Arimbi menyesap kopinya perlahan, menatap jendela kafe dengan tatapan kosong. Umurnya sudah 33 tahun. Cantik, mandiri, dan mapan—tiga hal yang membuat banyak pria mendekat, tapi semuanya pergi dengan alasan yang sama: takut tertinggal.
Hingga datang Mexi.
Cowok itu baru 23 tahun. Kulit sawo matang, rambut ikal pendek, tubuh atletis dan penuh energi. Brondong rasa premium, pikir Arimbi saat pertama kali mengenalnya di kelas yoga privat. Mexi adalah pelatih baru yang katanya pernah jadi atlet nasional. Dia muda, percaya diri, dan terlalu tampan untuk jadi nyata.
“Kenapa kamu selalu menatapku kayak mau makan?” tanya Mexi suatu sore, ketika mereka latihan berdua.
Arimbi tertawa. “Karena kamu terlalu enak dilihat.”
Tak disangka, Mexi tersenyum nakal, lalu mendekat. “Kalau begitu... nikmati aja, Mbak Arimbi.”
Sejak hari itu, semuanya berubah.
Mereka mulai sering pergi bersama—latihan yoga berdua bisa berubah jadi sesi pelukan basah karena keringat, lalu disambung dengan mandi bareng di apartemen Arimbi. Mexi tahu betul cara menyentuh perempuan. Tangannya hangat, bibirnya manis, dan tubuhnya... oh, tubuhnya membuat Arimbi ingin lupa umur.
Yang membuatnya makin jatuh adalah perhatian Mexi. Dia mendengarkan, mengerti, dan tak pernah memaksakan apa pun. Tapi justru itulah jebakannya. Arimbi mulai terjerat. Perasaan yang awalnya hanya main-main dan pelepas sepi, berubah jadi candu.
Malam itu, di tengah guyuran hujan deras, Mexi datang ke apartemen Arimbi dengan jaket basah dan senyum lelah.
“Kamu kenapa datang jam segini?” tanya Arimbi khawatir.
“Pengen ketemu kamu. Nggak bisa tidur.”
Dan mereka pun tenggelam dalam pelukan hangat, di atas sofa, di bawah selimut tipis, hanya suara hujan yang jadi saksi.
“Nggak bisa gini terus, Mex,” bisik Arimbi setelah semuanya reda.
“Kenapa?”
“Kamu terlalu muda. Aku udah... terlalu jauh dari duniamu.”
Mexi menatap matanya lekat. “Dunia siapa yang bilang? Perasaanku milik kamu. Badanku juga. Aku nggak peduli orang mau bilang apa.”
Arimbi menangis pelan. Ini bukan hanya tentang usia. Ini tentang luka, tentang perasaan bersalah mencintai cowok yang mungkin seharusnya jadi murid, bukan kekasih. Tapi hati tak bisa memilih. Dan tubuhnya? Sudah terlalu sering dirasuki hangatnya Mexi, terlalu nyaman dalam pelukan cowok itu.
Beberapa hari kemudian, Arimbi mencoba menjauh. Tak lagi membalas pesan Mexi. Tak lagi datang ke kelas. Tapi cowok itu selalu menemukan cara untuk muncul.
Sampai pada suatu malam, Mexi datang, tak berkata apa-apa, hanya memeluk Arimbi dari belakang saat ia sedang berdiri di balkon.
“Kalau kamu takut, aku yang pegang kendali,” bisik Mexi pelan. “Tapi jangan tinggalin aku.”
Arimbi menyerah. Dia balik badan, memandang wajah Mexi yang penuh tekad. Lalu mengecupnya, lama.
Malam itu, mereka kembali menyatu—bukan sekadar karena nafsu, tapi karena perasaan yang tak lagi bisa dibohongi.
---
“Kadang, cinta datang dari arah yang tak kita duga. Dan saat ia terlalu muda untuk disebut ‘dewasa’, justru di situlah kita belajar bahwa kedewasaan itu bukan tentang umur, tapi tentang keberanian menjaga hati.”
Selesai