Malam di desa selalu terasa sunyi. Tak ada deru kendaraan, hanya suara jangkrik dan desir angin yang kadang menyelusup lewat celah jendela kayu kamar nenek. Anjani menggulung selimut sampai ke dada, berbaring menghadap tembok sambil menggigit bibir. Malam ini malam ketiga ia menginap di rumah nenek, sejak kakeknya jatuh sakit. Mama menyuruhnya menemani, karena nenek sudah terlalu tua untuk mengurus semuanya sendiri.
Anjani menurut, meski awalnya berat. Ia lebih suka di rumah, di kamarnya sendiri, karena bisa bebas video call dengan Ello, pacarnya yang baru jalan lima bulan tapi sudah seperti candu.
"Kalau kamu kangen banget, datang aja," ucap Anjani semalam lewat suara lirih di telepon. "Tapi jangan sampai ketahuan nenek. Bahaya."
Ello hanya tertawa pelan di ujung telepon. "Tantangan kayak gitu malah bikin tambah greget."
Dan benar saja. Malam keempat, sekitar pukul sebelas, saat rumah sudah senyap dan lampu kamar redup, jendela kamar Anjani diketuk pelan. Tiga kali.
Deg. Anjani langsung bangkit dari kasur, menyingkap tirai. Di luar sana, berdiri sosok yang sangat ia kenal. Dengan jaket hoodie hitam dan senyum setengah jahil, Ello mengangkat alis. Anjani buru-buru membuka jendela.
"Kamu beneran datang?" bisiknya kaget.
Ello memanjat jendela dengan mudah, lalu mendarat di lantai kamar Anjani tanpa suara. "Aku bilang kangen, bukan basa-basi."
Anjani menutup jendela kembali, lalu menoleh ke pacarnya. Jantungnya berdegup kencang. Antara takut dan senang bercampur jadi satu.
"Kalau ketahuan nenek, habis aku," gumam Anjani, tapi tubuhnya tak menjauh dari Ello.
"Tapi kamu senyum, Jan," kata Ello, tangannya mengusap pipi Anjani yang mulai memerah. "Berarti senang aku datang."
Anjani mendesah kecil. "Jangan lama-lama, ya."
Tapi malam itu menjadi lebih lama dari yang ia bayangkan. Dimulai dari obrolan pelan di kasur, lalu tatapan-tatapan yang terlalu lama, hingga akhirnya tubuh mereka saling merapat, saling mencari kehangatan dalam diam.
Sejak malam itu, Ello datang hampir tiap malam. Diam-diam, lewat jendela. Anjani selalu tidur lebih lambat, menunggu ketukan tiga kali yang membuat jantungnya berdebar. Mereka berbicara dalam bisikan, menyentuh dalam sunyi, saling mencintai dalam diam.
Anjani tahu ini gila. Tapi anehnya, ia tak bisa berhenti. Ada sesuatu dalam tatapan Ello yang membuatnya merasa dilindungi. Dan ada sesuatu dalam dirinya sendiri yang membuatnya ingin menyerah pada perasaan itu setiap kali Ello datang.
---
Minggu kedua.
"Ini gila, El," bisik Anjani suatu malam saat tubuh mereka berpeluh di balik selimut.
Ello mengusap rambutnya lembut. "Kalau ini gila, aku mau gila tiap malam. Sama kamu."
Anjani tertawa kecil, lalu memeluk pacarnya lebih erat. "Tapi sampai kapan kita bisa begini?"
Ello diam sejenak, lalu berbisik, "Sampai kamu pulang ke rumah. Atau… sampai nenekmu bangun tengah malam dan nyergap kita."
Anjani mencubit pinggang Ello sambil menahan tawa. "Jangan ngomong yang aneh-aneh!"
"Tapi serius, Jan. Aku gak cuma pengen hubungan kayak gini. Aku sayang kamu."
Anjani menatap mata itu. Jujur. Dalam. Ia percaya, meski semuanya mereka jalani diam-diam, perasaannya bukan main-main.
"Aku juga sayang kamu, El."
---
Minggu ketiga. Pagi buta.
Jam lima subuh, Ello berpamitan pulang seperti biasa. Ia mencium dahi Anjani, lalu melompat keluar jendela dengan hati-hati. Anjani selalu berdiri di sisi jendela, mengawasinya turun dan menyelinap lewat samping rumah, menyelinap ke motornya yang diparkir jauh di bawah pohon mangga.
Tapi pagi itu berbeda. Saat Anjani membalikkan badan, ia melihat bayangan berdiri di pintu kamar.
Nenek.
Tubuh Anjani langsung gemetar. Wajahnya pucat.
"Kamu bangun pagi sekali, Nak," kata nenek, suaranya datar.
Anjani menelan ludah. "I-iya, Nek. Mau… angin-angin pagi."
Nenek menatap jendela yang masih setengah terbuka, lalu kembali menatap cucunya. "Angin subuh itu dingin. Jangan sampai masuk angin, ya."
Dan ia pergi begitu saja. Pelan. Tapi cukup membuat Anjani tidak bisa tidur lagi sampai matahari naik.
---
Malam terakhir sebelum ia pulang, Ello datang lebih awal. Mereka berbaring di kasur, hanya bertukar tatapan.
"Aku bakal kangen masa-masa ini," kata Ello sambil memainkan jari Anjani.
"Nyelinap lewat jendela tiap malam?" Anjani tersenyum.
"Enggak. Maksudku… momen di mana kita bisa saling bergantung tanpa distraksi. Aku tahu ini gila, Jan, tapi aku ngerasa lebih dekat sama kamu justru di kamar nenek kamu yang kecil ini."
Anjani diam. Lalu berkata pelan, "Aku juga ngerasa begitu. Tapi aku gak mau ini cuma jadi kenangan nakal."
"Enggak akan," kata Ello yakin. "Ini akan jadi awal yang manis buat hubungan kita. Aku pengen serius."
Anjani menatap wajah itu, lalu mengangguk.
Malam itu, mereka berbaring lebih lama dari biasanya. Tak ada kata, hanya pelukan panjang sebelum Ello keluar jendela untuk terakhir kalinya. Anjani menutup jendela pelan, lalu menatap kasur yang kini terasa lebih dingin dan sepi.
Tapi di dalam hatinya, ada kehangatan yang tersisa. Bukan dari selimut atau tubuh Ello, tapi dari rasa yang pelan-pelan tumbuh menjadi cinta yang tulus. Cinta yang diam-diam mereka rawat di tengah malam, dengan jendela terbuka dan doa-doa yang tak pernah diucap keras.
---
Dua Garis, Dua Takdir
Sebulan setelah kepulangan dari rumah nenek, pagi hari terasa berbeda untuk Anjani. Dingin bukan lagi karena embun atau kipas angin, tapi karena tubuhnya yang lemas dan kepala yang ringan. Mual menjadi rutinitas, dan muntah jadi teman sarapan. Awalnya ia mengira masuk angin. Tapi setelah dua minggu, ia tahu… ini bukan cuma soal angin.
Anjani menggenggam benda kecil di tangannya erat. Dua garis merah samar terpampang jelas. Tangannya gemetar. Nafasnya berat.
Ia duduk di lantai kamar, memandangi test pack itu sambil menahan air mata. Perasaannya campur aduk. Takut. Bingung. Tapi juga… ada sedikit haru yang tak bisa ia bantah.
Ia mengetik pelan di ponselnya:
"El… aku hamil."
Belum sampai semenit, ponselnya berdering. Nama "Ello" muncul di layar. Anjani menjawab dengan suara bergetar.
"Serius, Jan?" suara Ello terdengar tak percaya.
Anjani mengangguk meski Ello tak bisa melihat. "Dua garis."
Ada jeda. Lalu suara di seberang berubah jadi lebih pelan. Tapi terdengar jelas—ada senyum di sana.
"Aku bakal jadi ayah…" katanya nyaris berbisik, seperti masih berusaha menerima kenyataan itu. "Jan… aku senang banget. Beneran."
Air mata Anjani jatuh. Ia tak tahu harus berkata apa. Ia mengira Ello akan panik. Tapi ternyata, respons pertama pacarnya justru rasa bahagia. Ia merasa sedikit lebih tenang.
"Kita harus ngomong ke orang tuamu," kata Ello serius. "Aku nggak mau sembunyi. Aku tanggung jawab."
Anjani hanya bisa mengangguk lagi, meski hatinya masih ciut membayangkan wajah Papa yang terkenal keras dan galak.
---
Tiga hari kemudian, Ello datang ke rumah Anjani. Mengenakan kemeja putih bersih, rambut disisir rapi, dan wajah yang tampak lebih dewasa dari biasanya. Ia membawa keberanian dan niat baik.
Anjani menggenggam tangannya erat sebelum mereka masuk ke ruang tamu. Papa duduk di sana, bersama Mama.
"Ada apa kalian datang berdua?" tanya Papa, nada suaranya tegas, seperti biasa.
Anjani menunduk. Ello menelan ludah, lalu bicara dengan tenang.
"Pak… saya mau bicara soal sesuatu yang penting. Tentang saya dan Anjani."
Papa menatap tajam. "Apa maksudmu?"
Ello menarik napas dalam-dalam. "Saya minta maaf karena kami telah melangkah terlalu jauh. Dan saya bertanggung jawab. Anjani… sekarang sedang hamil. Dan saya ingin menikahinya. Saya tidak akan lari. Saya cinta Anjani, Pak."
Hening.
Detik bergulir pelan. Papa memandang Anjani, lalu Ello, dan kembali pada Anjani. Wajahnya menegang. Tangannya mengepal.
"Kalian berdua main-main dengan kehormatan keluarga!" suaranya meledak. "Anjani! Ini yang kau lakukan di belakang kami?!"
Anjani gemetar. Mama yang duduk di sebelah Papa segera memegang lengan suaminya, berusaha menenangkan.
"Sudah, Pa. Tenang dulu… dengarkan mereka. Anak kita bukan anak kecil lagi. Ini sudah terjadi, dan setidaknya Ello datang dengan niat baik."
Tapi Papa menggeleng, matanya masih panas. "Aku tidak bisa langsung menerima begitu saja!"
Mama menggenggam tangan Papa lebih erat. "Dulu waktu aku hamil kamu juga panik. Tapi kita lewati semuanya bersama, ingat? Anak ini—Anjani—datang dari cinta kita, dan sekarang dia sedang merasakan hal yang sama. Dia butuh dukungan kita, bukan kemarahan."
Suasana jadi lebih tenang.
Papa terdiam, wajahnya mulai melunak. Ia menatap Anjani, yang kini menangis sambil menunduk. Lalu menatap Ello yang masih berdiri tegak meski ketakutan jelas terlihat di matanya.
Akhirnya, Papa bersuara pelan. "Kamu yakin, Ello?"
"Sangat yakin, Pak. Saya ingin menikahi Anjani dan membangun keluarga bersama dia. Saya janji akan jaga dia dan anak kami."
Papa memejamkan mata sesaat, lalu mengangguk pelan.
"Baik. Tapi pernikahan kalian harus segera. Tidak ada lagi rahasia."
---
Satu bulan kemudian.
Pernikahan digelar sederhana. Di halaman belakang rumah, dengan tenda putih dan bunga melati menghiasi pelaminan. Keluarga dan teman dekat hadir, menyaksikan dua insan muda yang memutuskan memulai hidup baru.
Anjani mengenakan kebaya putih gading, rambut disanggul rapi. Wajahnya berseri, meski perutnya mulai sedikit membuncit. Ello berdiri di sampingnya, tampak lebih matang, lebih tenang. Hari itu, tak ada lagi rasa takut atau rasa bersalah. Hanya harapan dan cinta.
Saat ijab kabul diucapkan, air mata Anjani jatuh lagi. Tapi kali ini bukan karena takut. Melainkan karena bahagia.
Setelah pesta selesai, dan para tamu pulang, Anjani dan Ello duduk di serambi rumah. Malam mulai turun, dan angin membawa aroma tanah basah.
"Siapa sangka ya… dari yang tadinya nyelinap lewat jendela, sekarang kamu resmi jadi suamiku," kata Anjani dengan senyum lebar.
Ello tertawa, lalu mencium tangan istrinya. "Dan calon ayah dari anak kita."
Anjani bersandar di bahunya. "Terima kasih udah gak lari, El."
"Aku nggak akan pernah lari. Kita udah mulai semua ini bareng, kita juga hadapi bareng. Aku cinta kamu, Jan. Selalu."
Anjani mengangguk. Dan dalam hati, ia tahu… segala rasa takut dan rahasia masa lalu itu, tak lagi penting. Karena sekarang, mereka berjalan dalam terang. Bersama.
---
Tamat