Pagi itu, jarum jam baru saja menunjuk pukul sepuluh ketika aku memutuskan untuk pergi. Ada sebuah tempat yang sejak lama ingin kudatangi—pantai itu. Jaraknya tak dekat, sekitar tujuh kilometer dari rumah. Tapi langkahku ringan, hatiku penuh semangat yang tak tertahan. Seolah waktu tak lagi mampu menahanku.
Aku melaju di atas motor CB125R, membelah jalanan dengan kecepatan enam puluh kilometer per jam. Angin menampar lembut wajahku, sejuk, seperti menenangkan gemuruh yang tak henti di dadaku. Di tengah perjalanan, aku berhenti sejenak di sebuah toko kecil yang menjual boneka. Entah mengapa, hatiku tertarik pada satu boneka yang ukurannya lumayan besar. Aku membelinya, memaksanya masuk ke dalam tasku dengan sedikit kesulitan. Ada harapan yang terselip di situ, mungkin dia akan menyukainya.
Hari itu, aku mengenakan kemeja dengan kancing terbuka ala mahasiswa, dan celana chino hitam yang nyaman. Rasanya aku sudah siap menghadapi momen yang selama ini hanya berani kubayangkan.
Ada seseorang yang sudah lama kutunggu. Seseorang yang diam-diam mengisi hatiku sejak kami duduk di bangku kelas satu SMP. Bertahun-tahun aku memendam rasa itu, hingga hari kelulusan aku mengajaknya pergi. Ke tempat ini. Ke pantai ini. Tempat yang kupilih untuk mengungkapkan apa yang selama ini tak pernah terucap.
Kami sepakat bertemu pukul satu siang. Tapi entah kenapa, mungkin terlalu bersemangat, aku justru berangkat lebih awal, pukul sepuluh pagi. Rasa tak sabar itu mendorongku pergi lebih cepat. Aku ingin segera menemuinya.
Setibanya di pantai, aku duduk di atas sebuah dinding beton, menghadap laut yang terbentang luas. Pantainya panjang, garis airnya bergulung pelan, dan angin pantai berhembus membelai rambutku. Aku menunggu, memandangi orang-orang yang lalu lalang, menatap jam yang terasa bergerak lambat.
Pukul satu siang, aku mengirim pesan kepadanya.
Tak ada balasan.
Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin dia sedang dalam perjalanan. Aku menunggu lagi, memutar game di ponsel untuk mengusir kegelisahan. Waktu berjalan, dan matahari perlahan bergeser. Hingga akhirnya, pukul setengah tiga, balasan itu tiba.
"Maaf baru balas, aku tadi ketiduran. Yaudah, ini aku siap-siap berangkat ke sana."
Aku tersenyum kecil. Rasa kecewa yang sempat mengintip perlahan memudar. Aku mengangguk pada diri sendiri, tak masalah, aku masih bisa menunggu.
Pantai mulai sepi. Orang-orang yang tadinya ramai, kini satu per satu beranjak pulang. Hanya aku yang masih bertahan, memeluk harapan.
Pukul empat sore, pesan darinya kembali masuk.
"Otw ke sana."
Aku menatap layar ponselku, masih dengan sabar menunggu. Namun, waktu berjalan begitu lambat. Pukul lima sore, dia belum juga tiba. Aku mulai gelisah. Rasanya ada sesuatu yang menggantung di dada.
Tak lama, notifikasi kembali berbunyi.
"Aku udah sampai di ujung pantai sebelah barat."
Tanpa pikir panjang, aku segera berdiri dan mencarinya. Pantai ini luas, dan aku menelusurinya dari satu sisi ke sisi lain. Mataku menyapu setiap sudut, mencari sosoknya di antara orang-orang yang tersisa. Aku berlari dari timur ke barat, dari satu titik ke titik lain, berharap menemukan dia yang sejak tadi kunanti.
Namun, waktu terus bergulir. Langit mulai menguning, tanda magrib segera tiba. Dan tepat saat itu, pesan terakhirnya muncul.
"Aku udah pulang."
Aku terdiam. Hatiku hancur perlahan, seperti dihantam ombak yang tak kenal lelah. Aku menunggu begitu lama, menempuh perjalanan jauh, membawa harapan yang kususun selama tiga tahun, namun tak pernah sempat bertemu dengannya.
Aku mengirim pesan lagi, mencoba menghubunginya. Tapi sejak saat itu, tak pernah ada balasan. Pesanku tak lagi terbaca. Mungkin dia sudah memblokirku. Mungkin memang sejak awal dia tak pernah benar-benar ingin bertemu.
Aku pulang, mengendarai motorku perlahan, ditemani boneka yang kini hanya jadi saksi bisu atas harapan yang tak pernah sampai.