Tahun 2007. Tahun ketika ponsel Nokia masih berjaya, ketika Friendster masih jadi ajang pamer foto alay, dan ketika Ferry, Fala, dan Lisa memulai kisah persahabatan mereka di sebuah rumah kost kecil di pinggiran kota Pontianak
Mereka bertiga di pertemukan di kost "Bu Wati", bangunan tua yang hangat oleh aroma masakan rumahan dan cerita-cerita larut malam.
Hidup di kota jauh dari rumah membuat mereka saling menggantungkan semangat. Ada masa di mana mereka harus makan mi instan tiga kali sehari karena uang kiriman belum juga masuk. Ada malam-malam penuh tawa karena nonton sinetron bareng sambil menertawakan akting lebay si tokoh utama. Tapi ada juga air mata diam-diam saat rindu rumah menyerang.
Sampai tiba malam itu. Malam minggu yang ditunggu Ferry karena ada konser band favoritnya, Slank, di lapangan kampus sebelah. Dengan semangat, Ferry berangkat bareng teman-teman kampusnya. Ia pamit pada Lisa dan Fala sambil nyengir lebarnya yang khas.
“Doain aku ketemu Ariel ya—eh, maksudnya ketemu yang jodoh di sana,” celetuk Ferry sebelum pergi, membuat Lisa melempar bantal dan Fala hanya menggeleng sambil tertawa.
Tapi malam yang penuh harap itu berubah jadi malam paling sial bagi Ferry. Di tengah kerumunan ribuan orang yang jingkrak-jingkrak, Ferry baru sadar ponselnya hilang. Entah dicopet, entah terjatuh. Panik, ia mencoba mencari teman-temannya, tapi yang ada hanya lautan kepala dan suara musik menggelegar.
Setelah hampir dua jam mondar-mandir dengan keringat dingin, Ferry terduduk di pinggir taman dekat lokasi konser. Untunglah ada seorang bapak-bapak paruh baya yang melihatnya dan menawarkan tumpangan sampai depan kost. Dengan wajah lelah, mata sembab, dan langkah gontai, Ferry akhirnya tiba di kost.
Pintu kamar Fala diketuk pelan.
“Fala... Lisa... aku bisa tidur di kamar kalian malam ini?”
Suara Ferry pelan, seperti habis kalah taruhan hidup. Saat pintu dibuka, Lisa dan Fala terkejut melihat Ferry dengan wajah kusut, kaus basah keringat, dan mata memerah.
“Astaga, kamu kenapa?” tanya Lisa panik.
Ferry langsung menjatuhkan diri ke lantai kamar mereka dan mulai bercerita. Tentang konser, kehilangan ponsel, terpisah dari teman-teman,dan sempat terlibat perkelahian juga dan diantar pulang oleh orang asing yang baik hati. Kata-katanya tersendat. Di ujung cerita, air matanya jatuh juga.
“aku nggak nyangka, cuma mau senang-senang malah jadi malam paling nyebelin. Aku bener-bener nyesel,” gumamnya pelan.
Fala duduk di sebelah Ferry dan menepuk bahunya. “Tenang, Fer. Ponsel bisa hilang, tapi hidup mu kan nggak. Kamu masih bisa cerita, kamu masih bisa pulang. Itu udah rezeki.”
Lisa mengangguk sambil menyodorkan sepotong roti isi cokelat. “Besok kita ke konter, nyari kartu pengganti. Yang penting sekarang kamu tidur dulu, istirahat. Udah cukup galaunya, Ferry.”
Ferry tersenyum kecil. Malam itu ia tidur di kamar Lisa dan Fala, di antara dua sahabatnya yang sama sekali tak menghakimi, hanya mendengar dan menguatkan.
Konser boleh gagal, tapi Ferry tahu, ia punya persahabatan yang tulus dan hangat.
Dan malam minggu itu, menjadi kenangan yang akan selalu mereka ingat selamanya.
Selesai