Aku selalu duduk di pojok belakang kelas, dekat jendela. Bukan karena suka suasananya, tapi karena di sebelah kiri bangku itu… kosong. Dan aku terbiasa sendiri.
Sampai suatu hari, guru masuk dengan seorang murid baru di belakangnya.
“Anak-anak, ini Dira. Pindahan dari Surabaya.”
Cewek itu menunduk malu-malu. Rambutnya dikepang satu, dan ada bekas luka kecil di kening kirinya. Dia tampak gugup, tapi berusaha tersenyum.
“Dira, kamu duduk di sebelah Rangga, ya. Pojok belakang sana.”
Aku?
Aku kaget. Tapi cuma angguk kecil.
Dira duduk tanpa banyak bicara. Dia membuka bukunya perlahan, sesekali menghela napas. Aku bisa merasakannya—dia bukan cuma murid baru, dia anak yang sedang belajar bertahan. Mungkin ada cerita yang belum sempat dia ceritakan ke siapa pun.
Hari-hari berlalu. Kami nggak langsung akrab. Tapi pelan-pelan, dia mulai tanya hal-hal kecil: soal jadwal pelajaran, guru yang galak, kantin yang enak. Dan aku... mulai terbiasa dengan suara pelannya di sebelah kiri itu.
Suatu siang, kelas bubar cepat karena guru nggak masuk. Aku duduk diam sambil corat-coret buku gambar, saat Dira nyolek lenganku.
“Kamu suka gambar, ya?”
Aku angguk. “Buat ngisi waktu.”
Dia tersenyum. “Bagus, kok. Aku suka yang ini,” katanya menunjuk gambar pohon besar dengan ayunan kecil di bawahnya.
“Ayahku suka bikin ayunan waktu aku kecil,” tambahnya pelan. Suaranya agak serak.
“Ayah kamu?” tanyaku hati-hati.
Dia diam sebentar, lalu mengangguk. “Dia udah nggak ada. Makanya aku pindah ke sini. Ikut Ibu.”
Aku nggak tahu harus bilang apa, jadi aku cuma bilang: “Kalo kamu mau, aku bisa bikinin gambar ayunan lain. Buat kamu.”
Dia menatapku. Lama. “Makasih, ya.”
Mulai dari situ, kami makin dekat. Dira bukan tipe cewek rame yang suka jadi pusat perhatian. Tapi dia punya cara bikin hari-hariku terasa lebih... tenang.
Pernah suatu kali, aku demam dan nggak masuk sekolah. Saat balik, aku nemu kertas lipat kecil di laci mejaku.
> "Rangga, kemarin aku duduk sendirian. Nggak enak juga ya, ternyata, sebelah kiriku kosong."
—Dira.
Hari itu, untuk pertama kalinya, aku senyum sendirian di kelas.
Tapi seperti biasa, hidup remaja nggak pernah sesederhana FTV sore. Mendekati akhir semester, Dira mulai sering melamun. Aku tahu ada sesuatu yang dia sembunyikan. Dan akhirnya, saat kami duduk bareng nunggu hujan reda di teras sekolah, dia ngomong:
“Aku mau pindah lagi, Rangga. Ke Bandung. Ibu dimutasi kerja.”
Aku diam. Hujan turun pelan, seperti ikut sedih.
“Kapan?” tanyaku.
“Minggu depan.”
Aku nggak bilang apa-apa lagi. Cuma duduk di sebelahnya, berdua dalam diam yang panjang.
Minggu itu jadi minggu teraneh. Kami pura-pura biasa, tapi hati masing-masing penuh hal yang belum terucap. Dan saat hari terakhirnya tiba, dia menyerahkan satu buku kecil padaku. Gambar-gambar yang pernah aku coret, yang dia kumpulkan diam-diam.
“Biar kamu inget aku,” katanya.
Aku lihat halaman terakhir. Ada gambar pohon besar. Tapi kali ini ada dua ayunan, berdampingan.
---
Sekarang, aku sudah lulus. Hidup terus berjalan. Tapi kadang, saat aku duduk di kafe sendiri, atau lihat bangku kosong di taman, aku masih ingat...
Sebelah kiriku pernah terisi.
Dan sejak itu, aku tahu: cinta pertama tidak harus berakhir bahagia.
Yang penting... dia pernah nyata.