Arini menggenggam gagang koper kecilnya sambil menatap rumah bercat abu-abu yang berdiri gagah di depan matanya. Rumah keluarga Marvel. Ini pertama kalinya dia datang ke rumah pacarnya itu—dan juga pertama kalinya dia akan menginap selama beberapa hari karena sedang libur kuliah. Marvel sudah mengajaknya sejak minggu lalu, dan setelah melalui banyak pertimbangan, Arini akhirnya setuju.
Pintu terbuka, dan Marvel muncul dengan senyum khasnya yang selalu berhasil membuat jantung Arini berdetak lebih cepat.
"Capek, sayang?" Marvel menyambutnya, mengambil kopernya dengan tangan kiri, lalu tangan kanannya meraih pinggang Arini, memberi pelukan singkat yang hangat.
"Enggak, cuma deg-degan aja," bisik Arini, malu-malu.
Marvel tertawa pelan. "Tenang aja. Kamu aman di sini. Cuma ada aku dan ibuku. Tapi ibu lagi dinas luar kota sampai lusa."
Malam pun datang dengan cepat. Setelah makan malam sederhana bersama dan nonton film di ruang tengah, Marvel menggandeng tangan Arini menuju kamar lantai dua.
"Kamu yakin mau tidur di kamar aku?" tanya Marvel sambil membuka pintu.
Arini mengangguk kecil. "Daripada tidur sendiri di kamar sebelah, aku takut..."
Marvel tersenyum tipis. "Aku janji, aku jaga kamu."
Tapi saat malam semakin larut, dan suasana kamar mulai tenang, tubuh mereka yang berdekatan di atas ranjang mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Marvel yang semula hanya memeluk Arini dari belakang mulai mengecup bahunya dengan lembut. Arini memejamkan mata. Ciuman itu terasa hangat... dan lama-lama membangkitkan sesuatu yang selama ini dia pendam.
"Sayang..." bisik Marvel di lehernya.
Arini menoleh, dan mata mereka bertemu. Bibir mereka saling mendekat, menyatu dalam ciuman pelan yang makin lama makin dalam. Arini menggigil, bukan karena dingin, tapi karena gelombang rasa yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Marvel mencium dagunya, lalu turun ke leher, membuat tubuh Arini bergetar. Tangan Marvel merayap ke perutnya, lalu berhenti.
"Aku pengen kamu..." bisik Marvel dengan suara serak. "Tapi kalau kamu belum siap, kita stop."
Arini menelan ludah. Jantungnya berdetak sangat cepat. Di satu sisi, dia takut. Tapi di sisi lain, ada hasrat yang sudah tak bisa dia tolak.
"Aku... aku belum pernah..." lirih Arini.
Marvel mengangguk pelan. "Aku tahu. Makanya aku tanya."
Dia mencium dahi Arini, dan hampir saja mundur, tapi tangan Arini justru menariknya kembali.
"Aku... mau coba... asal kamu pelan-pelan."
Ciuman mereka kembali membara. Marvel begitu lembut, penuh kesabaran. Tapi ketika ia mencoba menembus perawan Arini, tubuh gadis itu menegang.
"Akh!" Arini menggigit bibir bawahnya. Rasa sakitnya tajam, membuat tubuhnya refleks menjauh.
Marvel langsung berhenti. Nafasnya memburu, tapi dia menatap Arini dengan pandangan penuh pengertian.
"Kita stop ya," katanya lembut. "Kamu belum siap. Nggak apa-apa."
Arini hanya mengangguk, menahan air mata. Malu. Bingung. Tapi juga lega, karena Marvel tidak memaksa.
Malam itu mereka hanya tidur dalam pelukan, tanpa melanjutkan apapun.
---
Malam kedua datang dengan lebih tenang. Sepanjang hari mereka hanya menghabiskan waktu memasak, bermain kartu, lalu bersantai di teras belakang rumah. Marvel tak pernah membahas malam sebelumnya, dan Arini pun merasa lebih nyaman.
Tapi saat malam tiba, dan mereka kembali berdua di kamar, sesuatu berubah. Arinilah yang memeluk Marvel lebih dulu. Lalu mencium bibirnya, lembut tapi penuh niat. Marvel membalas dengan perlahan, tapi kali ini tak seagresif kemarin. Dia membiarkan Arini yang mengatur ritme.
"Aku mau, Marv..." bisik Arini dengan suara gemetar. "Tapi tolong... jangan kasar."
Marvel mengelus pipinya. "Aku akan perlakukan kamu seperti yang paling berharga."
Mereka kembali tenggelam dalam pelukan dan ciuman panjang. Kali ini Arini membiarkan tubuhnya terbuka, menyerahkan sepenuh rasa. Dan saat Marvel menyatu dengannya perlahan, rasa sakitnya masih ada... tapi berbeda. Ada kehangatan baru yang menyertai, ada perasaan pasrah yang menyatu dengan rasa cinta.
Air mata jatuh dari mata Arini saat semua itu benar-benar terjadi. Marvel yang menyadarinya segera menghentikan gerakannya.
"Kamu nangis?" tanya Marvel, panik.
Arini mengangguk, menyeka air matanya dengan punggung tangan.
"Bukan karena sakit... tapi aku sedih. Karena aku tahu... aku udah bukan gadis kecil lagi."
Marvel menariknya ke pelukan dan mencium keningnya.
"Tapi kamu tetap gadis yang aku sayang. Kamu istimewa. Aku nggak akan pergi, Rin. Aku serius sama kamu."
Arini menatap mata itu, dan untuk pertama kalinya ia percaya—bahwa cinta tak selalu manis, tapi jika dibangun dengan kepercayaan, ia bisa kuat dan bertahan.
---
Esok paginya, saat cahaya mentari masuk lewat jendela kamar, Arini terbangun dalam pelukan hangat. Rambutnya berantakan, tapi wajahnya tenang.
Marvel menggenggam tangan kecilnya, mencium punggung tangannya dengan lembut.
"Selamat pagi, calon istriku."
Arini tertawa kecil, tapi hatinya meleleh. Untuk pertama kalinya, ia merasa... dimiliki dengan utuh, bukan hanya tubuh, tapi juga hati.
---
Sekian