Aku masih ingat dengan sangat jelas hari pertama aku melihatnya. Waktu itu kami baru masuk SMP, dan dia duduk di bangku paling pinggir dekat jendela, rambutnya dikepang dua, dan matanya... entah kenapa, terasa teduh.
Namanya Alya.
Dan sejak hari itu, entah kenapa, aku selalu mencari-cari dia di setiap sudut sekolah.
Dia bukan cewek populer. Tidak seperti yang biasanya jadi pujaan banyak cowok—tidak pakai makeup, tidak terlalu banyak bicara. Tapi dia punya caranya sendiri untuk membuat orang merasa nyaman. Ramah, lembut, dan selalu membawa buku ke mana pun dia pergi.
Kami tidak langsung dekat. Hanya sapaan singkat saat lewat di koridor. Tapi entah bagaimana, waktu perlahan membawa kami mendekat. Di kelas 8, kami akhirnya duduk satu kelompok dalam pelajaran Biologi. Itu pertama kalinya aku benar-benar mengobrol dengannya lebih dari sekadar “ya” dan “nggak”.
“Aku nggak terlalu ngerti soal sistem pernapasan, kamu bisa jelasin?” katanya waktu itu.
Dan bodohnya, aku langsung gugup. Padahal sebelumnya aku lumayan paham. Tapi entah kenapa, waktu dia menatapku begitu serius, semua teori terasa hilang dari otak.
Tapi sejak saat itu, semuanya berubah.
Kami mulai sering ngobrol. Kadang tentang tugas, kadang tentang hal-hal random seperti hujan, bintang, atau bahkan kenapa donat berlubang di tengah. Alya selalu punya cara melihat dunia yang unik. Hal-hal sederhana jadi terasa bermakna saat dibicarakan dengannya.
Sampai suatu hari, hujan turun deras saat jam pulang sekolah. Semua murid berlarian mencari tempat berteduh, dan aku melihatnya berdiri di depan gerbang, celingukan sambil menggenggam tas.
“Kamu nggak bawa payung?” tanyaku.
Dia menggeleng. “Enggak... tadi buru-buru.”
Aku ragu sebentar, lalu melepas jaketku dan menawarkannya. “Pakai ini. Aku bisa lari, rumahku dekat.”
Dia sempat menolak, tapi akhirnya menerimanya dengan senyum kecil. “Makasih, ya. Baik banget kamu.”
Jantungku rasanya berhenti. Aku hanya mengangguk, tapi senyum itu... terekam selamanya.
Setelah itu, kami jadi semakin dekat. Kami sering duduk bareng di perpustakaan, saling menukar buku, dan mulai saling mengenal lebih dalam. Aku tahu dia suka langit sore, takut petir, dan suka makan roti bakar pakai selai stroberi dua lapis.
Dia tahu aku suka menggambar, suka musik lawas, dan sedang belajar main gitar.
Aku pikir... mungkin ini cinta. Mungkin ini yang disebut orang-orang sebagai "cinta pertama". Dan rasanya indah—bukan karena kami berpegangan tangan atau saling mengucap kata sayang, tapi karena semua terasa tulus. Nyaman. Hangat.
Tapi semua tidak selamanya.
Lulus SMP, kami berpisah sekolah. Alya masuk SMA favorit di kota, sementara aku tetap di SMA negeri dekat rumah. Awalnya kami masih sering chat, saling tukar cerita soal sekolah, teman baru, bahkan curhat soal guru yang galak.
Namun perlahan, obrolan kami jadi makin jarang. Pesannya jadi singkat. Kadang aku melihat dia online, tapi tidak membalas.
Sampai suatu malam, aku memberanikan diri mengirim pesan:
> "Alya... kamu masih ingat roti bakar di kantin itu? Aku kangen masa-masa itu."
Dia membalas setelah dua hari:
> "Aku juga... tapi sekarang semuanya berubah, ya. Maaf kalau aku makin jarang bales."
Dan sejak itu, dia menghilang.
Aku pernah coba datang ke sekolahnya diam-diam, hanya untuk sekedar melihat dari jauh. Tapi dia tak pernah muncul di gerbang.
Mungkin dia memang sudah punya kehidupan baru. Mungkin dia sudah bahagia dengan seseorang yang lebih baik dariku.
Kini, bertahun-tahun setelahnya, aku sudah kuliah. Teman-temanku banyak. Aktivitas padat. Tapi saat sore menjelang, dan langit berwarna jingga... aku teringat dirinya.
Cinta pertamaku.
Yang tak pernah kuungkapkan sepenuhnya.
Yang tak pernah benar-benar menjadi milikku.
Tapi tetap tinggal di satu sudut hatiku yang paling dalam.
Alya.
Namanya masih sama. Tapi kini hanya hidup dalam ingatan—bersama hujan, buku, dan roti bakar rasa stroberi.