Namaku Tania. Usia 27 tahun. Pekerjaanku sebagai kasir di sebuah swalayan membuat hidupku sederhana, tapi cukup. Tidak mewah, tapi aku merasa cukup. Cukup makan, cukup tempat tinggal, dan yang paling penting… cukup waras untuk tidak mengambil apa yang bukan milikku.
Suatu hari, aku bertemu dengan laki-laki bernama Arsen. Tingginya semampai, senyumnya teduh, dan pembawaannya tenang. Dia pelanggan tetap di tempatku bekerja. Setiap hari Kamis dan Sabtu, dia datang berbelanja, selalu dengan senyum dan kata-kata sopan. Entah kenapa, ada yang berbeda dari Arsen. Aku merasa nyaman, seperti sedang berbicara dengan seseorang yang sudah lama aku kenal.
Suatu kali, dia mulai berbicara lebih banyak. Tentang pekerjaannya, hobinya, bahkan anaknya yang baru bisa membaca. Aku tersenyum, mencoba menyimak, hingga satu kalimat keluar dari mulutnya:
"Istri saya suka sekali masakan pedas, tapi akhir-akhir ini lagi program diet, jadi masaknya hambar terus."
Deg. Aku tersentak. Istri saya—dua kata yang menyadarkan aku dari segala angan-angan bodoh. Lelaki ini... sudah beristri.
Tapi, anehnya, justru setelah aku tahu dia sudah menikah, sikap Arsen malah berubah makin dekat. Dia mulai menawarkan untuk menjemputku saat pulang kerja, mengirimkan makanan saat aku sakit, dan bahkan mulai menyelipkan kalimat-kalimat manis yang hanya pantas diucapkan oleh seorang lelaki pada wanita yang ia kagumi.
“Aku nyaman sama kamu, Tan. Serius.”
Aku menatap matanya waktu itu. Hangat. Jujur. Tapi… salah. Semua ini salah. Kalau aku membiarkan ini berkembang, aku bukan hanya akan menyakiti diriku sendiri, tapi juga seorang perempuan di luar sana—istri yang mungkin sedang berjuang keras menjaga rumah tangga mereka. Dan anak kecil yang tadi ia ceritakan dengan penuh bangga.
Suatu malam, Arsen menunggu di depan tempat tinggalku. Aku pulang kerja, lelah, dan ingin segera istirahat. Tapi dia menyodorkan sebungkus martabak dan senyuman yang seakan-akan berkata, “Izinkan aku menjadi bagian dari hidupmu.”
Aku duduk di pinggir trotoar bersamanya. Menatap lampu jalan yang temaram.
“Arsen…” aku membuka suara, pelan. “Kamu laki-laki yang baik. Tapi aku bukan perempuan yang akan bahagia dengan cara merebut seseorang dari keluarganya.”
Dia diam. Memandangku lekat.
“Aku nggak bahagia sama dia, Tan.”
“Kalau begitu… pulihkan dulu rumah tanggamu. Jangan datang ke hidup orang lain dengan tangan yang masih menggenggam. Karena kebahagiaan itu bukan milik mereka yang menghancurkan… tapi mereka yang membangun dari awal, dengan cara yang benar.”
Dia menunduk. Diam lama.
Sejak malam itu, Arsen tak pernah muncul lagi. Tidak di swalayan tempatku bekerja, tidak juga di depan rumahku. Tapi aku tak menyesal.
Karena bahagia… bukan soal siapa yang bisa kau rebut, tapi siapa yang bisa kau tunggu dan peroleh dengan cara yang benar.
Dan dua tahun setelahnya, Tuhan menghadiahiku seseorang. Seorang lelaki lajang, sederhana, tulus. Namanya Ruben. Kami bertemu saat aku ikut pelatihan kerja. Tak pernah menyangka, laki-laki yang duduk di sampingku waktu itu, ternyata jodohku yang dititipkan Tuhan di waktu yang tepat.
Hari ini, saat aku menyuapi anakku yang baru bisa berjalan, aku tersenyum dalam hati. Ternyata benar… bahagia tidak perlu merebut apa pun dari siapa pun. Bahagia hanya perlu sabar, dan memilih jalan yang bersih dari air mata orang lain.
---Selesai---