Dari semua hal yang aku pelajari di SMA, satu hal yang paling sulit kupahami bukan rumus matematika… tapi Raka.
Cowok yang duduk satu bangku di depanku sejak kelas 10. Yang selalu pakai hoodie meski cuaca panas. Yang kalau ketawa cuma senyum miring. Dan yang, entah kenapa, selalu muncul dalam pikiranku sebelum tidur.
Aku nggak tahu kenapa perasaanku tumbuh. Mungkin karena caranya diam-diam ngebantuin aku nyatet waktu aku sakit. Mungkin karena dia pernah berdiri di depan gerbang cuma buat ngasih aku roti isi keju, karena katanya aku lupa sarapan. Atau mungkin karena… aku terlalu suka cowok cuek yang ternyata diam-diam perhatian.
Tapi aku cuma menyimpan perasaan itu sendiri. Diam-diam. Seperti menulis di catatan yang tidak pernah kuberikan.
Sampai suatu hari, aku nemu coretan aneh di mejaku:
> “Kamu suka warna ungu, ya?”
Tulisan itu pakai pulpen hitam, dan ada gambar bintang kecil di sampingnya. Aku kaget. Karena cuma satu orang di kelas yang pernah tahu aku suka warna ungu: Raka.
Besoknya aku balas:
> “Kamu suka gambar bintang, ya?”
Dan mulai dari situ... kami saling menulis.
Di meja.
Setiap hari.
Awalnya cuma tanya-tanya random. Lalu berkembang jadi obrolan lebih personal. Tentang musik, masa kecil, dan bahkan... tentang luka.
> “Aku takut ditinggal.”
“Aku juga.”
“Tapi kadang kita cuma butuh satu orang yang tetap tinggal, ya?”
Hari-hari itu terasa magis. Aku ngobrol dengan Raka... tapi tanpa suara. Dan anehnya, aku lebih merasa dikenali dari sebelumnya.
Sampai suatu hari, meja kami bersih. Tidak ada tulisan. Tidak ada pesan.
Dan Raka tidak masuk.
Aku khawatir. Satu hari. Dua hari. Seminggu.
Lalu akhirnya, dia kembali. Tapi terlihat berbeda. Pucat. Dan lebih diam.
Aku memberanikan diri tanya, “Kamu ke mana aja?”
Dia diam sebentar. “Aku masuk rumah sakit. Jantungku kambuh.”
Deg. Aku nggak tahu harus bereaksi seperti apa.
Dia tersenyum tipis. “Aku kira aku nggak bakal balik. Makanya… aku berhenti nulis.”
Aku menatapnya lama. “Tapi kamu balik. Dan aku masih di sini.”
Dan saat itu, dia menunduk, lalu menyodorkan sesuatu ke arahku: kertas kecil yang dilipat hati-hati.
> “Kalau kamu mau, aku nggak akan pergi lagi. Tapi kali ini, aku minta kamu temani aku… bukan cuma dari balik tulisan.”
Air mataku jatuh. Tapi aku tersenyum.
“Gimana kalau sekarang kita ngobrol... langsung?” kataku sambil menggenggam tangannya.
---
Waktu berlalu. Kami lulus. Dan hari itu, aku berdiri di taman sekolah, menunggu seseorang.
Raka muncul dengan jas abu-abu dan buket bunga warna ungu.
“Dari dulu aku nggak bisa ngomong banyak,” katanya.
Aku tertawa. “Tapi aku bisa ngerti meskipun kamu nggak banyak ngomong.”
Dia nyengir.
Lalu dengan tangan gemetar, dia buka kotak kecil berisi cincin sederhana.
“Keysha...
Kamu adalah cinta pertamaku.
Dan aku mau kamu juga jadi yang terakhir.”
Aku nangis. Tapi untuk pertama kalinya… itu air mata bahagia.
---
Akhirnya aku paham.
Cinta pertama itu bukan soal siapa yang kita suka diam-diam. Tapi siapa yang tetap tinggal saat semuanya berubah.
Dan kamu, Raka…
Kamu adalah alasanku percaya bahwa cinta itu nyata. Dan bisa bahagia, kalau kita sama-sama berani.