Beberapa hari terakhir, aku sering bermain badminton. Awalnya hanya iseng, sampai suatu hari dua sepupuku, Isaac dan Axel, ingin ikut main. Kukira hanya mereka berdua, tapi ternyata mereka datang bersama dua temannya—Finn dan Savio. Aku tidak menyangka, tapi tetap bermain seperti biasa.
Selang dua minggu kemudian, aku bermimpi.
Dalam mimpi itu, aku berada di kelas yang asing—seolah baru saja naik tingkat. Aku duduk di barisan kedua. Di depanku ada seorang cowok dan cewek yang tak kukenal. Si cowok tiba-tiba menoleh dan berbisik kepadaku, katanya si cewek di sampingnya menyebalkan. Saat itu si cewek memakai crop top putih dan celana putih berbahan tipis—mungkin karena kehujanan, celananya terlihat sedikit nerawang.
Aku lalu berpindah duduk ke meja lain, bersebelahan dengan seorang cewek bernama Fira. Kami tak bicara banyak, tapi aku merasa cukup nyaman di sampingnya.
Di kelas itu ternyata ada Finn. Ia tampak ceria seperti di dunia nyata, suka bercanda dan penuh perhatian pada teman-temannya. Tapi di mimpi ini, ia terasa berbeda. Ada kehangatan dan ketulusan dalam sikapnya yang membuatku merasa tenang setiap kali melihatnya. Entah mengapa, rasanya seperti kami punya ikatan—lebih dari sekadar teman.
Suatu waktu, aku dan Fira keluar kelas untuk jajan. Saat kembali, aku bertemu Mbak Hilda—teman lamaku. Aku menyuruh Fira masuk duluan dan mengobrol sebentar dengan Mbak Hilda. Tapi saat aku masuk ke kelas, Fira sudah tidak ada. Kucari ke lantai satu—karena kelasku di lantai dua—namun tetap tak kutemukan. Aku kembali ke kelas dengan perasaan bingung.
Yang membuatku semakin tidak nyaman, di kelas itu para cewek seperti diwajibkan mengenakan hijab tetapi banyak yang tidak mengenakannya. Sementara aku saat itu tidak mengenakannya. Seorang guru laki-laki masuk ke kelas dan berjalan melewati kami. Teman-temanku yang juga tidak berhijab tampak biasa saja, tapi aku merasa risih—seperti ada sorot mata yang menilai, meski tak ada yang berkata apa-apa.
Guru itu bertanya nama-nama siswa yang lewat di depannya,termasuk aku. Saat itu juga, rasa bingung dan tidak nyaman semakin kuat. Aku ingin bersembunyi, tapi tak bisa ke mana-mana.
Hari-hari pun berlalu dalam mimpi itu, atau mungkin hanya terasa seperti itu. Tiba-tiba aku berada di luar—di tempat asing dan gelap, seperti hutan. Hujan turun deras. Aku bingung, tak tahu di mana. Di sampingku ada anak kecil bernama Shinta. Tak kukenal dia, tapi aku menjaganya seperti adikku sendiri.
Saat aku mulai merasa benar-benar tersesat dan putus asa… Finn muncul.
Ia datang menghampiri kami, wajahnya tenang dan matanya penuh perhatian. Ia tak berkata banyak, tapi kehadirannya seperti pelindung. Ia menolong aku dan Shinta keluar dari kegelapan itu. Kami berjalan bersama, perlahan hujan mulai reda. Finn berjalan di sisiku, meneduhiku dengan tubuhnya, dan menggenggam tanganku erat. Seolah berkata, “Tenang… kamu tidak sendiri.”
Akhir dari mimpi itu terasa damai.
Aku, Finn, dan Shinta—bersama.
Aman. Bahagia.
Dan bersamanya… aku merasa lebih dari sekadar teman. Seperti ruang kosong di hatiku mulai terisi perlahan olehnya.