Manado, 2025.
Angin laut menggoda tirai putih yang tergantung di jendela kamar. Di luar, matahari senja mulai menyentuh ombak yang memecah karang, menciptakan kilau seperti berlian di atas laut. Di dalam vila megah di kawasan eksklusif Kalasey, dua insan tinggal satu atap—diikat oleh takdir yang rumit dan tidak biasa.
Namanya Nadira. Gadis 21 tahun yang manis, cerdas, dan memiliki wajah seolah dipahat dari marmer surga. Setelah hidup berdua bersama ibunya sejak kecil karena ayah kandungnya terjerat judi dan meninggalkan mereka, kini hidup Nadira berubah drastis. Ibunya, seorang janda tangguh, menikah lagi—kali ini dengan lelaki terkaya di Manado: Tanardi, ayah dari Julian Arsenio.
Julian, pria berusia 35 tahun, berdarah bangsawan, keturunan Tionghoa-Belanda yang menguasai dunia properti dan ekspor-impor. Ia kaku, dingin, dan sinis. Ia tidak menyukai perubahan—apalagi sosok baru yang disebut “adik tiri.” Baginya, tak ada yang bisa menggantikan ibunya yang telah meninggal karena serangan jantung saat ia berusia 11 tahun.
Namun Nadira, dengan segala ketulusannya, tidak pernah mencoba mengambil peran siapa-siapa. Ia hanya tersenyum, menyapa Julian tiap pagi, memasakkan sarapan meski mereka jarang makan bersama. Tatapannya lembut, tanpa prasangka. Dan perlahan, ketidakpedulian Julian mulai goyah.
Hari-hari berlalu. Lalu satu bulan kemudian, datang berita dari Bali—mobil yang ditumpangi kedua orang tua mereka saat bulan madu mengalami kecelakaan hebat di tikungan pegunungan. Mereka meninggal di tempat.
Hari-hari jadi sunyi. Vila megah itu kini hanya dihuni dua orang: kakak-beradik tiri, bukan sedarah, bukan sepenuhnya keluarga.
**
Malam itu, hujan turun deras di Manado. Nadira duduk di ruang tamu sambil memeluk kakinya. Rambutnya basah, ia baru saja mandi, hanya mengenakan sweater abu-abu kebesaran dan celana pendek.
Julian berdiri di depan perapian, menatap api yang menyala. “Kau tak perlu menungguiku pulang setiap malam, Nadira,” katanya tanpa menoleh.
“Aku tahu,” jawabnya pelan. “Tapi kau selalu pulang dengan bahu yang tampak berat.”
Julian menoleh. Pandangannya jatuh pada mata Nadira yang hangat. Wajah itu, bibir merah muda itu, kulit putih pucat seperti bulan… Ia tidak tahan lagi.
“Kenapa kau selalu bersikap seperti ini?” suaranya mengeras. “Kenapa kau tidak membenciku seperti aku mencoba membencimu?”
Nadira berdiri perlahan, mendekat. “Karena kau sendirian, Julian. Sama seperti aku.”
Jarak mereka hanya tinggal sejengkal. Hening. Lalu Julian membungkuk dan mencium kening Nadira—lembut, penuh gejolak yang terpendam selama sebulan ini.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Nadira tidak tidur di kamarnya.
**
Hari-hari setelahnya berubah. Mereka tak pernah bicara soal malam itu. Tapi sentuhan-sentuhan kecil mulai hadir—saling menyuapi sarapan, Nadira duduk di pangkuannya saat membaca buku, Julian membelai rambutnya ketika menonton televisi.
Namun ada yang berbeda dalam mata Julian. Bukan hanya cinta. Tapi obsesi.
Ia mulai membatasi gerak Nadira. Ia melarang laki-laki mendekatinya. Ia memasang CCTV di sekeliling vila. Ia mengganti nomor ponsel Nadira, bahkan menonaktifkan akun media sosialnya.
“Aku tak ingin kehilanganmu,” bisiknya suatu malam di ranjang. “Kau satu-satunya yang kumiliki sekarang.”
“Dan aku di sini untukmu,” jawab Nadira. Tapi di hatinya, ia mulai bertanya-tanya… Apakah ini cinta? Atau penjara yang dibungkus dengan kelembutan?
**
Suatu malam, Nadira menemukan kamar terkunci yang selama ini dilarang dibuka. Ia berhasil membobolnya, dan mendapati ruangan penuh lukisan dirinya. Sketsa, foto, bahkan gaun-gaun yang ia kenakan dulu, dipajang rapi seolah ia adalah koleksi pribadi.
Julian memergokinya.
“Jangan pernah masuk ke sini lagi,” suaranya dingin.
“Apa ini semua?” tanya Nadira, gemetar.
Julian memeluknya dari belakang. “Kau adalah satu-satunya bunga yang tersisa dalam hidupku. Kalau dunia mencoba merebutmu dariku… aku akan menghancurkannya.”
**
Di tepi pantai, Nadira berdiri sendirian, angin laut meniup rambutnya. Cinta… terkadang tidak hadir sebagai pelukan yang hangat. Tapi sebagai cengkeraman yang tak ingin dilepaskan.
Ia mencintai Julian. Tapi ia juga takut padanya.
Dan malam itu, saat Julian datang dan meraih tangannya, Nadira hanya bisa tersenyum tipis. Sebab terkadang, dalam hidup, kita tidak memilih siapa yang kita cintai. Tapi cinta itulah yang memilih kita… bahkan saat bentuknya berubah jadi obsesi.
---
TAMAT