Angin malam menyapu halaman rumah Windy yang luas, ketika gadis itu duduk berdua dengan Nando di bangku semen dekat pagar. Mereka tak sedang berpelukan, apalagi berciuman seperti yang sering digembar-gemborkan di sinetron. Mereka hanya duduk. Saling berbagi cerita sambil tertawa pelan. Tak ada yang salah… sampai suara berat dan tajam mengusik kebersamaan itu.
> “Ngapain kalian di sini?” suara Pak Somat, tetangga galak yang terkenal suka ikut campur.
Windy menoleh, malas. “Kepo banget sih, jadi orang…” ucapnya pelan, tapi cukup terdengar.
Pak Somat menatapnya tajam. Tanpa sepatah kata, ia berbalik dan pergi. Windy hanya menatap punggung lelaki tua itu dengan kesal, tak sadar bahwa kata-kata barusan akan menjadi awal dari malapetaka.
Malam Berikutnya
Pintu rumah dibuka dengan kasar. Papa Windy, dengan wajah merah padam dan suara meledak-ledak, memanggil namanya.
> “WINDY! KE SINI KAMU!”
Windy melangkah dengan jantung berdebar-debar. Mama menatapnya penuh kekhawatiran dari dapur.
“APA KAMU PACARAN?! DI DEPAN RUMAH?! DILIHAT ORANG?!”
Windy membeku. Kata-kata papanya seperti dentuman petir. Ia tak bisa menjawab.
Papa menunjuk wajahnya, “Kamu bikin malu keluarga! Mau nikah aja sekalian?! HAH?!”
Mata Windy membulat. “APA?!”
> “Papa!” Mama memotong, menenangkan. “Jangan begitu, dia masih anak-anak!”
> “Justru karena dia anak-anak, makanya harus diawasi! Kalau sekarang sudah berani pacaran di luar rumah, besok-besok gimana?! Bisa hamil duluan!”
Tangis Windy pecah. “Kami cuma duduk! Nggak ngapa-ngapain! Sumpah!”
Tapi semua penjelasan hanyalah angin lalu. Papa sudah kadung murka. Windy hanya bisa menangis sambil memeluk Mama, satu-satunya pelindungnya malam itu. Hatinya hancur. Dirinya seakan tak dipercaya. Bahkan untuk perasaan sederhana yang ia miliki.
---
Keesokan harinya di sekolah, Windy melangkah lesu. Matanya bengkak. Ia berharap Nando ada dan bisa menenangkannya. Tapi Nando… tidak ada.
Saat bel istirahat, Windy nekat bertanya pada Pian—sahabat Nando yang biasanya ramah.
“Pi… Nando mana?”
Pian memalingkan wajah, tajam dan dingin.
> “Mau salahin siapa?” katanya ketus. “Coba deh kamu mikir, siapa yang bikin semuanya ribut?”
Windy terdiam. Bibirnya gemetar. “Aku… cuma nanya…”
Pian pergi tanpa menoleh lagi.
Tangis yang sejak tadi ditahan akhirnya pecah di sudut kantin. Windy merasa ditinggalkan. Dikhianati. Ia cuma cewek biasa yang jatuh cinta. Tapi sekarang, semua menyalahkannya. Bahkan Nando… hilang. Tidak ada kabar, tidak membela, tidak meminta maaf. Tidak apa-apa. Hanya… menghilang.
Sejak hari itu, Windy berubah. Di matanya, Nando dan Pian seperti transparan. Sekalipun mereka lewat di hadapannya, Windy tak menggubris. Ia tak lagi membuka pesan dari siapa pun. Ia mulai menjaga jarak. Tak mau lagi mengenal yang namanya ‘pacaran’. Luka itu terlalu dalam.
Satu kata dari tetangga. Satu kata dari ayah. Satu sikap dari sahabat. Semuanya membuat hatinya patah.
> “Aku cuma ingin dimengerti… itu aja,” gumam Windy suatu malam di balkon, memandang langit kelam.
“Mau salahin siapa?”
Ucapan Pian itu masih terngiang-ngiang di kepala Windy bahkan sampai pulang sekolah. Entah kenapa, kalimat itu seperti menyiram bensin ke api kecil dalam hatinya. Ia yang awalnya cuma sakit hati, sekarang benar-benar ilfil. Ilfil sama semuanya—Nando yang kabur tanpa kabar, Pian yang nyolot, dan semua perasaan cinta pertama yang ternyata cuma bawa luka.
> “Udah cukup,” bisik Windy sambil menatap bayangannya di cermin. “Mulai sekarang, aku nggak mau jadi cewek bodoh yang nungguin cowok gak jelas.”
---
Beberapa minggu berlalu. Windy kembali fokus sekolah, ikut ekskul, bahkan mulai aktif bantu mama di rumah. Papa masih agak ketat, tapi ada satu aturan baru yang bikin Windy tersenyum tipis:
“Kalau kamu masih mau temenan sama cowok, bilang ke Papa. Tapi gak boleh keluar rumah lagi. Suruh aja mereka datang ke sini, biar Papa bisa liat dan nilai.”
Dan dari situlah semuanya berubah.
Suatu hari, lewat kenalan ekskul online, Windy kenal seorang cowok bernama Fahlevi. Kakak kelas di sekolah lain. Sopan, lucu, dan yang paling penting: nggak main-main. Dari awal, Fahlevi terbuka dan gak malu datang ke rumah Windy untuk kenalan sama orang tuanya.
Saat pertama kali bertemu, Papa memang pasang muka garang seperti biasa. Tapi setelah ngobrol dan melihat betapa sopannya Fahlevi, sikap Papa mulai mencair.
“Ya sudah, kamu bisa ketemu Windy di rumah aja. Tapi jam 8 malam kamu pulang, jangan sampai larut malam.”
Dan begitu hubungan itu berjalan… Windy benar-benar merasa diperlakukan seperti putri.
Fahlevi nggak pernah ninggalin chatnya gak dibalas. Dia suka datang bawa makanan buat Mama. Bahkan sempat bantu Papa betulin motor di garasi. Windy yang dulu cuma jadi bayang-bayang Nando, sekarang seperti bersinar lagi. Dan dia tahu, ini bukan cinta ecek-ecek kayak dulu.
---
Sementara itu…
Di sudut sekolah, Nando melihat Windy lewat bareng Fahlevi. Cowok itu tinggi, bersih, dan jelas lebih dari Nando dalam banyak hal. Nando cuma bisa menatap dari kejauhan. Matanya menyimpan penyesalan.
“Dia udah bahagia, Nd,” ujar Pian pelan.
Nando menunduk. “Gue bego, ya…”
Pian gak menjawab. Karena memang gak ada jawaban yang bisa menghapus semua kesalahan.
---
Dan Windy?
Dia masih gadis yang sama, tapi dengan hati yang jauh lebih kuat. Dia gak lagi membenci masa lalunya, tapi juga gak memberi tempat untuk mereka kembali.
Karena sekarang, dia tahu. Cinta yang baik gak bikin dia sembunyi. Tapi datang… dan duduk bersamanya di ruang tamu, sambil disuguhin teh hangat oleh mama.
Dan dia yakin…
Ini cinta yang gak akan bikin dia merasa bersalah hanya karena jatuh cinta.
---Selesai ---