Hujan turun sejak pagi, menampar jendela rumah tua di sudut kampung. Di dapur sempit yang temaram, Dinda duduk sendirian, memandangi sepotong roti bakar yang masih hangat di piring usang bergambar bunga mawar.
"Masih ingat, Ma?" bisiknya pelan, padahal tak ada siapa pun di sana.
Dulu, setiap hujan datang, ibunya selalu membuatkan roti bakar dengan taburan keju dan meses. Roti itu bukan sekadar makanan—itu pelukan di kala dingin, penghapus air mata setelah dimarahi guru, dan semangat di pagi hari ketika Dinda ingin menyerah.
Namun kini, ibu hanya tinggal nama di batu nisan yang basah oleh rintik hujan.
Dinda menggenggam cangkir teh hangat yang sudah mulai mendingin. Usianya baru 17, tapi hatinya terasa lebih tua. Sejak ibu pergi dua bulan lalu karena kecelakaan, semuanya berubah. Ayah jadi lebih pendiam. Rumah lebih sunyi. Dan pagi-pagi terasa berat.
Ia menatap roti itu lagi. Harusnya ia makan. Tapi tenggorokannya seperti tertutup kabut.
Lalu suara pintu depan berderit.
Ayah muncul, membawa payung basah dan jaket yang kuyup. Ia melepaskan sepatunya perlahan, kemudian memandang Dinda yang masih diam di kursi kayu.
"Ayah beli keju... yang kamu suka," katanya lirih, sembari mengeluarkan sebungkus plastik kecil dari tas belanja.
Dinda menggigit bibirnya. Matanya panas. Hatinya gemetar.
"Ayah... bikin roti bakar, yuk," ujarnya akhirnya, suaranya serak menahan tangis.
Ayah tersenyum. Jarang sekali ia tersenyum sekarang.
Mereka tak banyak bicara setelah itu. Tapi ketika roti mulai menghitam di atas teflon, dan aroma manis keju dan mentega menyebar di dapur, seolah ada yang kembali hadir di sana.
Bukan sosoknya. Tapi kehangatan yang ia tinggalkan.
Di tengah hujan, di balik kehilangan, sepotong roti bakar kembali menyatukan dua hati yang patah.