---
Hujan sore itu seperti menyuarakan isi hati Clara—sunyi, dingin, dan kacau.
Sudah hampir dua tahun ia menjalin hubungan jarak jauh dengan Romeo, tunangannya yang bekerja di luar negeri. Mereka bertunangan sebelum Romeo berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi S2-nya. Cinta mereka kala itu terasa kuat, sekuat janji yang diucapkan di hadapan keluarga. Tapi jarak selalu punya cara merobek kesetiaan yang rapuh.
Clara tak pernah bermaksud jatuh hati pada Frengky, adik kelas tempatnya bekerja. Frengky delapan tahun lebih muda darinya, tapi selalu hadir saat Clara butuh teman bicara. Mereka mulai sering mengobrol, tertawa, lalu suatu malam hujan turun begitu deras, dan tubuh Clara yang dingin menemukan kehangatan di pelukan Frengky. Malam itu mengubah segalanya.
Dua bulan setelah kejadian itu, Clara merasa tubuhnya lelah, mual, dan terlambat datang bulan. Hasil test pack tak bisa berbohong.
"Aku hamil, Frengky..." katanya dengan suara nyaris tak terdengar saat mereka bertemu di mobil.
Frengky terdiam. Lalu dengan raut gugup tapi penuh tanggung jawab, ia berkata, "Aku akan nikahi kamu. Aku serius."
Clara menunduk. "Aku punya tunangan, Frengky. Romeo... Dia masih percaya sama aku."
Mata Frengky memerah. "Tapi kamu mengandung anakku. Kamu juga yang bilang kamu kesepian..."
"Aku salah," Clara mengeraskan suara, air matanya jatuh tanpa henti. "Aku enggak bisa ninggalin Romeo. Aku cinta dia. Aku cuma... lelah sendiri."
Hari-hari berikutnya penuh pertengkaran. Frengky yang awalnya ingin bertanggung jawab, merasa kecewa dan dikhianati saat Clara menolak untuk bersamanya. Dalam emosi, Frengky menghilang, tak lagi mengangkat telepon.
---
Romeo pulang.
Ia menjemput Clara di bandara dengan senyum lebar, membawa oleh-oleh dan sejuta rindu yang tertahan.
"Aku mau kita segera menikah," kata Romeo beberapa hari kemudian. "Aku sudah terlalu lama jauh dari kamu. Aku enggak mau kehilangan kamu lagi."
Clara ingin jujur. Tapi saat melihat mata Romeo yang penuh harapan, hatinya ciut. Ia hanya bisa memeluk Romeo erat-erat, sambil menahan isak dalam diam.
---
Tiga bulan usia kandungannya. Clara menikah dengan Romeo.
Gaun putih menyelimuti tubuhnya yang sudah mulai membesar, tapi masih bisa disembunyikan dengan potongan kain dan kebohongan. Saat ayahnya mengantar ke pelaminan, Clara nyaris pingsan karena rasa bersalah yang menghantam bertubi-tubi.
Malam pertama mereka berlalu dengan lembut, Romeo memeluknya begitu hangat, begitu tulus. "Terima kasih sudah tetap menunggu aku, Clara. Aku tahu pasti berat buat kamu."
Clara menangis sejadi-jadinya di pelukan Romeo malam itu. Tapi ia bilang, "Aku juga bersyukur kamu enggak ninggalin aku."
---
Waktu berjalan. Clara berusaha menjadi istri yang sempurna. Ia merawat Romeo dengan sepenuh hati, memasak, menyiapkan kopi paginya, dan menyembunyikan perutnya yang terus membesar dengan alasan kelelahan dan belum siap punya anak.
Sampai suatu malam Romeo masuk ke kamar mendapati Clara menggenggam foto USG sambil menangis.
"Itu... apa?" Romeo menatapnya.
Clara menggigit bibirnya. "Aku hamil," katanya pelan.
Romeo mendekat. Tangannya gemetar saat mengambil foto USG itu. "Kita... kita mau jadi orang tua?" Mata Romeo basah.
Clara ingin menjawab, “Iya, tapi bukan anakmu…” Tapi ia hanya bisa mengangguk sambil menahan sesak di dada.
---
Beberapa bulan kemudian, bayi itu lahir. Laki-laki, dengan mata tajam dan kulit sedikit lebih gelap. Romeo tampak bahagia, tak sedikit pun curiga.
Clara menyusuinya dengan penuh air mata.
Dan Frengky—entah di mana dia sekarang. Mungkin masih menyimpan kecewa, mungkin sudah belajar melupakan.
Clara hidup dalam kebohongan, tapi setiap hari ia berusaha menebusnya dengan cinta dan kesetiaan penuh kepada Romeo. Lelaki yang kini membesarkan anak orang lain, tanpa tahu kebenaran yang terkubur bersama luka.
Dan Clara?
Ia akan terus hidup dengan satu doa setiap malam:
"Tuhan... maafkan aku. Tapi jangan pernah biarkan Romeo tahu. Biarlah ini jadi rahasiaku selamanya."
---
Tamat