Kasih di Bawah Rembulan Persik
I
Pada masa Dinasti Tang, di kota Chang’an yang megah, hiduplah seorang pemuda bernama Wei Liang. Ia bukan bangsawan, bukan pula pejabat, melainkan seorang penulis kaligrafi dan pembuat puisi untuk orang-orang kaya. Rumahnya kecil, terletak di pinggir kota, menghadap ke taman persik yang terkenal indah saat musim semi tiba.
Wei Liang mencintai kesunyian dan keindahan alam. Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing sempurna, ia berjalan ke taman persik untuk menulis bait-bait puisi, ditemani suara angin dan harum bunga yang memenuhi udara.
Suatu pagi musim semi, saat embun masih menetes dari ujung daun, dan burung-burung kecil baru mulai berkicau, Wei Liang melihat sosok yang membuat langkahnya terhenti.
Di tengah lautan bunga persik yang bermekaran, berdiri seorang wanita muda dengan jubah sutra putih bersulam burung bangau. Rambutnya hitam legam, panjang tergerai, diikat pita merah sederhana. Wajahnya bagai lukisan dewa, dengan mata jernih seperti danau di musim semi, pipi bersemu merah muda, dan bibir mungil yang tersenyum pelan saat memetik bunga persik.
Wei Liang menahan napas. Seumur hidupnya, ia belum pernah melihat kecantikan sehalus itu. Angin pagi membawa harum bunga persik, seakan alam pun ikut merestui pertemuan mereka.
Tanpa sadar, ranting kecil yang diinjak Wei Liang patah, menimbulkan suara lirih. Wanita itu menoleh. Mata mereka bertemu.
Dan di detik itu, dunia terasa sunyi.
> "Maafkan aku, nona. Aku tidak bermaksud mengganggu," kata Wei Liang, menunduk hormat.
Wanita itu tersenyum, suaranya lembut seperti angin pagi.
> "Tidak, tuan. Taman ini milik semua. Akulah yang seharusnya meminta maaf karena menghalangi jalanmu."
Wei Liang menggeleng, lalu memberanikan diri bertanya, "Bolehkah aku tahu nama nona?"
> "Namaku Mei Hua," jawabnya. "Aku sering datang ke sini setiap musim bunga. Ayahku pejabat kecil di istana. Tapi di taman ini, aku hanya seorang perempuan biasa yang mencintai bunga."
Sejak pagi itu, hati Wei Liang tak lagi tenang. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
---
II
Hari-hari berikutnya, Wei Liang selalu berharap bertemu Mei Hua di taman persik. Dan entah takdir atau keberuntungan, mereka sering bersua di bawah pohon persik yang sama.
Mereka berbincang tentang puisi, tentang bintang, tentang hujan, tentang segala hal yang sederhana namun indah. Wei Liang sering membawa puisi yang ia tulis khusus untuk Mei Hua, dan membacakannya di bawah rembulan.
Suatu malam, saat festival lentera, ribuan lentera diterbangkan ke langit Chang’an. Udara dipenuhi cahaya hangat dan doa-doa rakyat. Wei Liang berjalan ke taman persik, berharap menemukan Mei Hua di sana.
Dan benar, di bawah pohon persik tertua, Mei Hua berdiri mengenakan jubah merah muda. Wajahnya bercahaya diterangi lentera yang tergantung di dahan.
> "Aku tahu kau akan datang," kata Mei Hua pelan.
Wei Liang mendekat, jantungnya berdegup kencang. "Aku hanya ingin melihat rembulan bersamamu malam ini."
Mei Hua menatap langit, lalu menoleh pada Wei Liang.
> "Kau tahu, aku selalu merasa kesepian di balik tembok rumahku. Tapi saat bersamamu, aku merasa bebas seperti burung di langit."
Wei Liang menggenggam tangannya perlahan. Tangannya hangat, lembut seperti kelopak persik.
> "Andai aku bisa menulis seluruh langit dengan kata cinta, namamu akan terukir di sana selamanya."
Mei Hua tersenyum, matanya berkaca-kaca. Bersama-sama, mereka melepaskan lentera ke langit. Lentera itu terbang tinggi, cahayanya menyatu dengan ribuan bintang.
> "Biarlah langit dan bunga persik jadi saksi," bisik Wei Liang.
---
III
Namun takdir selalu menguji cinta.
Ayah Mei Hua mendengar kabar tentang kedekatan putrinya dengan seorang penulis miskin. Marah, ia melarang Mei Hua keluar rumah. Taman persik kini sepi tanpa sosok gadis yang selalu ditunggu Wei Liang.
Hari demi hari, Wei Liang datang ke taman, membawa puisi, menulis di bawah pohon persik, berharap Mei Hua membaca bait-baitnya di angin.
Suatu malam, saat hujan gerimis turun, Mei Hua datang diam-diam. Rambutnya basah, wajahnya pucat, tapi senyumnya tetap hangat.
> "Aku tak tahan lagi," katanya. "Aku ingin bersamamu, meski hanya sekejap."
Wei Liang memeluknya erat, merasakan tubuh Mei Hua yang dingin karena hujan.
> "Jangan menangis. Aku akan menunggumu, berapa pun lama waktu memisahkan kita."
Malam itu mereka berjanji, di bawah pohon persik tua: jika dunia tak merestui, mereka akan tetap mencintai diam-diam, sampai rembulan berhenti bersinar.
---
IV
Musim berganti. Mei Hua dipaksa bertunangan dengan seorang pejabat muda pilihan keluarganya. Hati Wei Liang hancur, namun ia tetap menulis, setiap bait puisinya ditujukan hanya untuk Mei Hua.
Suatu malam, sebelum hari pernikahan Mei Hua, ia datang sekali lagi ke taman persik. Rambutnya digelung rapi, wajahnya sedih namun tegar.
> "Besok aku akan menikah, Liang. Tapi hatiku tetap untukmu."
Wei Liang menatapnya, mata mereka basah oleh air mata.
> "Kau akan selalu hidup dalam puisiku, Mei Hua. Selamanya."
Di bawah hujan bunga persik yang gugur tertiup angin malam, mereka berpisah. Tak ada kata lain yang bisa diucap selain bisikan hati yang saling mencinta.
---
V
Tahun-tahun berlalu. Wei Liang menjadi penyair terkenal, puisinya dibaca di seluruh negeri. Namun di setiap baitnya, selalu ada satu nama tersembunyi: Mei Hua.
Mei Hua hidup dalam istana megah, tapi hatinya tetap terpenjara dalam kenangan di taman persik. Setiap musim semi, ia meminta pelayannya menanam pohon persik di taman istana, agar saat bunga-bunga itu mekar, ia bisa memandangi dan mengenang cintanya pada Wei Liang.
Dan setiap malam bulan purnama, mereka menatap rembulan yang sama, dari dua tempat yang berbeda, hati mereka tetap terhubung dalam bisu.
Karena cinta sejati, meski dipisahkan tembok, waktu, dan takdir, akan tetap hidup dalam kenangan dan puisi.