Hari itu adalah hari bersejarah bagi Bagas. Untuk pertama kalinya, dia akan main ke rumah pacarnya, Stela. Setelah seminggu deg-degan menunggu momen ini, akhirnya Stela mengizinkannya datang. Tapi karena gugupnya sudah level pingsan panggung, Bagas mengajak sahabatnya, Degi, buat nemenin—setidaknya kalau terjadi hal-hal tak terduga, ada saksi hidup.
“Aman gak sih gue dateng ke rumah cewek kayak gini?” bisik Bagas sambil berdiri di depan pagar rumah Stela.
Degi, yang sedang sibuk ngaca di layar HP-nya, jawab santai, “Yang gak aman tuh kalau lo pingsan duluan. Santai, Gas. Gue di sini. Lagian katanya bokapnya Stela galak banget, kan? Kita siap mental aja.”
“Lah itu bukan santai namanya, Deg! Itu malah makin bikin tegang!”
Belum sempat Degi membalas, pintu rumah terbuka. Stela muncul, manis banget pakai kaus warna biru dan celana jeans robek-robek gaya anak Instagram. Tapi senyum manisnya langsung berubah kecut ketika dia lihat siapa yang buka pintu dari dalam rumah.
“Gas, ayo masuk…” kata Stela, tapi nadanya datar.
Baru satu langkah masuk rumah, dari ruang tengah terdengar suara berat penuh wibawa.
“Ini yang namanya Bagas?”
Bagas refleks berdiri tegak. Degi juga ikut-ikutan berdiri kayak upacara.
Seorang pria berperut buncit dengan wajah serius keluar dari balik rak buku. Dialah Pak Harto, ayah Stela. Legenda yang katanya dulu bikin guru BP di sekolah aja segan.
“Iya Pak, saya Bagas,” jawab Bagas, kaku.
Pak Harto melirik ke arah meja di ruang tengah. “Bisa main catur?”
Bagas melirik Stela yang langsung buang muka, pura-pura ngelapin meja TV yang padahal udah bersih dari tadi.
“Sedikit, Pak,” jawab Bagas, setengah pasrah.
“Bagus. Sini, temenin Bapak main. Udah lama gak ada lawan main.”
Tanpa bisa menolak, Bagas duduk di depan papan catur. Degi langsung ngacir ke dapur, sok sibuk bantuin Stela, padahal niatnya ngindar dari medan perang.
Babak pertama dimulai. Bagas gugup bukan main. Keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Di satu sisi, dia harus fokus ke pion dan benteng. Di sisi lain, matanya sesekali melirik ke arah ruang TV, tempat Stela duduk sambil pura-pura nonton sinetron, padahal matanya nyolong ngelihatin dia.
Pak Harto diam. Matanya fokus ke papan catur. Tapi tiba-tiba, setelah Bagas memindahkan bidak kuda ke posisi yang salah, Pak Harto melongo dan nyeletuk,
“Wah ini sih kudanya nyasar, Gas. Mau ke kandang sapi kali ya?”
Bagas menahan tawa. Itu... bapak-bapak joke?
“Iya Pak, mungkin tadi salah jalan. Kudanya belum makan siang, jadi kurang fokus,” jawab Bagas dengan senyum kaku.
Dan ternyata, dari situ suasana mulai mencair. Pak Harto mulai banyak bercanda. Kadang sengaja ngelawak tentang catur, kadang malah curhat soal dulu dia juga pernah deg-degan ketemu ayah mertua.
“Dulu Bapak ketemu kakeknya Stela juga disuruh main catur. Beda dua langkah, kalah, disuruh pulang,” kata Pak Harto sambil ngakak. “Tapi kamu bagus. Tahan lima babak, baru skakmat!”
Sementara itu, Stela yang dari tadi di ruang TV, mulai geleng-geleng kepala. Bete-nya udah level tujuh. Dia nyaris keluar dan ngomel ke ayahnya, tapi waktu matanya dan mata Bagas saling bertemu dari sela pintu, dia terdiam.
Mereka saling pandang. Bagas tersenyum kecil, ekspresi antara lega dan lelah. Stela membalas dengan senyum simpul, sedikit geli, sedikit gemas. Dan untuk pertama kalinya, Stela merasa... ya, mungkin pacarnya ini cukup hebat. Punya nyali, sabar, dan bisa bikin ayahnya ketawa.
Akhirnya Stela masuk ke ruang tengah, bawa dua gelas es teh dan sepiring biskuit.
“Ini buat kalian. Udahan dong, Pak. Kasihan pacar orang disiksa.”
“Bukan disiksa. Ini uji mental! Cowok sejati harus tahan sama tekanan,” kata Pak Harto dengan bangga. “Eh tapi serius, Bagas, kamu asyik juga. Besok-besok main lagi ya.”
Bagas mengangguk lemah. “Iya, Pak. Asal jangan catur dulu, main ludo boleh?”
Pak Harto ketawa ngakak.
Degi muncul dari dapur sambil nyomot biskuit. “Gas, lo selamat... Gue udah siap lari kalau lo disuruh push-up.”
Stela duduk di samping Bagas, nyengir. “Maaf ya, Papaku kadang suka ngetes. Tapi kalau udah suka, susah dilepas.”
Bagas menatapnya, lalu melirik Pak Harto yang masih senyum-senyum sambil ngatur bidak catur.
“Gak apa-apa. Aku anggap aja ini... babak pertama dari catur cinta kita.”
“Yeeeee,” Degi langsung nyorakin.
Stela cuma ketawa pelan. Dan malam itu, meski niatnya mau ngapel berubah jadi turnamen dadakan, hati Bagas tetap menang—karena senyuman Stela lebih berharga dari skakmat manapun.