Mentari adalah gadis sederhana dengan senyum hangat yang mudah dikenali. Ia mahasiswi semester tiga di sebuah universitas swasta di kotanya. Sosoknya manis, tak banyak bicara, tapi selalu punya cara menyentuh hati siapa pun yang dekat dengannya. Ia tengah menjalin kasih dengan Duta, seorang senior yang aktif di komunitas pecinta alam kampus. Duta dikenal baik, sedikit pendiam, namun penuh tanggung jawab. Meski sibuk, Duta selalu meluangkan waktu untuk Mentari—hingga malam itu.
Ada konser musik kampus yang ditunggu-tunggu Mentari. Sudah sejak seminggu sebelumnya ia berharap bisa pergi bersama Duta. Tapi, satu hari sebelum konser, Duta mengatakan ia harus ikut kegiatan pelatihan SAR malam itu di luar kota.
“Aku janji, setelah kegiatan selesai, aku langsung kabarin kamu, ya. Maaf banget, Tan,” ujar Duta, memandang wajah kecewa Mentari.
Tak ingin terlihat manja, Mentari hanya tersenyum. “Iya, gak apa-apa, Mas. Hati-hati, ya.”
Malam konser tiba. Mentari hampir memutuskan untuk tidak pergi, sampai Rima, teman sekamarnya, mengetuk pintu.
“Tan, ikut yuk! Kita rame-rame aja. Aman kok. Tuh, Ari juga ikut,” kata Rima sambil tersenyum menggoda.
Ari adalah teman kampus mereka. Cukup populer, supel, dan dikenal sering bercanda. Tapi entah kenapa, Mentari selalu merasa kurang nyaman bila terlalu lama di dekatnya. Namun malam itu, rasa sepi mengalahkan perasaan tak nyaman itu.
Mereka berangkat beramai-ramai. Konser berlangsung meriah. Mentari sempat tertawa, berjoget kecil, menikmati malam bersama teman-temannya. Tapi menjelang tengah malam, satu per satu temannya pulang. Rima pun izin lebih dulu karena merasa mengantuk.
Kini hanya tinggal Mentari dan Ari.
“Yuk, pulang, Ri,” kata Mentari mulai merasa gelisah. Jam menunjukkan pukul 00.23.
“Sebentar aja, masih ramai nih. Kamu takut ya? Tenang, aku anterin pulang kok,” jawab Ari santai sambil meneguk minuman di tangannya.
Namun, waktu terus berjalan. Hingga hampir pukul satu pagi, Ari baru berdiri dan berkata, “Oke deh, ayo. Tapi mampir ke kostku dulu ya, cuma sebentar.”
Mentari menelan ludah. Tapi dia tak punya pilihan lain. Jalanan sudah sepi, dan dia tak tahu harus naik apa pulang sendiri.
Kost Ari gelap, hanya lampu temaram dari dapur menyala.
“Nih, kita minum dulu biar hangat. Cuma bir kok, dikit aja,” Ari mengangkat kaleng dari kulkas.
“Aku gak biasa minum. Aku… gak bisa,” jawab Mentari gugup, menatap gelas yang disodorkan padanya.
“Dikit aja. Gak akan bikin kamu mabok.” Ari beranjak ke dapur.
Kesempatan itu tak disia-siakan Mentari. Dengan jantung berdebar, ia membuka pintu dan lari sekuat tenaga. Di tengah malam, hanya cahaya bulan yang menemaninya. Nafasnya tersengal. Ia bersembunyi di balik semak bunga dekat pagar rumah warga yang sepi.
Tiba-tiba suara motor meraung. Ari!
“Mentari!! Kamu di mana?!” teriaknya.
Mentari menahan napas. Ia menggigil. Ari mencari sampai ke kost-nya. Setelah suasana sepi, Mentari keluar dari persembunyian.
Tepat saat itu, sebuah motor lain berhenti.
“Dik, kenapa malam-malam di sini?” suara itu sangat dikenalnya.
Duta.
Mentari langsung menitikkan air mata. “Mas…” suaranya gemetar.
Duta segera turun, menarik Mentari ke pelukannya. “Ya Allah, kamu kenapa?”
Dalam perjalanan ke kost cowok, Mentari bercerita. Wajah Duta mengeras. Amarah terpancar jelas. Di kost sudah ada Bang Dadang, teman komunitas Duta yang juga pengayom di kampus. Mereka mendengar cerita Mentari.
Namun tiba-tiba terdengar suara ramai di depan kost. Ari datang dengan lima orang temannya.
“Kamu pikir kamu siapa, Dut?! Cewek itu pacarku sekarang!” Ari berteriak.
Duta bangkit. “Kamu udah kelewatan, Ri. Mentari itu pacarku, dan dia jelas-jelas gak nyaman dengan kamu.”
Ari mengeluarkan pisau lipat. Suasana tegang. Tapi Bang Dadang berdiri di tengah-tengah. “Cukup! Kalian masih mahasiswa! Mau masalah ini naik ke rektorat?!”
Beberapa teman Duta juga keluar, membuat geng Ari merasa kalah jumlah. Mereka pun akhirnya mundur.
Mentari menangis dalam pelukan Duta. “Aku takut, Mas. Semua ini salah aku…”
“Bukan salah kamu. Aku yang harusnya jagain kamu malam ini.”
Pukul tiga pagi, Duta mengantar Mentari pulang. Kost sudah ramai. Rima langsung memeluk Mentari dengan panik.
“Astaga, Tan! Ari tadi ke sini nyariin kamu! Aku takut banget!”
Mentari menangis lagi. Trauma masih membekas.
Sejak malam itu, Mentari tak pernah pergi ke kampus sendiri. Duta setia menjemput dan mengantarnya. Mereka semakin dekat, bukan hanya sebagai pasangan, tapi juga dua jiwa yang saling melindungi. Dan Mentari, kini belajar: kadang, satu malam bisa mengubah segalanya.
---
Selesai