Langit sore itu berwarna jingga pucat, seperti cat air yang tercampur terlalu banyak putih. Kampus mulai sepi, hanya tersisa langkah-langkah mahasiswa yang tergesa ingin pulang sebelum hujan benar-benar turun. Alena masih duduk di sudut taman belakang gedung seni, menatap kosong pada kanvas yang belum ia sentuh sejak pagi.
Ia menyukai tempat itu. Sepi, tenang, dan jauh dari suara obrolan yang menurutnya terlalu bising untuk dunia yang ia cintai — dunia warna dan garis.
Hujan turun pelan. Rintik-rintiknya membasahi permukaan danau kecil di depan taman. Alena tidak tergesa untuk berlari ke bawah atap. Ia tetap diam, membiarkan gerimis menyentuh lengan bajunya. Baru saat angin membawa sedikit dingin ke dalam jaket tipisnya, ia bergerak—dan di sanalah, untuk pertama kalinya, ia melihatnya.
Seorang pria, duduk di bangku taman, satu-satunya bangku yang tidak terlindung dari rintik hujan. Ia mengenakan hoodie abu-abu, wajahnya tersembunyi sebagian oleh tudung, tapi ada sesuatu dari caranya duduk yang membuat Alena mematung. Tenang, seperti patung di museum, tapi bernapas.
Pria itu menoleh. Sekilas. Cukup untuk membuat mata mereka bertemu. Alena segera berpaling, jantungnya tiba-tiba berdebar. Ia tidak tahu mengapa.
Hujan mulai menebal. Pria itu berdiri perlahan, berjalan ke arahnya. Alena gugup, berpura-pura sibuk membereskan peralatan lukis yang sebenarnya sudah ia bungkus sejak tadi. Tapi langkah itu mendekat, lalu berhenti tepat di depannya.
“Lukisanmu belum selesai,” ucap pria itu dengan suara pelan, nyaris terkikis angin.
Alena menoleh. Ia menatap pria itu penuh tanya. “Kamu... ngelihatin dari tadi?”
Dia tersenyum tipis. “Bukan kamu. Kanvasmu.”
Alena diam. Bingung. Tapi entah mengapa, tidak merasa terancam.
Pria itu mengulurkan tangan, seperti ingin menyentuh kanvas yang tertutup plastik. “Kamu suka hujan?”
“Tidak,” jawab Alena cepat. “Tapi aku suka warnanya.”
Mata pria itu berbinar. Ia mengangguk pelan, lalu mundur satu langkah.
“Kalau begitu... kita sama.”
Sebelum Alena sempat bertanya apa maksudnya, pria itu berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan jejak basah di tanah berbatu. Ia tak menoleh lagi.
Alena menatap punggungnya hingga hilang di antara rimbun pohon. Ada sesuatu yang aneh di dadanya. Bukan perasaan takut. Bukan pula penasaran. Lebih seperti... alur cerita baru yang baru saja dimulai.
Dan sore itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Alena menggambar sesuatu yang berbeda di kanvasnya: siluet pria berjaket abu-abu di bawah hujan senja.
.......