Kamu Adalah Cinta Pertamaku
Aku lupa tepatnya kapan perasaan itu muncul.
Mungkin saat kamu pinjam pulpen warna biru lalu lupa balikin.
Atau waktu kamu jatuh dari kursi di kelas, dan seluruh kelas ketawa, tapi kamu juga ikut ketawa—dan aku sadar, kamu nggak pernah ambil pusing soal gengsi.
Atau bisa jadi saat kamu duduk di sebelahku waktu kelas Bahasa Indonesia, dan tanpa sadar coret-coret mejaku dengan gambar smiley kecil.
Entah kapan, yang jelas... kamu hadir. Pelan, tapi penuh. Dan aku nggak bisa mengabaikannya.
Namamu Dinda.
Anak cewek biasa. Tapi buatku, nggak ada yang biasa dari kamu.
Waktu itu kita kelas 10. Duduk sebangku gara-gara guru ngacak tempat duduk. Awalnya kikuk. Kamu bawa aroma sabun mandi bunga melati. Sementara aku cuma anak cowok yang lebih sering pakai jaket bau matahari dan jarang nyisir rambut.
Tapi kamu ngajak ngobrol duluan.
“Eh, kamu suka nonton anime juga ya?”
“Lho, kok tau?”
“Kabel headsetmu kayak kabel headsetku.”
“Oh... hahaha.”
Dan dari situ, semuanya mengalir. Tanpa skrip. Tanpa rencana.
Kita jadi sering ngobrol, tukeran lagu, saling bawa bekal, dan duduk berdampingan di bus waktu study tour. Waktu kamu tidur di pundakku selama perjalanan, aku pura-pura tenang, padahal jantungku udah kayak mau konser.
Aku ingin bilang.
Bahwa aku suka kamu.
Tapi... aku pengecut.
Aku takut merusak semua kenyamanan yang sudah ada.
Takut kehilangan kamu.
Takut kalau kamu cuma anggap aku teman, sedangkan aku… udah jauh tenggelam.
Sampai akhirnya, semester dua datang. Guru ganti tempat duduk lagi. Kamu pindah ke depan, duduk sama anak cowok lain—Rio, yang lebih ganteng, lebih jago main basket, dan lebih berani.
Dan dalam beberapa minggu, kalian resmi jadian.
Aku cuma senyum waktu kamu cerita soal Rio. Aku pura-pura bahagia. Tapi malam-malamku jadi sepi. Playlist lagu berubah jadi mellow. Dan aku nggak pernah duduk dekat jendela lagi.
Tapi aku nggak nyalahin kamu. Nggak pernah.
Karena kamu... tetap orang pertama yang bikin aku nunggu di sekolah lebih pagi, nyimpen bungkus ciki lucu buat kamu, dan belajar cara jadi pendengar yang baik.
Kamu yang pertama kali bikin aku percaya: bahwa rasa suka itu nggak harus selalu memiliki.
Kadang, cukup disyukuri. Cukup dikenang.
Tiga tahun berlalu. Kita lulus. Kamu ke Jakarta, aku kuliah di kota kecil. Kita nggak saling kabar lagi. Tapi kadang, aku buka foto lama di galeri dan nemu satu gambar: kamu ketawa waktu kena lemparan bantal di acara perpisahan.
Lucu.
Sederhana.
Dan menyakitkan dalam cara yang lembut.
Sekarang, saat orang-orang tanya, “Kamu pernah jatuh cinta nggak?”
Aku akan bilang:
Pernah.
Namanya Dinda.
Dia duduk di sebelahku selama satu semester.
Dan meski sekarang dia entah di mana, aku cuma ingin bilang:
Kamu adalah cinta pertamaku.
Dan aku nggak menyesal pernah jatuh cinta sama kamu.