Kinan menggigit bibirnya, menyusuri lorong sempit kos-kosan barunya yang sunyi. Hanya tujuh kamar, dua belas mahasiswi perempuan tinggal di dalamnya. Tapi malam ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Kos ini memang kecil, dan temaramnya lampu lorong menambah kesan menyeramkan. Regi, sahabat sekaligus teman sekamarnya, sedang pulang kampung. Kinan sendiri malam ini.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Ia duduk di ranjang, membuka Alkitab kecil di tangannya sambil berdoa pelan. Perasaan tidak enak telah ia rasakan sejak magrib tadi. Angin berhembus dingin dari jendela yang sedikit terbuka. Tirai tipis bergoyang perlahan, seolah disentuh sesuatu yang tak terlihat.
Kinan menguap. Ditariknya selimut, lalu merebahkan tubuh, tidur membelakangi jendela.
---
Sesuatu membangunkannya. Tidak ada suara. Tidak ada suara apa pun.
Namun Kinan merasa tubuhnya kaku. Tak bisa bergerak. Seolah ada beban berat duduk di ranjang, tepat di belakang punggungnya.
Lalu ia mencium bau aneh—bau lembap bercampur anyir, seperti kain basah yang lama tidak dijemur. Perlahan, desahan napas terdengar di belakangnya. Dekat. Sangat dekat. Napas itu berat, panjang, seperti milik seseorang yang menahan nafsu.
Kinan mencoba menoleh, tapi tak mampu. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat. Dalam ketakutan, ia merasakan sesuatu bergerak mendekat ke wajahnya. Nafas itu kini menyentuh lehernya.
Dan—coba menciumnya.
Tidak hanya desah. Ada rambut. Panjang, kasar, dan dingin seperti benang nilon basah menyentuh pipinya. Kinan akhirnya bisa memaksa tubuhnya bergerak dan langsung bangkit, menggenggam Alkitabnya erat.
Nafasnya terengah. Matanya menyapu seisi kamar. Tidak ada siapa-siapa.
Namun jendela kini terbuka lebih lebar. Tirainya terangkat sedikit, seperti barusan ada sesuatu yang melompat keluar.
Ia menatap jam. 00:00.
Dengan tangan gemetar, Kinan meraih ponselnya dan menelepon pacarnya. Suaranya tercekat saat menceritakan apa yang baru saja ia alami. Suara pacarnya mencoba menenangkan, menyuruhnya berdoa, membaca Mazmur 91.
Tapi malam itu, Kinan tidak bisa tidur. Ia menyelimuti diri, memeluk Alkitab, dan terus berdoa tanpa henti. Bahkan suara jangkrik di luar pun terasa seperti bisikan.
---
Tiga hari kemudian, Regi kembali dari kampung. Kinan langsung menyambutnya, wajahnya masih pucat dan kurang tidur.
“Aku harus cerita sesuatu, Reg,” kata Kinan saat mereka masuk kamar.
Regi meletakkan tasnya, lalu duduk di ranjang. “Apa?”
Dengan suara pelan, Kinan menceritakan kejadian malam itu. Ekspresi Regi berubah saat Kinan menyebutkan sosok perempuan berambut putih panjang dan bau anehnya.
“Ya Tuhan…” Regi memegangi tengkuknya, wajahnya tegang.
“Apa?”
“Aku juga pernah mimpi dia,” kata Regi. “Tapi bukan cium. Dia… dia pengen nyusu ke aku.”
Kinan membeku. Matanya membesar. Regi menarik napas dalam. “Waktu awal kita pindah ke sini, aku pernah mimpi gitu. Dia duduk di atas perutku, rambutnya nutupin wajah, dan… dia buka bajuku.”
“Reg…” suara Kinan nyaris tak terdengar.
“Aku pikir itu cuma mimpi iseng. Tapi makin lama, dia makin sering muncul. Apalagi kalau aku tidur siang. Makanya aku suka kabur ke taman. Aku takut kalo tidur dia datang…”
---
Malam berikutnya, Kinan dan Regi memutuskan untuk tidur di kamar tetangga mereka, Sari dan Mayang. Mereka awalnya malu, tapi setelah dijelaskan alasan ketakutan mereka, Sari hanya diam.
Sari memandang mereka lama. “Dulu, kamar kalian itu pernah kosong lama,” katanya. “Katanya, yang dulu tinggal di situ pernah kerasukan. Sampai dilarikan ke rumah sakit. Waktu dia sadar, dia bilang dia didatangi perempuan rambut putih yang katanya ‘ingin dimanja.’ Sejak itu kamar itu kosong, sampai kalian datang.”
Kinan merasa lututnya lemas.
Malam itu mereka tidur berempat di kamar Sari. Tapi jam dua pagi, Kinan terbangun karena mendengar suara lirih. Seperti suara perempuan mengerang.
Ia bangkit pelan. Di bawah cahaya remang lampu tidur, ia lihat Regi duduk di pojokan kamar. Tubuhnya gemetar, dan matanya kosong.
“Regi?” panggil Kinan pelan.
Regi tidak menjawab. Matanya tetap lurus ke depan. Tangannya mencengkeram bajunya sendiri.
Kinan bangkit dan menghampiri, tapi sebelum ia menyentuh Regi, terdengar suara serak—bukan dari Regi, tapi dari belakangnya.
“Jangan ganggu dia... Dia milikku…”
Kinan menoleh dengan cepat. Tak ada siapa-siapa.
Regi tiba-tiba menjerit keras. Tubuhnya kejang. Sari dan Mayang langsung bangun, mereka bertiga memeluk Regi yang tubuhnya seperti kesetrum. Dalam jeritannya, terdengar kata-kata aneh:
“Jangan usir aku… Aku haus… Aku ingin cinta…”
---
Pagi harinya, Kinan dan Regi memutuskan untuk menemui ibu kos. Dengan wajah lelah, mereka memohon untuk pindah kamar. Tapi ibu kos hanya menghela napas.
“Kamar itu dari dulu memang… aneh,” katanya pelan. “Tapi kalau kalian percaya Tuhan, berdoalah terus. Saya sendiri nggak bisa banyak bantu.”
Hari-hari berikutnya, Kinan dan Regi tak pernah lagi tidur di kamar sendiri. Mereka menumpang di kamar lain, bergantian. Mereka juga meminta doa bersama dari teman-teman kampus yang rohani.
Namun kadang-kadang, saat larut malam, suara langkah kaki masih terdengar dari lorong—padahal semua kamar sudah terkunci. Tirai kamar mereka yang tak ditempati tetap berkibar, seolah ada yang duduk di dalam, menatap ke luar jendela.
Dan yang paling membuat Kinan ngeri adalah satu pesan WhatsApp yang ia terima di malam sunyi.
Tanpa nama pengirim. Hanya satu kalimat:
“Aku akan datang lagi. Tapi kali ini, aku ingin lebih dari sekadar ciuman.”
---
Selesai