Namaku Stella. Aku mencintai seseorang bernama Aril, seorang lelaki yang telah bersamaku selama tiga tahun lebih. Cinta kami tak sempurna, tapi terasa nyata. Kami tidak selalu bertemu karena kesibukannya bekerja. Tapi setiap kali dia punya waktu luang, dia selalu meluangkannya untukku. Sekadar makan malam sederhana, atau hanya duduk berdua di dalam mobil tanpa bicara—dan itu cukup bagiku. Kehadirannya saja sudah membuatku merasa lengkap.
Hubungan kami bukan dongeng yang indah dari awal sampai akhir. Ada banyak pertengkaran, banyak air mata, banyak kata yang seharusnya tidak diucapkan. Tapi tak sekalipun ada kata putus. Kami terlalu saling mencintai—setidaknya aku berpikir begitu.
Aril bukan lelaki biasa. Dia populer, tampan, dan entah bagaimana selalu jadi pusat perhatian. Teman-temannya mengakui kalau dia paling keren di antara mereka. Banyak perempuan menyukainya, mengaguminya diam-diam, atau bahkan terang-terangan. Tapi dia memilihku. Aku merasa beruntung, meski dalam diam aku juga sering terluka.
Karena popularitasnya, sering kali ada nama-nama baru yang muncul dalam hidupnya. Perempuan lain. Aku tahu. Aku melihat, aku mencium baunya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia kembali padaku, aku selalu menerimanya. Mungkin karena cara dia memandangku, memelukku, atau berkata bahwa hanya aku yang membuatnya merasa damai. Dia bisa membuatku merasa seperti satu-satunya di dunia—bahkan setelah aku tahu aku tidak selalu satu-satunya.
Tahun keempat, sesuatu berubah.
Dia mulai menjauh. Tidak ada alasan, tidak ada penjelasan. Hanya pesan-pesan yang dibaca tapi tak dibalas. Telepon yang tak pernah dijawab. Hari-hari menjadi sepi. Aku menunggu dengan dada sesak dan mata sembab.
Lalu aku mendengar kabar itu—dia pacaran dengan perempuan lain. Rasanya seperti jatuh dari tempat tinggi, tanpa sempat menjerit. Tapi aku tetap berharap. Aku tetap menunggunya. Karena hatiku belum selesai mencintainya.
Beberapa bulan kemudian, dia datang lagi. Tidak sebagai kekasih, tapi sebagai seseorang yang masih peduli. Dia masih mengantarku pulang, masih menanyakan kabarku, masih tertawa dengan candaan yang sama seperti dulu. Tapi dia bukan milikku lagi. Bahkan saat tangannya menyentuh pundakku, aku tahu—ada perempuan lain yang ia peluk setiap malam. Tapi aku tetap diam, karena dalam diam aku masih mencintainya.
Hingga suatu hari, aku mendapat undangan. Namanya tertera jelas di sana. Aril. Menikah.
Aku menatap kertas itu lama sekali. Tanganku gemetar, hatiku hancur. Air mataku tumpah, bukan karena aku tidak siap, tapi karena aku masih berharap. Harapan yang bodoh, barangkali. Tapi cinta tak pernah punya logika.
Hari pernikahannya, aku tidak datang. Tapi aku tahu dia menikah dengan senyuman di wajahnya. Aku menangis di kamarku, memeluk bantal yang dulu sering dia pinjam untuk tidur siang di kamarku. Semua kenangan berputar seperti film tua yang tak ingin kuputar ulang, tapi terus berjalan dalam pikiranku.
Setelah itu, aku mencoba membuka hati. Beberapa lelaki datang. Ada yang serius, ada yang lucu, ada yang perhatian. Tapi setiap kali aku bersama mereka, hatiku terasa kosong. Wajah mereka samar, karena bayangan Aril masih memenuhi pikiranku. Aku berusaha mencintai mereka, sungguh. Tapi setiap senyuman mereka hanya membuatku semakin merindukan dia. Setiap genggaman tangan mereka mengingatkanku pada hangatnya genggaman Aril. Aku tersesat dalam kenangan, dalam cinta yang belum selesai.
Aku menulis surat untuk Aril. Tapi tak pernah kukirim. Surat itu kubakar malam itu, bersama harapan yang mulai membusuk.
"Aril, kamu tahu, aku mencintaimu dengan seluruh ketulusan yang aku punya. Tapi kamu memilih jalan yang berbeda. Kamu memilih dunia tanpaku, dan aku... masih berusaha belajar hidup tanpamu."
Hari ini, aku duduk di sebuah kafe yang sering kami kunjungi dulu. Meja pojok, dekat jendela, tempat dia biasa menggenggam tanganku sambil tersenyum. Di luar, hujan turun pelan. Seperti hatiku yang masih gerimis, meski badai sudah lama berlalu.
Aku tidak tahu kapan aku akan benar-benar sembuh. Tapi aku tahu, aku pernah mencintai seseorang sepenuh hati. Namanya Aril. Dia adalah rumah yang tak pernah bisa aku tinggali lagi.
Dan meski dia bukan lagi untukku, aku masih berdoa... semoga dia bahagia. Semoga kenangan tentangku tak sepenuhnya dia lupakan. Karena bagiku, dia akan selalu jadi kisah yang tak selesai—tapi indah.
--- Selesai---