“Von, please ya... jangan kasih dia uang lagi. Gue beneran gak tahan liat lo dimanfaatin terus-terusan,” suara Regi terdengar marah tapi peduli. Vonny hanya mengangguk, menunduk menahan sesak yang menggumpal di dadanya.
Hubungan Vonny dengan Denny sudah berjalan hampir satu tahun. Di awal, Denny tampak seperti cowok impian—selalu ada kapanpun Vonny butuh, siap antar-jemput ke mana saja, dan tahu caranya membuat Vonny tertawa. Tapi semua berubah ketika satu demi satu keburukan Denny mulai muncul dari balik topeng manisnya.
Vonny pertama kali curiga saat Denny minta uang untuk bayar uang kuliah. Katanya kiriman dari orang tua di kampung belum datang, dan dia janji bakal ganti. Tapi sudah dua bulan berlalu, uang itu tak pernah kembali.
Lalu mulai sering datang alasan lain. Untuk bayar kos, untuk makan, untuk beli buku. Anehnya, setiap malam Denny malah nongkrong bareng teman-temannya di depan kampus, mabuk-mabukan. Kadang Vonny pulang kuliah, lihat sendiri cowoknya duduk di pinggir jalan, matanya merah, wajahnya sayu, dan botol minuman keras di tangan.
“Dia ngelakuin itu karena lagi stress,” bela Vonny pada dirinya sendiri suatu hari.
Tapi Regi, sahabatnya sudah tak tahan lagi.
“Vonny, lo gak lihat mata dia selalu merah tiap pagi? Kuliah gak kelar-kelar. Gak ada masa depan. Gue liat dia ngumpul mulu di depan kampus, mabok terus. Mau lo sampai kapan begini?” suara Regi bergetar karena emosi.
“Iya, iya, aku gak akan kasih dia uang lagi,” ucap Vonny pelan, walau di dalam hati masih ada keraguan. Ia tahu Denny bukan cowok baik, tapi entah kenapa hatinya masih berharap pria itu bisa berubah.
Tapi harapan itu hancur seketika ketika suatu malam, ketika hujan turun pelan, dan seseorang mengetuk pintu kosnya.
Dua orang cowok Vonny tahu itu teman kost Denny dengan hoodie lusuh berdiri di depan pintu. “Von, aku di suruh Denny ke sini . Dia mau minjam uang dia bilang tolong kasih dulu tiga ratus ribu buat bayar uang ujian KLO gak dia gak bisa ikut ujian . Dia gak enak langsung datang.”
Vonny bimbang. Tapi akhirnya dia kembali tergoda. Ia ambil dompet, keluarkan sisa uang bulanan yang seharusnya untuk makan dan bayar listrik. Setelah cowok itu pergi, Vonny hanya bisa duduk di kasur sambil menatap uang yang lenyap.
Seminggu kemudian, kenyataan pahit menamparnya. Vonny melihat sendiri Denny sedang bermesraan dengan cewek lain di warung kopi dekat kampus. Cewek itu duduk di pangkuannya, tertawa, dan memanggilnya “sayang.” Denny bahkan tak sadar kalau Vonny berdiri beberapa meter di belakang mereka, menatap dengan dada yang mendadak sesak.
Air mata tak terbendung. Vonny berlari meninggalkan tempat itu, hujan yang mengguyur menyembunyikan air matanya. Ia pulang dengan tubuh menggigil, namun hati lebih beku dari hujan malam itu.
“Lo lihat sendiri kan sekarang,” suara Regi lembut malam itu ketika Vonny menangis di pelukannya. “Gue udah bilang, cowok itu mokondo. Udah miskin, mabok, tukang bohong, eh selingkuh juga.”
Vonny hanya menangis, merasa sangat bodoh telah membutakan hati demi seseorang yang tak layak diperjuangkan.
Namun seperti pagi yang selalu datang setelah malam, hidup Vonny perlahan berubah. Ia mulai menjauh dari lingkungan Denny, fokus kuliah, dan lebih sering bersama Regi serta teman-teman baik lainnya.
Hingga suatu hari, datanglah dia—Raka, senior di fakultas sebelah. Laki-laki berpenampilan sederhana, tapi selalu sopan, santun, dan pekerja keras. Pertemuan mereka bermula dari perpustakaan, ketika Vonny menjatuhkan bukunya, dan Raka membantunya.
Dari satu percakapan kecil tumbuh kepercayaan. Raka tidak pernah meminta apapun, bahkan sering membawakan makanan ketika tahu Vonny sibuk skripsi. Ia mendengarkan curhat Vonny tanpa menghakimi, dan pelan-pelan, menyembuhkan luka di hatinya.
“Kalau aku boleh jujur, aku suka kamu sejak pertama lihat kamu di perpus. Tapi aku tahu kamu baru saja terluka, jadi aku akan sabar. Aku cuma mau kamu bahagia,” ucap Raka suatu malam di bawah lampu taman kampus.
Vonny tersenyum. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang. Bukan karena diselamatkan, tapi karena merasa dilihat sebagai dirinya yang utuh.
Kini hidup Vonny jauh dari drama. Tak ada lagi malam menunggu cowok mabuk pulang, tak ada lagi air mata karena uang yang tak kembali. Setiap harinya diisi tawa, kerja keras, dan pelukan hangat dari seseorang yang mencintainya tanpa syarat.
Selesai