Zara dan Regan satu kelas, tapi hampir tak pernah berbicara. Kalau dilihat sekilas, mereka seperti dua kutub yang tidak nyambung:
Zara cuek, pendiam, selalu terlihat tenang dengan headphone di telinga dan buku di tangan.
Regan populer, pintar, dan jadi idola sekolah—tapi gengsinya, jangan ditanya.
Tapi diam-diam, keduanya saling memperhatikan.
Sejak kejadian kecil waktu MOS—saat Zara lupa bawa jas hujan dan Regan diam-diam melemparkan jaketnya dari kejauhan tanpa berkata apa-apa—ada rasa aneh yang tumbuh. Bukan cinta yang langsung membara, tapi perasaan halus yang makin kuat setiap kali mata mereka tak sengaja bertemu.
Setelah kejadian itu, Zara menyimpan jaket itu di lemari, dan Regan tak pernah menagihnya kembali.
Mereka tetap tak saling bicara, tapi mulai saling melempar lirikan, saling tahu kalau satu sama lain duduk di mana, melakukan apa. Kadang Regan pura-pura pinjam penghapus. Kadang Zara pura-pura kesulitan soal biar bisa tanya ke Regan.
Tapi selebihnya? Hening. Karena gengsi dan cuek jadi tembok besar yang tak ada yang berani runtuhkan duluan.
Sampai suatu hari, Zara sakit dan absen selama beberapa hari. Regan tidak bertanya langsung, tidak terlihat panik, tidak menanyakan kabar ke siapa pun.
Tapi malam itu, sebuah pesan masuk ke ponsel Zara:
Regan: “Dengar-dengar kamu sakit. Jangan sok kuat, nanti pingsan di jalan.”
Zara mengetik cepat:
“Gak usah sok perhatian.”
Balasan Regan tak langsung datang, tapi akhirnya muncul: “Siapa bilang perhatian? Aku cuma kasihan kalau kamu nyusahin orang.”
Tawa kecil muncul di wajah Zara yang lelah. Entah kenapa, meski saling nyindir, percakapan mereka terasa lebih hangat daripada semua pesan manis dari orang lain.
Besoknya Zara masuk. Tak ada sambutan dari Regan. Tapi di mejanya, tergeletak satu bungkus permen mint—favoritnya.
Dan hari-hari setelah itu jadi terasa berbeda.
Mereka mulai saling kirim chat pendek.
Mulai saling ledek.
Mulai saling menunggu di ujung lorong kelas—walau pura-pura bilang “kebetulan lewat”.
Tapi tetap belum ada kata “suka”, “kangen”, atau apapun yang bisa meruntuhkan tembok itu.
Sampai suatu hari, Regan melihat Zara tertawa bareng Reno, cowok satu angkatan juga. Tawa Zara lepas, nyaman, dan Regan merasa ada yang aneh di dadanya.
Cemburu.
Tapi mana mungkin dia ngaku?
Sore itu, Regan menunggu di gerbang sekolah. Saat Zara lewat, dia langsung berkata tanpa basa-basi:
“Kamu tadi... deket banget ya sama si Reno?” Zara menoleh pelan. “Dia lucu sih. Beda dari kamu.”
“Lucuan aku,” jawab Regan cepat, tapi nadanya terlalu serius untuk jadi candaan. Zara tertawa tipis. “Kalau kamu cemburu, bilang aja.”
Regan menghela napas. “Aku gak cemburu. Cuma gak suka lihat kamu ketawa bareng orang lain.” Zara diam sebentar. “Kamu gengsi banget ya.” “Banget,” aku Regan jujur.
Dia lalu merogoh saku dan mengeluarkan gantungan kunci berbentuk headphone—mirip milik Zara, tapi di belakangnya terukir kecil: Z ♥ R.
“Kalau orang tanya ini dari siapa, bilang aja nemu,” katanya sambil menyerahkan gantungan itu.
Zara menerimanya tanpa bicara. Tapi sebelum melangkah pergi, dia membalikkan badan dan berkata:
“Dan kalau orang tanya kenapa aku bisa tahan sama kamu yang gengsinya parah banget?”
“Jawab aja... karena aku juga sama, gengsi tapi sayang.”
Mereka tak pernah benar-benar menyatakan cinta.
Tak ada pelukan. Tak ada foto berdua. Tak ada status di bio.
Tapi setiap permen mint, setiap tatapan diam-diam, dan setiap “kebetulan lewat” yang mereka lakukan… adalah cara mereka berkata: “Kita gak perlu bilang ke siapa-siapa. Kita tahu, dan itu cukup.”
---
TAMAT.