Pagi itu, matahari menyelinap lembut di sela-sela tirai jendela kamar kami. Aku menoleh ke samping, melihat wajah lelah tapi damai dari lelaki yang kucintai—suamiku, lelaki yang tak pernah sedikit pun mengungkit masa laluku. Dia tertidur dengan posisi duduk, Raja, bayi laki-laki kami, meringkuk di dadanya.
Aku menarik napas panjang. Tuhan... aku ini siapa, hingga Kau kirimkan pria sebaik ini untuk jadi suamiku?
Aku menikah dengannya saat usia kami masih muda, saat aku menyimpan rahasia yang tak mudah untuk diungkap. Saat itu aku sudah mengandung tiga bulan dari laki-laki yang bahkan tak pernah menoleh ke belakang. Tapi dia, lelaki yang kini jadi suamiku, menerima aku, menikahiku, dan mencintai Ratu—putri kecilku—seperti darah dagingnya sendiri.
"Anakmu adalah anakku juga," katanya waktu itu sambil menggenggam tanganku erat.
Ratu kini berusia enam tahun. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas dan ceria, persis seperti doa-doa yang kulangitkan sejak dalam kandungan. Ia selalu memelukku dan bertanya, “Kapan aku punya adik, Ma?”
Aku tersenyum saat itu. “Doakan ya, Nak,” jawabku. Padahal hatiku menyimpan tanya—kenapa aku tak kunjung hamil lagi?
Tapi Tuhan selalu punya cara menjawab doa, meski lewat jalan tak biasa.
Beberapa bulan lalu, aku mendapat kabar mengejutkan. Kakakku—satu-satunya saudara laki-lakiku—menghamili seorang wanita, lalu wanita itu pergi meninggalkan bayinya setelah melahirkan. Kakakku pun menyerah, tak bisa merawatnya.
Aku menatap bayi kecil itu saat pertama kali datang ke rumah sakit. Tubuh mungilnya dibungkus selimut putih. Tali pusatnya bahkan belum lepas. Saat itulah aku tahu, dia adalah jawaban atas doa Ratu.
Aku bertanya pada suamiku, “Boleh aku pelihara bayi ini? Dia keponakanku. Tapi... bisa kita anggap dia anak kita?”
Dia tak menjawab saat itu. Dia hanya menggendong bayi itu, menatap wajah mungil yang masih merah itu lama sekali. Lalu ia mengangguk dan tersenyum kecil. “Kita beri nama dia Raja.”
Dan sejak hari itu, Raja hadir di rumah kami. Ratu menyambutnya dengan peluk cium, seolah benar-benar telah mendapat adik laki-laki yang selama ini ia impikan.
Tapi yang paling menyentuh hatiku adalah suamiku. Ia merawat Raja lebih dari sekadar ayah sambung. Ia menjadi ayah sejati—yang rela menahan kantuk semalaman hanya agar Raja bisa tidur nyenyak, yang memarahi aku bila aku bicara terlalu keras di dekat Raja, yang tak mau melepas gendongannya bahkan saat makan.
"Jangan dicubit, ya. Dia bayi," katanya tegas padaku suatu hari.
Kadang aku merasa begitu kecil di hadapannya. Lalu rasa bersalah kembali datang, menghantui. Aku mengingat awal pernikahan kami—aku datang dengan luka dan dosa, dengan seorang anak dalam kandungan yang bukan darah dagingnya. Tapi dia... dia tak pernah mengungkit. Tak pernah membenci.
Hingga hari ini, aku masih merasa perlu minta maaf.
"Maafkan aku ya, Suamiku... atas semua yang sudah terjadi di masa lalu. Tapi aku percaya, semua ini bukan kebetulan. Tuhan izinkan semua ini terjadi agar aku tahu rasanya menjadi seorang ibu. Agar aku bisa melihat Ratu dan Raja tumbuh dalam pelukan kita. Dan agar aku tahu... bahwa cinta sejati itu nyata, karena aku melihatnya setiap hari, dalam matamu, dalam sikapmu, dan dalam pelukanmu pada anak-anak kita."
Aku peluk suamiku dari belakang, menumpahkan seluruh rasa syukur dan haru yang menggenang dalam dada.
Hari itu, sekali lagi aku belajar...
Cinta yang sejati bukan hanya soal darah atau ikatan lahiriah. Tapi tentang mereka yang memilih untuk tinggal, mencinta, dan menerima—meski mereka bisa saja pergi.
---
Selesai