Dara tak pernah membayangkan hatinya akan terpaut pada pria berusia delapan tahun lebih muda darinya. Ia sudah hampir tiga puluh, hidupnya rapi, pekerjaannya mapan, dan dunianya terlalu tenang untuk diguncang oleh cinta. Terlebih cinta dari seorang pria Pisces bernama Marco, mahasiswa semester lima yang rambutnya acak-acakan dan gaya bicaranya seperti tak pernah serius.
Namun, sejak pertemuan pertama di pameran seni tempat adiknya menjadi kurator, ada yang berbeda. Marco berdiri di depan lukisan abstrak berwarna gelap dan berkata, “Kalau hidupmu sedang rumit, lukisan ini akan terlihat jujur.”
Dara mendongak. Ia tidak pernah mendengar seorang anak dua puluhan bicara dengan cara seperti itu. Biasanya mereka sok tahu. Tapi Marco… tenang. Dalam. Penuh perhatian, tapi tidak memaksa.
“Dan kalau hidupmu sedang baik-baik saja?” tanya Dara.
Marco menoleh dan tersenyum tipis. “Kau akan tetap melihat kerumitannya, tapi kau tak akan takut lagi.”
Entah kenapa, malam itu Dara merasa seperti bukan dirinya. Ia tertawa ringan, membiarkan Marco berjalan bersamanya di sepanjang lorong galeri, dan bahkan bertukar nomor ponsel. Mereka mulai sering bertemu. Ngobrol di kafe. Nonton film. Jalan kaki tanpa tujuan. Marco mendengarkan seperti lelaki tua yang bijak, bukan bocah dua puluhan. Dan ketika ia berbicara, ia tak pernah membual, hanya menyampaikan apa adanya—dan itu menenangkan Dara, si Gemini yang biasanya lincah, mandiri, dan selalu bingung antara logika dan rasa.
“Apa kau nggak terganggu aku jauh lebih tua?” tanya Dara suatu malam di pinggir danau.
Marco memandangi air yang tenang. “Usia itu angka. Tapi perasaan… itu pilihan. Aku memilih kamu.”
Dara mengernyit. “Tapi aku ini... sudah hampir tiga puluh. Kamu bahkan belum kerja tetap.”
Marco tertawa kecil. “Dan kamu berpikir kamu lebih dewasa dari aku?”
Dara diam.
Marco menoleh, memandang mata Dara yang biasanya tajam, malam itu tampak ragu. “Justru karena aku masih muda, aku tahu apa yang ingin kujaga. Kamu. Aku nggak main-main.”
Itu adalah pertama kalinya dalam hidup Dara, seseorang memperlakukannya seolah-olah ia bukan seseorang yang 'terlalu tua untuk dicintai', tapi sebagai seseorang yang layak untuk diperjuangkan, tanpa alasan aneh-aneh.
Hari demi hari, Marco tetap menjadi Marco—sabar, tenang, mendalam. Ia tidak datang membawa janji-janji manis. Tapi ia hadir ketika Dara butuh bahu, datang saat Dara mulai ragu, dan tetap tinggal walau Dara berkali-kali mendorongnya menjauh.
Bulan berganti. Tahun pun ikut berjalan. Dan Dara, si Gemini yang dulu takut jatuh cinta, akhirnya luluh pada seorang Pisces yang diam-diam jauh lebih dewasa daripada banyak pria seusianya.
Malam itu, Marco memegang tangan Dara di balkon rumah.
“Kalau nanti kamu benar-benar yakin…” kata Marco perlahan.
Dara mengangguk pelan, menatap matanya yang jernih.
“Aku udah yakin sejak awal, Marco,” jawabnya. “Ternyata... cinta memang nggak kenal umur. Tapi dia tahu ke mana harus pulang.”
Dan malam itu, dua zodiak yang katanya tak terlalu cocok, membuktikan bahwa cinta tak selalu menurut kata astrologi. Kadang, hati lebih peka dari bintang-bintang.
---