Suara desau angin membuat mataku secara perlahan menutup. Mengingat-ingat kembali kenangan yang pernah terukir di tempat ini. Aku duduk bersandar di bawah pohon, tak jauh dari tempatku duduk, air sungai mengalir tenang.
Aku ingat sekali hari itu, kami bermain air dengan seragam sekolah masih melekat di badan. Tas dan sepatu kami lempar di bawah pohon ini, sedang kami berdua saling menyipratkan air dengan riang di sungai itu.
Setelah puas bermain air, biasanya kami akan duduk di bawah pohon ini, entah sambil memakan camilan ataupun hanya duduk-duduk saja.
"Keisha, kenapa kamu bolos hari ini?" tanyaku waktu itu. Aku memeras air di rambutku, tangannya yang besar mengelilingi rambutku, Aku mendongak. Menatap wajahnya yang putih pucat dengan rasa ingin tahu. Keisha menggeleng.
"Karena aku ingin," jawabnya singkat.
"Kamu nyebelin," gumamku kesal. Seperti biasa, Keisha tak pernah mau bercerita apapun padaku.
"Nanda ... " panggilnya dengan lembut. Aaah ... aku selalu lemah kalau dia memanggilku dengan lembut begitu.
"Iya-iya ... kamu memang penuh misteri. Tapi tahu tidak? Kadang wanita memang suka dengan pria yang penuh dengan misteri kayak kamu," ucapku, memeluk lutut dan menopang daguku disana.
Aku mendongak. Menatap wajah nya yang putih pucat dengan rasa ingin tahu. Keisha menggeleng. "Karena aku ingin," jawabnya singkat.
"Kamu nyebelin," gumamku kesal. Seperti biasa, Keisha tak pernah mau bercerita apapun padaku.
"Apa kau menyukaiku, Nanda?" tanya Keisha tiba-tiba.
Aku terdiam. Apa aku menyukai nanda? Aku nyaman bersamanya, hanya dia yang peduli padaku. Di saat semua orang membenciku, hanya Keisha yang berpihak padaku.
Belum sempat menjawab pertanyaan itu, Keisha bergumam lagi. Kali ini dengan nada yang terdengar dingin. "Jangan pernah menyimpan perasaan padaku, Nanda."
Aku seperti mendengar suara pecahan di dalam diriku. Dari mana suara itu berasal? Apa ini ada hubungannya dengan rasa sesak di dadaku ini?
"Nanda ... kamu?" suara Keisha berhenti. Ia menatapku dengan wajah yang cemas.
"Aah ... aku kenapa, ya?" tanyaku sambil tertawa. Pipiku terasa basah dengan buliran-buliran air yang tak mau berhenti menetes dari mataku.
Keisha mengusap pipiku. Ia berulang kali meminta maaf sembari mengelus pundakku. Namun itu tak kunjung membuatku membaik, malah membuat rasa sesak di hatiku kian bertambah.
"Kenapa, Keisha?" tanyaku dengan suara bergetar.
Lelaki itu menggeleng. "Aku tidak bisa memberitahumu, belum saatnya."
Lagi-lagi dia tidak mau memberitahuku, sebenarnya apa isi hati Keisha? Kenapa lelaki ini penuh dengan misteri?
Setelah hari itu, Keisha tak pernah masuk sekolah lagi. Setengah tahun berlalu tanpa kehadiran Keisha, lelaki itu menghilang tanpa kabar.
Setiap hari sepulang dari sekolah, kuhabiskan waktu di tempat ini, menunggu Keisha, lelaki yang tak pernah berhenti membuatku menangis karena rasa rindu.
Keisha ... sebenarnya kamu dimana? Kenapa kau tidak pernah menghubungiku lagi? Apakah aku sudah menghancurkan pertemanan kita karena sudah menyimpan rasa?
Pertanyaan itu terus berputar di kepalaku, aku sudah mencarinya kemana-mana. Namun tak satupun orang yang tahu dimana keberadaannya.
Hingga suatu saat ...
Aku menemukan titik terang! Keisha ... Aku tahu Keisha ada dimana!
Sesuai dengan alamat yang kutemukan setelah bersusah payah menyelinap ke kantor guru, aku berangkat dengan perasaan campur aduk. Senang, sedih dan marah bercampur jadi satu.
Saat aku bertemu kembali dengan Keisha, aku akan memarahinya. Lalu aku akan membuatnya membujukku seperti biasanya.
Keisha! Aku-aku berhasil menemukan rumahnya! Dengan gugup aku mengetuk pintu rumahnya, seorang wanita cantik yang kuduga adalah ibunya membuka pintu.
"Cari siapa, ya?" tanya wanita itu dengan lembut.
Aku tersenyum. "Keishanya ada, tante?" tanyaku bersemangat.
Wanita itu menatapku dengan pandangan yang aku sendiri bingung bagaimana mendeskripsikannya. "Ayo masuk dulu," ajaknya.
Aku duduk di salah satu sofa, ruang tamu itu dipenuhi dengan foto Keisha dan orang tuanya. Ternyata Keisha adalah anak tunggal.
"Siapa namamu?" tanya wanita itu.
Aku tersenyum lebar. "Nanda, tante."
"Ah ... Nanda ya? Keisha sering cerita tentang kamu sama Tante. Ternyata kamu memang cantik, seperti kata Keisha."
Aku tersenyum malu. "Tante bisa saja. Keishanya tidak ada tante? Nanda sudah lama tidak bertemu dengan Keisha."
"Keishanya tidak ada di rumah," ucapnya.
"Nanda-"
"Ia tidak akan kembali."
"Apa?" tanyaku heran. "Memangnya Keisha pergi kemana, Tan?"
"Dia sudah meninggal."
Tasku jatuh dari pangkuan. "Apa? Tante bercanda 'kan?"
Aku tertawa garing. "Jangan bercanda, Tante."
"Tante tidak bercanda, Keisha benar-benar sudah meninggal," lirihnya. Aku menatapnya, berharap ada senyuman di wajahnya, namun nihil.
Jantungku terasa berhenti berdetak. "A-apa ... kapan Keisha-"
Suaraku bergetar, air mata mengalir deras dari mataku.
Ibu Keisha menghampiriku, dia memelukku erat dengan suara lirih dia menceritakan serangkaian peristiwa yang terjadi.
Enam bulan yang lalu, saat Keisha berangkat sekolah seperti biasa dengan sepeda motornya, sebuah mobil menabraknya dari belakang hingga Keisha terlempar jauh ke pinggir jalan.
Nyawanya tak tertolong, dan aku merinding saat Tante Vina-ibu Keisha menyebutkan lebih jelas tanggal kecelakaan itu terjadi.
Itu terjadi pada saat kami terakhir kali bersama. Lebih tepatnya alasan kenapa Keisha membolos kelas hari itu adalah ... ia mengalami kecelakaan!
Lalu Keisha yang menemaniku saat pulang sekolah itu ... apakah itu benar-benar Keisha? Lalu Keisha yang menemaniku saat pulang sekolah itu ... apakah itu benar-benar Keisha?
Aku tak berani mengatakan ini pada tante Vina. Jadi, setelah aku mengetahui kenyataan itu aku pergi ke tempat peristirahatan terakhir Keisha.
Aku mencurahkan segala disana, rasa marahku dan rasa rinduku padanya. Mungkin saja itu memang Keisha, ia datang untuk pamit padaku karena khawatir meninggalkanku sendirian.
Keisha, aku ingin berterima kasih padamu. Terima kasih karena selalu menemaniku, dan bahkan disaat-saat terakhirmu kamu masih saja jadi sosok yang misterius. Aku tertawa sedih, mengusap batu nisan milik Keisha.
Terima kasih ... aku tak akan pernah melupakanmu, kamu akan selalu menempati ruangan khusus di hatiku, Keisha ....
"Ibu!"
Aku menoleh. Seorang gadis kecil dengan pita di rambutnya menghampiriku. Sepertinya aku terlarut dalam kenangan lama lagi.
"Ayo ... Ayah sudah menunggu di mobil," ucapnya dengan riang.
Aku mengusap kepalanya. Tangannya yang mungil menggenggam jemariku. Ia menoleh ke belakang. "Kenapa ibu sering kemari?" tanyanya dengan mata bulatnya yang memancarkan rasa penasaran.
Aku tersenyum. "Bukan apa-apa sayang. Ibu hanya teringat akan kenangan lama. Ayo kita pulang!" ajakku.
Gadis itu tersenyum lebar. "Iya!"
***