Malam itu, hujan turun deras. Aku dan kakakku baru saja pulang dari rumah teman, dan langit seperti tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk pulang dengan pakaian kering.
“Dek, kita berhenti di sini aja dulu ya, tunggu reda,” kata kakakku sambil menepikan motornya ke bawah atap ruko kosong.
Aku mengangguk. Jaketku sudah basah setengah. Tak jauh dari kami, ada dua orang lelaki yang juga berteduh. Salah satunya menoleh dan tersenyum ke arah kami.
“Basah juga, ya?” katanya, ramah.
Aku cuma mengangguk dan sedikit tersenyum. Kakakku yang menjawab, “Iya, dari tadi di jalan terus. Udah gelap banget lagi.”
“Aku Rudy,” katanya lagi sambil mengulurkan tangan.
“Sarah ,” balas kakakku, menjabat tangan Rudy. Aku hanya menyimak sambil mengusap lengan yang kedinginan.
“Kamu?” Rudy menatapku.
“Elana,” kataku pelan. Lalu dia tersenyum. Senyum yang sampai sekarang masih terekam jelas di benakku. Sawo matang, manis, dan hangat seperti secangkir teh di hari hujan.
Entah kenapa, malam itu jadi awal dari banyak hal yang tak kusangka.
---
Beberapa bulan berlalu.
Tanpa rencana, aku dan Rudy kembali bertemu di sebuah acara komunitas. Kami berbincang, bertukar nomor, dan setelah itu komunikasi mengalir begitu saja. Dari obrolan ringan menjadi candaan manis, dari candaan jadi perhatian, lalu tanpa sadar kami sudah menyebut satu sama lain sebagai pacar.
Rudy orangnya menyenangkan. Sopan, hangat, dan dewasa. Aku menyukainya bukan karena dia royal, tapi karena dia memperlakukan aku seolah aku penting. Bukan sekadar kekasih, tapi juga seorang teman, saudara, dan rumah.
“Aku serius sama kamu, Lan,” ucapnya suatu malam saat kami duduk berdua di warung kopi.
Aku menatapnya, menunggu kalimat selanjutnya.
“Kalau kamu siap... aku pengin nikahin kamu.”
Dadaku sesak. Aku bahagia, tapi juga bingung. Aku akan melanjutkan kuliah, sementara dia sudah bekerja.
“Rudy... aku masih harus kuliah. Aku belum bisa mikirin nikah dalam waktu dekat,” kataku pelan.
“Aku tahu. Makanya aku pengin bantu kamu. Aku bisa bayarin kuliahmu, asal kamu mau.”
Aku menggeleng cepat. “Enggak, Rudy. Aku nggak mau kamu mikir aku manfaatin kamu. Aku takut... kalau suatu saat kita nggak jadi, kamu nyesel.”
Dia menatapku lama. “Aku nggak akan nyesel. Tapi kalau itu maumu... aku ngerti.”
---
Dua tahun berlalu. Kami menjalani LDR. Kadang sulit, kadang terasa jauh, tapi kami bertahan. Sampai suatu hari dia datang menemuiku di kota tempat aku kuliah. Dia menunggu sampai kelasku selesai, lalu kami pergi makan malam bersama.
“Aku rindu kamu, Lan,” katanya di meja makan.
“Aku juga, Rud.”
Malam itu terasa tenang. Sampai pandanganku tak sengaja jatuh pada ponselnya yang terbuka di atas meja. Satu pesan dari kontak bernama “Bunda”.
Bunda: Jangan terlalu lama di sana ya Ayah ,aku kangen
Jantungku terhenti sejenak.
“Rudy... siapa Bunda?” tanyaku hati-hati.
Dia menarik napas. “Temen.”
Aku menatapnya tajam. “Temen manggil kamu Ayah?”
Dia terdiam. Lalu perlahan mengaku.
“Aku... aku udah nikah, Lan. Lima bulan lalu.”
Dunia seperti runtuh di hadapanku. Tapi aku tidak menangis. Aku hanya duduk diam, membeku. Aku ingin marah, tapi hatiku lebih sibuk mencerna rasa kecewa yang menghantam tanpa permisi.
“Maafin aku,” katanya lirih. “Aku nggak berniat nyakitin kamu. Tapi semuanya berjalan terlalu cepat. Aku terpaksa.”
Aku menatap ke luar jendela. Hujan turun lagi. Sama seperti malam pertama kali kami bertemu.
“Rud... kalau kamu bahagia, aku nggak akan ganggu.”
“Lan... kamu nggak marah?”
Aku menggeleng. “Aku kecewa. Tapi aku nggak mau benci kamu.”
Sejak malam itu, kami tak lagi menjadi sepasang kekasih. Hanya dua orang yang pernah saling cinta, dan kini duduk di dua dunia yang berbeda.
Tapi satu hal yang pasti—aku tak akan pernah lupa malam saat hujan mempertemukan kami. Dan malam saat hujan juga membawa luka yang tak bisa kuucapkan dengan kata.
---Selesai---