeku sejenak melihat kalung retak di lehernya.
Akhirnya, tatapannya jatuh pada Ares.
Diam. Lama.
“Kau,” gumamnya.
“Siapa kau?” tanya Ares.
“Bukan pertanyaannya yang tepat,” jawab pria itu. “Tapi... apa kau tahu siapa dirimu sendiri?”
Sebelum Ares menjawab, dunia seperti terlipat.
---
Ia jatuh.
Tidak secara fisik. Tapi batinnya seperti ditarik keluar dari dunia. Suara teman-temannya lenyap. Suara pria tua itu memudar.
Gelap.
Dan lalu...
Desanya.
Langit jingga. Angin sore. Kabut tipis menyelimuti rerumputan. Rumahnya berdiri utuh. Dapur masih mengeluarkan asap masakan. Suara ibu memanggil dari kejauhan.
Ia berdiri di tengah jalan tanah itu. Masih mengenakan pakaian perjalanannya. Tapi semuanya—begitu nyata.
“Ares!”
Ia menoleh.
Lyra—tapi lebih muda. Tak ada luka, tak ada debu. Ia berlari memeluknya. Ibunya menyusul dari belakang, tersenyum, wajahnya tenang dan hangat. Ayahnya keluar dari ladang, mengangkat tangan dan melambai.
Air mata Ares mengalir tanpa sadar.
“Apakah ini…?” bisiknya.
Hari-hari berlalu dalam kedamaian. Mereka makan bersama. Tertawa. Lyra memetik bunga liar dan menghias meja makan. Tidak ada perang. Tidak ada pelarian. Tidak ada kehilangan.
Tapi di sudut pikirannya—sesuatu salah.
Setiap pagi terasa sama. Kabut yang sama. Suara burung yang sama. Senyum ibunya… terlalu sempurna.
Dan setiap malam, Ares berdiri di depan cermin tua di kamarnya. Pantulannya selalu menatap balik, mata merah—**mata dirinya yang tahu**.
“Bangun,” bisik pantulan itu. “Ini bukan kenyataan.”
---
Ia mulai mencoba kabur.
Lari ke hutan. Lari ke batas desa. Tapi setiap kali melewati pagar—ia terbangun kembali di tempat yang sama.
Pagi. Rumah. Senyum. Makan siang.
Penjara yang menyamar sebagai rumah.
Akhirnya, di tengah mimpi yang mengulang itu, ia duduk di tepi sumur. Dan dari dalam air gelap, muncul suara:
> “Kalau kau tidak keluar sekarang... kau akan hilang selamanya.”
Ares menatap air itu dalam-dalam.
> “Kau tahu jalan keluarnya.”
Ia tahu. Tapi tak sanggup.
Hingga suatu malam, suara dari luar ilusi mulai menembus.
> “Ares! Bangun! Ini bukan dunia kita!”
Suara Orin.
> “Kau harus kembali! Jangan tinggalkan kami!”
Riven.
> “Ares… kalau kau benar-benar melindungiku… kembali padaku.”
Lyra.
Air mata Ares menetes di tangannya. Ia berdiri di tengah rumah. Lalu menatap ibunya, ayahnya, dan Lyra kecil. Semuanya tersenyum… berkedip tapi tidak berkedip.
“Maaf,” bisiknya.
Ia meraih pisau di meja dapur—dan menusuk jantungnya sendiri.
---
Ia bangun.
Tapi hanya sebentar. Dunia gelap, lalu kembali terang.
Desanya lagi.
“Tidak…”
Ia melakukannya lagi.
Dan lagi.
Setiap kali ia mengakhiri hidupnya dalam mimpi itu, ia kembali ke titik awal.
Sampai rasa sakit tak bisa dibedakan lagi dari kenyataan.
Sampai ia hampir menyerah.
Sampai—
Tangan menyentuh pundaknya.
Ares menoleh. Bukan Lyra kecil. Tapi Lyra yang ia kenal. Luka di pipinya. Debu di bajunya. Mata ungu dan merahnya bersinar kuat.
“Kau bukan sendirian.”
Di belakangnya, Orin dan Riven berdiri. Cahaya dari luar mimpi mulai retak di udara. Dunia ini, desa ini, rumah ini—mulai runtuh.
“Pilih kami,” kata Riven.
“Pilih sekarang!” seru Orin.
Ares memejamkan mata. Lalu berteriak:
“AKU PILIH KENYATAAN!”
Dunia meledak.
---
Tubuhnya terhuyung. Napasnya berat. Ia kembali.
Dalam ruangan batu tempat Elian berada.
Lyra memeluknya erat, gemetar. Orin di sisi lain, memegangi lengannya. Riven berlutut, wajah pucat karena telah memecah lapisan ilusi bersama Elian untuk menyusulnya.
Ares jatuh berlutut. Butuh waktu lama sebelum ia mampu bicara.
“Aku… aku tahu siapa aku,” gumamnya. “Aku bukan anak dari mimpi. Aku anak dari kehancuran—dan itu sebabnya aku harus bertarung.”
Elian mengangguk perlahan.
“Dan itu, Ares Kaelan… yang ingin aku pastikan.”
Ia berbalik. Menyalakan terminal holografik tua. Peta besar kota Zenthra muncul—dengan sorotan merah di bagian pusat menara Dharma.
“Karena yang kita hadapi selanjutnya… bukan hanya sejarah. Tapi ciptaan pertama mereka. Unit Eden.”
---
🌀 To be continued...