Namanya Aira.
Aku masih ingat hari saat pertama kali melihat senyumnya. Senyum kecil yang baru bisa ia bentuk saat usia enam bulan, saat ia memeluk jari telunjukku untuk pertama kalinya. Aku, kakaknya yang berusia sebelas tahun kala itu, berdiri terpaku menatap wajah mungilnya di dalam boks bayi. Jujur saja, waktu itu aku belum paham kenapa semua orang selalu bilang, “Wajahnya cerah sekali, seperti matahari.” Tapi begitu Aira menatapku dan tertawa kecil, rasanya aku seperti tidak pernah merasakan gelap lagi dalam hidup.
Senyumnya terang. Terang yang bukan cuma dari pantulan cahaya matahari, tapi dari hatinya yang selalu hangat.
Setiap pagi, tugas bangunkanku bukan alarm, tapi suara Aira yang menyanyikan lagu buatan sendiri sambil mencampur sereal dan susu secara ngawur di dapur. Dan tiap kali aku muncul dari kamar dengan rambut berantakan dan mata masih setengah tertutup, dia akan berkata, “Kak Dimas! Rambutmu kayak burung kena setrum! Lucu banget!”
Lucu banget, katanya. Padahal dia sendiri pakai piyama kelinci dan tidur dengan mulut terbuka, air liur netes di pipi.
Tapi ya... begitulah dia. Aira. Adikku. Matahariku.
Hari-hari kami sering terasa seperti sitkom. Misalnya saat dia menyelinap ke kamarku dan menempelkan stiker hati di seluruh laptopku—termasuk satu di tombol power yang membuat laptopku nyetrum. Atau saat dia mencoba membuat kejutan ulang tahun untukku dan secara tidak sengaja membakar roti bakar sampai rumah kami bau arang seminggu penuh.
Namun tak ada satu pun dari semua kejadian itu yang ingin aku tukar. Karena bersamanya, setiap kekacauan adalah alasan untuk tertawa. Setiap hari bersamanya adalah perayaan kecil—entah karena langit cerah, karena brownies mamaku jadi empuk, atau hanya karena bulu kucing kami mirip rambutnya saat bangun tidur.
Aku ingat satu malam di balkon rumah. Kami duduk di bawah selimut, melihat bintang sambil membagi segelas cokelat panas. Aira tiba-tiba bertanya, “Kak Dimas, kenapa sih kamu sayang banget sama aku? Kan kamu bisa aja cuek, kayak kakak-kakak lain yang marah kalau adiknya numpang di kamar.”
Aku tertawa, memandang matanya yang penuh rasa ingin tahu. “Karena kamu bukan cuma adikku, Ra. Kamu sinar di hidupku. Kamu bikin aku pengen bangun tiap pagi, pengen pulang cepat, pengen jadi manusia yang lebih baik.”
Dia tertawa kecil, memeluk lenganku. “Cie romantis. Ntar aku bilangin Mbak Nisa kalau Kak Dimas ternyata bisa manis juga.”
Kami tertawa sampai malam benar-benar larut. Dan seperti biasa, sebelum tidur, Aira akan mengucapkan kalimat yang selalu membuatku merasa dibutuhkan:
“Kak Dimas... jangan ninggalin aku ya.”
Dan aku akan selalu menjawab, “Enggak akan. Selama kakak masih hidup, Aira nggak akan sendiri.”
Tapi takdir memang punya cara bercanda yang kejam.
Hari itu Aira jatuh pingsan saat pulang sekolah. Awalnya kukira karena kelelahan. Mungkin dehidrasi. Tapi malamnya, dia demam tinggi. Napasnya berat. Kami membawanya ke rumah sakit, dan dari situlah semuanya berubah.
Diagnosa: leukemia stadium akhir.
Dunia serasa berhenti. Suara dokter menjelaskan penyakit itu seperti gema dari ujung jurang. Tidak ada kata yang bisa benar-benar tertangkap selain satu: kanker. Dan satu kalimat: sudah terlambat.
Aira menatap kami semua—Mama, Papa, dan aku—dengan mata yang tetap hangat. Tetap bercahaya. Tapi di balik itu, aku tahu dia mengerti.
Dan dia tersenyum.
Tetap saja dia tersenyum.
Senyuman yang sama saat dia menyapa pagi, saat membuat onigiri gosong, saat menyanyikan lagu konyol buatan sendiri.
Senyuman yang terang, meski tubuhnya mulai kurus, rambutnya mulai rontok, dan kulitnya mulai pucat.
Selama tiga bulan, kami hidup di rumah sakit. Setiap hari, aku mendongeng untuknya. Kadang kisah pangeran dan putri, kadang kisah tentang robot kucing dan mesin waktu, kadang kisah fiksi tentang seorang kakak laki-laki yang punya adik perempuan dengan senyum paling terang di dunia.
Dan setiap kali aku hampir menangis, dia akan mencubit pipiku pelan dan berkata, “Kak Dimas jelek kalau mau nangis. Nanti aku nggak bisa senyum, soalnya bakal ketawa.”
Dia tetap jadi cahaya kami. Bahkan saat malam-malam dingin datang dan napasnya mulai berat.
Hingga suatu malam, saat aku menggenggam tangannya dan menyanyikan lagu buatan dia—lagu tentang matahari yang tak pernah padam—dia berkata, “Kak Dimas... kalau aku udah nggak ada, boleh nggak kamu tetap senyum? Biar aku bisa lihat dari atas... dan tahu kakak bahagia.”
Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya mengangguk, karena air mata sudah memenuhi seluruh kata-kata yang ingin kuucapkan.
Malam itu, dia tertidur. Dan tidak pernah bangun lagi.
Hari pemakamannya, langit cerah sekali. Aneh. Tidak hujan seperti biasanya di adegan-adegan sedih di film. Justru hangat. Terlalu hangat.
Mungkin karena matahariku sedang menyinari dunia untuk terakhir kalinya.
Aku berdiri di depan pusaranya dengan mata kering. Sudah terlalu banyak tangis. Tapi dalam hatiku, satu bagian diriku seakan hilang. Bukan hanya kehilangan seorang adik. Tapi kehilangan seseorang yang membuatku ingin hidup setiap hari.
Seseorang yang membuat dunia ini berwarna.
Seseorang yang, bahkan di akhir hayatnya, tetap tersenyum seperti fajar.
Seseorang yang kusebut: matahariku.
Kini, setiap pagi, aku tetap bangun dan menyapa matahari. Aku menyiapkan sarapan dua porsi—satu untukku, satu untuk dia yang sudah tiada. Aku masih menyimpan selimut kelincinya, buku gambarnya, bahkan stiker hati yang dia tempel di laptopku.
Dan tiap malam, sebelum tidur, aku menatap langit dari balkon. Masih dengan segelas cokelat panas.
“Selamat tidur, Ra. Kakak masih di sini.”
Karena dia pernah memintaku untuk tersenyum. Maka aku akan tetap tersenyum. Meskipun senyum itu kini adalah upaya untuk menyembunyikan luka, bukan lagi karena tawa.
Tapi aku tahu, di suatu tempat, dia menatapku sambil berkata:
“Kak Dimas... jelek banget sih kalau senyum maksa.”
Lalu tertawa.
Dan senyumnya—ya, senyum itu—akan terus hidup di dalam hatiku.
Selamanya.
—TAMAT—
[Maaf kalau gajelas, dan ga nyambung]^^