Di sebuah kota kecil yang dikelilingi hutan pinus lebat, berdiri sebuah rumah sakit tua bernama RS Pelita Jiwa. Rumah sakit itu sudah tak beroperasi sejak lima belas tahun lalu, setelah kebakaran besar yang menewaskan puluhan pasien dan staf. Namun, anehnya, bangunannya masih utuh. Tidak terbakar, tidak rusak. Hanya kosong… dan gelap.
Arman, seorang mahasiswa jurusan jurnalistik, memutuskan menyelidiki rumah sakit itu untuk bahan skripsinya tentang bangunan-bangunan angker di Indonesia. Bersama temannya, Wina, mereka datang malam hari—karena menurut warga, makhluk-makhluk di sana hanya muncul setelah jam dua belas.
Ketika mereka masuk, semuanya tampak biasa saja. Debu tebal, bau lembap, dan dinding-dinding berjamur. Mereka menyalakan senter dan menyusuri koridor panjang. Lantai satu penuh ruang administrasi. Lantai dua ruang rawat pasien.
“Tuh kan, gak ada yang aneh,” kata Wina, meski matanya terus melirik ke belakang.
Namun, saat mereka hendak turun kembali ke lantai satu, Arman menunjuk sebuah tangga kecil di pojok lorong yang tertutup tirai robek. “Kita belum ke atas. Ayo, ke lantai tiga!”
Wina mengernyit. “Katanya cuma dua lantai. Gak ada lantai tiga.”
“Aku lihat ada tangga, tuh.”
Dengan ragu, mereka mendaki tangga sempit itu. Anehnya, saat melewati tiap anak tangga, udara semakin dingin. Saat sampai di atas, ruangan yang mereka temui begitu berbeda. Tidak seperti rumah sakit—lebih seperti rumah tua bergaya kolonial. Ada cermin besar, kursi goyang tua, dan boneka porselen berdiri menghadap tembok.
“Apa ini masih bagian rumah sakit?” tanya Wina, menggenggam lengan Arman erat.
Saat mereka melangkah masuk, pintu di belakang mereka tertutup sendiri dengan suara gedebuk! keras. Lampu senter mereka tiba-tiba mati.
Dan dari ujung ruangan, terdengar suara langkah kaki... pelan, berat, dan menyeret.
“Siapa itu?” panggil Arman.
Lalu terdengar suara tawa kecil, nyaring dan datar.
“Kalian gak seharusnya ada di sini…”
Cahaya senter kembali menyala sebentar, cukup untuk menampakkan sosok anak kecil tanpa mata berdiri di ujung lorong. Kepalanya terkulai ke samping, dan darah menetes dari mulutnya. Di dinding belakangnya tertulis dengan darah: "LANTAI INI TIDAK PERNAH ADA."
Arman dan Wina berlari kembali ke tangga, tapi tangganya kini sudah hilang. Hanya ada dinding kosong.
Mereka terjebak.
Dan malam itu, dua mahasiswa hilang tanpa jejak. Polisi menyisir seluruh bangunan, tapi tidak menemukan tangga yang dimaksud. Karena dalam denah resmi rumah sakit itu… memang hanya ada dua lantai.
........