Rachel tak menyangka, pertemuan iseng di sebuah coffee shop sore itu bisa mengubah hidupnya. Ia hanya ingin sendiri, melupakan keribetan pekerjaannya di kantor, dan yang paling utama: melupakan mantan pacarnya yang menghilang setelah tahu Rachel tak lagi perawan. Lelaki itu meninggalkannya tanpa basa-basi, seolah masa lalu Rachel adalah dosa besar yang tak bisa dimaafkan.
Lalu datang Gading. Duduk di meja sebelah dengan wajah polos dan senyum hangat. Ia memulai obrolan dengan cara sangat sederhana.
"Sendiri aja, Kak?" tanyanya waktu itu, sopan dan tak menggoda murahan.
Rachel menoleh. “Iya. Lagi pengen tenang.”
“Kalau gitu aku pindah ke meja lain ya, takut ganggu.” Tapi ia tak beranjak. Justru menambahkan, “Kecuali kalau Kakak mau ditemenin.”
Anehnya, Rachel tak merasa terganggu. Biasanya ia langsung sinis kalau ada cowok sok kenal begitu, tapi Gading beda. Ada sesuatu dalam sorot matanya—tulus, tanpa tendensi. Ia memang muda, baru 20 tahun katanya, dia tidak kuliah tapi dia punya usaha sendiri membuka cafe dan resto . Tapi cara bicaranya, gesture-nya, semua terasa... matang.
Dan sejak hari itu, mereka jadi dekat.
---
Dua bulan kemudian, Rachel belum juga bisa menyembunyikan kegugupannya. Gading menjemputnya di depan apartemen untuk makan malam, dan malam ini, Rachel tahu arah hubungan mereka akan berubah.
Saat di mobil, Gading meliriknya dan bertanya santai, “Kamu kelihatan gugup. Kenapa?”
Rachel menggigit bibir. “Aku cuma... kepikiran satu hal.”
“Hal yang berat?”
“Cukup.”
Mobil berhenti di lampu merah. Gading memegang tangan Rachel dan memijit lembut jemarinya. “Kalau kamu nggak nyaman, kamu nggak usah cerita. Tapi kalau itu soal kita... aku harap kamu tahu, aku bukan cowok main-main.”
Rachel menarik napas. “Gading, aku delapan tahun lebih tua darimu. Aku nggak bisa kasih kamu pengalaman cinta yang ‘pertama’ atau yang ‘sempurna’. Aku pernah pacaran, aku... aku bukan gadis baik-baik versi masyarakat itu. Aku nggak perawan lagi.”
Gading tak terkejut. Ia hanya menatap Rachel dengan ekspresi tenang. “Jadi?”
Rachel membeku.
“Sayang,” lanjut Gading, “aku bukan cari pacar. Aku cari istri. Aku cari perempuan yang tahu artinya jatuh, bangkit, dan tetap bisa mencintai. Bukan tubuhnya yang penting, tapi hatinya.”
Rachel tak bisa berkata-kata.
Dan malam itu, saat mereka akhirnya berpelukan dalam kehangatan apartemen Rachel, ia merasa seperti seorang gadis yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Bukan karena tubuh Gading yang muda dan kuat, bukan karena ciumannya yang dalam dan membuat jantungnya berdetak tak karuan, tapi karena bagaimana Gading memperlakukannya. Dengan sabar, lembut, penuh pengertian.
Gading tak terburu-buru. Ia tak serakah. Justru Rachel yang nyaris tak percaya, anak muda yang katanya belum pernah pacaran serius itu bisa membuatnya merasa lebih dihargai dari lelaki mana pun yang pernah ia kenal.
“Kenapa kamu bisa se... dewasa ini?” tanya Rachel sambil menyandarkan kepala di dada Gading, napas mereka masih hangat menyatu.
Gading tertawa kecil dan mengusap rambut Rachel. “Mungkin karena aku tumbuh dengan melihat terlalu banyak laki-laki gagal jadi laki-laki yang baik. Aku belajar dari kesalahan mereka.”
Rachel menggigit bibir, menahan senyum. “Kamu juga lebih... hot daripada mantan-mantanku. Kamu tahu itu?”
Gading mencubit pinggang Rachel, membuatnya terkekeh. “Aku bukan sekadar hot. Aku serius. Kamu boleh tanya hatiku.”
Rachel menatapnya dalam. “Kamu nggak takut aku berubah pikiran?”
“Aku lebih takut kamu nggak percaya aku tulus.”
---
Hari-hari berlalu. Rachel semakin sering menemukan diriya rindu akan Gading. Anak muda itu tahu cara menenangkan hatinya, tahu kapan harus bicara dan kapan cukup memeluk. Ia tahu kalau Rachel butuh kopi tanpa gula setiap pagi, dan tahu kalau Rachel paling malas diingatkan soal pekerjaan. Tapi Gading tetap mengingatkan, bukan sebagai atasan, tapi sebagai pasangan.
Rachel seringkali merasa canggung sendiri. Ia, yang lebih tua, justru merasa seperti gadis muda yang sedang belajar mencintai. Dan Gading, si brondong yang katanya masih ‘hijau’, malah seperti pelindung yang siap membawanya ke arah yang lebih baik.
“Kalau kita nikah nanti...” ujar Gading suatu malam ketika mereka duduk berdua di balkon, “Kamu mau kerja terus atau jadi ibu rumah tangga?”
Rachel meliriknya. “Kamu nggak keberatan aku kerja?”
Gading menggeleng. “Nggak. Selama kamu bahagia. Tapi kamu juga harus tahu, aku bukan cari istri buat dilayani. Aku cari istri buat dibagi hidup.”
Rachel hampir menangis malam itu.
---
Ada banyak hal yang tak pernah Rachel bayangkan bisa ia alami dengan seseorang yang lebih muda. Tapi bersama Gading, semua ketakutan itu tak pernah muncul. Bahkan saat orang-orang mulai menggunjing soal mereka, Gading hanya tertawa.
“Mereka boleh bicara apa aja. Tapi kamu tahu siapa yang pegang tanganmu tiap malam, kan?”
Rachel mengangguk pelan.
Dan malam itu, Gading memeluknya erat di ranjang, seolah tak mau membiarkannya lepas dari pelukan dunia yang sudah terlalu sering menyakitinya.
Dengan Gading, Rachel menemukan rumah—tempat di mana ia bisa menjadi dirinya tanpa takut dihakimi.
---
Tamat