Hari itu, langit mendung tapi hati Tiara cerah secerah harapan untuk nonton pertandingan bola bareng pacarnya, Nanda. Di sekolah, jam baru menunjukkan pukul 08.15 ketika Tiara duduk gelisah di kelas, matanya terus melirik ke arah jam dinding dan layar ponsel yang disembunyikannya di balik buku Biologi.
"Febby dan Viona udah di sana belum ya?" gumam Tiara pelan. Dua sepupunya itu memang sudah tak masuk sekolah dari pagi. Alasan mereka klasik: sakit. Tapi kenyataannya? Mereka sudah duduk manis di stadion mini, memesan es kelapa dan menunggu Tiara bergabung sambil menonton Nanda dan timnya bertanding.
Masalahnya, jalan menuju stadion itu cuma satu: harus keluar dari sekolah lebih awal. Dan itu berarti harus melewati pos penjagaan paling ketat di semesta SMA Harapan Bangsa—Pak Dul, guru piket legendaris yang terkenal tak pernah bisa dibohongi.
Tapi Tiara tak kehabisan akal.
Pukul 09.00, dengan napas ditahan dan muka ditekuk seolah menahan penderitaan, Tiara melangkah menuju ruang piket.
"Pak... saya... saya sakit perut," katanya sambil memegangi perut dengan dramatis.
Pak Dul menatapnya penuh curiga. "Baru jam segini kok sakit perut? Tadi pagi masih segar bugar tuh kamu."
"Ini baru kerasa, Pak... perut saya mulas... mungkin karena sosis bakar semalam," jawab Tiara lirih, menunduk makin dalam, bahkan sempat menggertakkan gigi seperti orang menahan mules hebat.
Pak Dul menyipitkan mata, tapi belum luluh juga. “Kalau kamu bohong, saya bisa tahu, loh.”
Tiara pun menaikkan level akting. Ia berjalan perlahan menjauh, tubuhnya membungkuk seperti nenek-nenek, sesekali mengerang pelan, lalu menoleh, “Pak… saya takut… saya bisa… bisa…,”
Pak Dul langsung berdiri. “Oke! Oke! Daripada kamu... itu... beneran kejadian di sini, mending kamu pulang. Tapi langsung ke rumah ya, jangan keluyuran!”
Tiara mengangguk cepat-cepat dengan ekspresi seolah sekarat, tapi dalam hati: YEAHHHH!
Begitu sudah menjauh dari ruang piket dan memasuki gerbang depan sekolah, wajah Tiara langsung ceria seperti anak kecil yang baru dapat permen. Ia bahkan sempat salto kecil di halte depan, membuat tukang gorengan melongo.
---
Setengah jam kemudian, Tiara sampai di stadion mini tempat pertandingan antar-SMA berlangsung. Febby dan Viona sudah duduk di tribun, lengkap dengan bendera kecil dan kacamata hitam ala suporter sejati.
“Woy! Cewek sakit perut!” sapa Viona sambil tertawa ngakak.
“Keren banget akting lu!” tambah Febby. “Si Dul pasti terkecoh abis!”
Tiara membusungkan dada. “Hello! Kalian berdua cuma ngirim surat izin. Gue? Live drama satu babak!”
Ketiganya pun tertawa seru. Tak lama, Nanda datang menghampiri dari tepi lapangan. Keringat masih menetes dari pelipisnya, tapi senyumannya bikin Tiara lupa semua kelelahan.
"Lo beneran datang," kata Nanda sambil menyodorkan minuman dingin.
"Of course. Demi kamu dan bola, aku rela pura-pura sakit perut," Tiara tertawa.
“Lo hebat,” kata Nanda sambil mencubit pipinya. “Tapi nanti sore, jangan lupa pura-pura sembuh ya, biar nggak kelepasan kangen di rumah.”
Pertandingan pun dimulai. Sorak-sorai, teriakan histeris, dan tawa mereka bertiga memenuhi tribun. Sesekali mereka saling melempar popcorn, memfoto selfie dengan gaya aneh, dan bersorak keras saat Nanda mencetak gol.
Tiara menatap Nanda yang sedang berlari di lapangan, lalu menoleh ke arah Febby dan Viona yang sedang ribut karena berebut kipas. Di antara semua kekonyolan dan kepura-puraan hari ini, ada satu hal yang nyata—rasa senangnya.
Bahkan jika besok harus pura-pura sakit perut lagi, Tiara tahu... semua ini worth it.
Dan siapa tahu... suatu saat nanti, Tiara bisa main sinetron karena bakat aktingnya yang luar biasa.
---