Kelas XI IPA 2 selalu jadi kelas paling berisik tiap pagi. Apalagi kalau jam pertama kosong. Semua murid seperti berlomba bikin keributan—ada yang karaokean pakai speaker mini, ada yang bawa bekal nasi padang, dan ada yang sibuk pamer pacar barunya.
Tapi... di pojok belakang, selalu ada satu titik yang sepi.
Bangku paling ujung dekat jendela. Tempat duduk si cowok dingin bernama Rayan.
Nggak banyak yang berani duduk di sebelahnya. Bukan karena dia galak, tapi karena dia... misterius. Nggak pernah senyum, selalu pakai hoodie, dan matanya tajam seperti habis begadang tiap malam.
Dan entah kenapa, aku—Keysha, cewek biasa-biasa aja—malah ditaruh duduk di sebelahnya selama satu semester.
"Mulai besok kamu duduk di sebelah Rayan, ya. Biar jumlah baris seimbang," kata Bu Yanti, wali kelas, sambil tersenyum enteng. Seolah menempatkan aku di samping mesin es bukan masalah besar.
Hari pertama duduk di sana, aku diam. Dia juga diam. Aku nyapain, dia cuma angguk.
Sumpah, awalnya aku ngeri juga. Tapi hari demi hari... rasa takut itu berubah. Bukan jadi nyaman. Tapi jadi penasaran.
Siapa sih Rayan, sebenarnya?
Kenapa dia selalu menatap langit tiap pagi?
Kenapa dia nggak pernah mau ikut kegiatan kelas?
Kenapa setiap orang yang ngobrol dengannya cuma bertahan satu-dua kalimat sebelum nyerah?
Aku mulai memperhatikan hal-hal kecil.
Rayan selalu datang pagi-pagi banget. Duduk sambil buka buku catatan kecil hitam. Tulisannya rapi. Ada banyak gambar sketsa juga. Terkadang ada lirik lagu. Atau kutipan-kutipan aneh seperti:
> “Terlalu banyak harapan bikin hidup terasa sempit.”
Setiap kali dia selesai nulis, dia menyimpan buku itu seperti benda paling berharga di dunia. Dan aku? Aku pura-pura nggak lihat... tapi hatiku selalu berdebar.
Puncaknya terjadi minggu ketiga. Saat aku lupa bawa pulpen, dan dia nyodorin satu pulpen warna hitam ke arahku.
Tanpa menoleh.
Tanpa bicara.
Cuma pelan—tapi aku merasa seperti dia ngasih lebih dari sekadar alat tulis.
Dan sejak hari itu... kami mulai berbicara.
“Nama kamu siapa?” tanyanya suatu siang.
Aku kaget. Dia bertanya duluan? Setelah hampir sebulan duduk bareng?
“Keysha.”
Dia angguk. “Kamu suka nulis?” tanyanya, melirik buku tulisanku yang penuh coretan puisi.
“Lumayan. Kadang nulis buat ngeluh.”
Dia senyum tipis. Untuk pertama kalinya.
Dan aku merasa... mungkin dia nggak sedingin kelihatannya.
---
Sejak itu, Rayan jadi... sedikit lebih terbuka.
Kadang dia ngajak ngobrol soal hal-hal random. Seperti:
“Kamu percaya kalau setiap orang punya versi dirinya yang dia sembunyiin?”
“Menurut kamu... kalau seseorang tiba-tiba hilang, itu salah siapa?”
“Kamu suka hujan?”
Aku nggak ngerti maksudnya. Tapi aku selalu jawab sejujur-jujurnya. Dan tiap kali dia mendengarkan, tatapannya serius. Seolah setiap kata dariku penting.
Dan tanpa sadar, aku mulai menunggu-nunggu obrolan itu.
Hingga pada suatu malam, aku masih di sekolah karena rapat OSIS. Waktu pulang, gerimis turun. Di pojok taman sekolah, aku lihat Rayan duduk sendirian. Hoodie-nya basah. Tangannya menggenggam buku catatan hitam itu erat.
Aku ragu, tapi mendekat.
“Rayan?”
Dia menoleh. Mata merah. Entah karena hujan atau air mata.
“Kamu ngapain di sini?”
“Nggak tahu. Lagi nyari alasan buat ninggalin sekolah,” katanya pelan.
Aku duduk di sebelahnya. “Kenapa?”
Dia menarik napas dalam.
“Aku capek... pura-pura kuat.”
Hening.
Saat itu, aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi aku cuma bilang:
“Kalau kamu capek, istirahat. Tapi jangan pergi, ya.”
Dia menatapku. Dan untuk pertama kalinya, aku lihat mata Rayan penuh luka.
---
Tiga hari setelah itu, dia nggak masuk.
Satu minggu... masih nggak ada kabar.
Dua minggu.
Sampai akhirnya Bu Yanti bilang:
“Rayan pindah sekolah. Katanya ikut orang tuanya ke luar kota.”
Tanpa pamit.
Tanpa pesan.
Dia pergi. Begitu saja.
Aku diam di kelas. Seolah angin di dekat bangku belakang ikut mati.
Tapi di laci mejaku... aku nemu satu kertas kecil. Lipat rapi.
> “Keysha. Kamu beda. Dan untuk pertama kalinya, aku pengen tetap tinggal. Tapi nggak semua orang bisa. Terima kasih, udah duduk di sebelahku. — R.”
Aku lipat kertas itu. Aku simpan.
Dan sejak hari itu, aku nggak pernah izinkan siapa pun duduk di sebelahku.
Bangku itu tetap kosong.
Bukan karena aku nggak bisa move on.
Tapi karena di sana, pernah duduk seseorang...
yang mungkin tidak pernah jadi milikku.
Tapi akan selalu jadi bagian dari hatiku.
Kamu adalah cinta pertamaku.
Dan tidak semua cinta pertama harus bahagia—cukup nyata, dan cukup indah untuk dikenang.