Hujan turun perlahan di sore yang kelabu. Embun menggantung di ujung-ujung dedaunan, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba. Di sebuah kafe tua di sudut kota, seorang wanita duduk sendiri dengan secangkir cokelat panas. Namanya adalah Keyla, usianya tiga puluh dua tahun. Tatapannya menerawang jauh ke luar jendela, seolah menembus waktu yang telah lama berlalu.
Keyla tak tahu mengapa setiap hujan turun, dadanya terasa sesak. Ada rindu yang tak bernama, ada kehilangan yang tak pernah benar-benar ia mengerti. Ia selalu merasa sedang menunggu seseorang—seseorang yang entah siapa dan dari mana.
Hingga hari itu, suara lonceng pintu kafe berdenting pelan.
Seorang pria masuk, basah oleh hujan. Dia tinggi, berkulit terang, dengan sorot mata yang... asing namun familiar. Saat mata mereka bertemu, dunia seakan diam sesaat.
Keyla menggenggam cangkirnya erat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Entah kenapa, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya ingin menangis.
"Maaf, boleh saya duduk di sini? Semua meja penuh," ucap pria itu sopan sambil menunjuk kursi kosong di hadapannya.
Keyla mengangguk pelan. “Tentu.”
Pria itu tersenyum. “Namaku Arva.”
Keyla mengangguk sekali lagi, namun tak membalas nama. Bibirnya kelu. Tapi ada getar dalam dadanya yang sulit ia jelaskan. Ia tidak mengenal pria ini. Tapi tubuhnya… hatinya… mengingat sesuatu.
“Kau baik-baik saja?” tanya Arva.
Keyla menarik napas. “Aku… entah. Aku merasa kita pernah bertemu.”
Arva terdiam. Lalu tersenyum samar. “Mungkin saja. Mungkin… sudah sangat lama.”
Dan tiba-tiba semuanya mengalir begitu saja. Obrolan mereka mengalun seperti melodi yang sudah pernah dimainkan. Tak ada canggung. Tak ada kekakuan. Seolah mereka sudah saling mengenal selama ratusan tahun.
Hingga saat Arva berkata, “Aku pernah punya mimpi aneh.”
Keyla menoleh. “Mimpi apa?”
“Aku melihat seorang gadis di padang ilalang. Ia tertawa sambil berlari, dengan rambut panjang yang ditiup angin. Dan aku mengejarnya. Tapi aku tak pernah bisa menyusulnya. Dia akan hilang sebelum aku sempat menggenggam tangannya.”
Keyla membeku. Dadanya sesak. Air matanya menetes tanpa diminta.
“Aku juga pernah bermimpi seperti itu… Tapi dalam mimpiku, aku selalu menunggumu di sebuah dermaga. Kau pernah datang, lalu pergi lagi. Dan aku hanya bisa berdiri di sana, berharap kau kembali…”
Keduanya saling menatap. Hujan masih turun di luar sana. Tapi kini, bukan hanya langit yang menangis.
“Aku pikir… kita pernah hidup di masa lalu,” bisik Arva. “Dan kita tak pernah bisa bersama. Selalu ada yang memisahkan. Waktu. Takdir. Atau kematian.”
Keyla mengangguk pelan, wajahnya basah oleh air mata. “Aku merasa ini adalah hidupku yang kesekian. Dan setiap kehidupan… aku mencarimu. Tapi tak pernah bisa menemukanmu.”
Arva menggenggam tangannya. Hangat. Nyata.
“Mungkin ini adalah kehidupan terakhir kita,” ujarnya lembut. “Dan akhirnya… aku menemukanmu.”
Keyla mengatup bibirnya. “Kau ingat sesuatu?”
Arva mengangguk. “Sedikit. Aku pernah jadi pelaut. Aku berjanji akan kembali padamu, tapi aku mati di laut. Lalu aku jadi dokter muda di masa perang. Kau suster. Kita saling mencintai diam-diam, tapi kau mati tertembak. Lalu... kau jadi penulis, dan aku musisi. Tapi aku tertabrak mobil sehari sebelum pernikahan kita.”
Keyla memejamkan mata. Gambar-gambar itu datang dengan cepat. Wajah-wajah lama. Rasa sakit yang sama. Perpisahan yang selalu mendadak.
“Dan sekarang?” bisik Keyla.
“Sekarang, kita hidup di dunia yang tenang. Tak ada perang. Tak ada jarak. Tak ada alasan untuk tidak bahagia.”
Suara hujan mulai mereda. Di balik jendela, langit berwarna jingga. Senja datang dengan cahaya lembut, seperti memberkati dua hati yang akhirnya bertemu kembali.
“Kau percaya ini kehidupan kita yang terakhir?” tanya Keyla.
Arva tersenyum dan mencium punggung tangannya.
“Aku percaya. Karena untuk pertama kalinya… tak ada rasa takut kehilangan. Hatiku tenang. Seperti pulang ke rumah.”
Hari-hari setelah itu berlalu seperti mimpi yang akhirnya menjadi nyata. Keyla dan Arva menghabiskan waktu bersama, menjelajah kota kecil, membaca puisi di taman, menulis lagu, bernyanyi, menertawakan masa lalu yang tak pernah mereka pahami.
Mereka tak butuh banyak janji. Karena cinta mereka bukan soal kata-kata, tapi jiwa yang saling mengenali, bahkan ketika raganya tak lagi sama.
Dan ketika Keyla berdiri di depan altar dengan gaun putih sederhana, ia tahu: hidupnya telah mencapai tujuan. Bukan karena akhirnya menikah, tapi karena dalam keramaian dunia ini, Arva—lelaki dari kehidupan-kehidupan sebelumnya—menemukannya kembali.
Di malam pertama mereka sebagai suami-istri, saat hujan kembali turun lembut, Keyla berbisik di pelukan Arva:
“Jika kehidupan memang masih ada setelah ini, jangan cari aku lagi.”
Arva terkejut, menoleh padanya.
Keyla tersenyum, matanya berkaca-kaca.
“Karena aku tidak akan kemana-mana. Aku akan tetap di sini. Bersamamu. Sampai akhir waktu.”
Dan Arva tahu… kali ini, mereka tidak akan berpisah lagi.
---TAMAT---