---
Aku selalu percaya, semesta punya cara paling ajaib untuk mempertemukan dua manusia di waktu yang paling mereka butuhkan.
Aku dan Alin — dua perempuan yang pernah sama-sama berpikir bahwa dunia tak punya tempat aman lagi untuk kami.
Dua ibu tunggal, dua hati yang kadang terasa terlalu lelah untuk terus kuat, dua zodiak Leo yang keras kepala dan gengsian.
Namun, di balik semua itu — dua sahabat yang diam-diam selalu berdiri di garda terdepan untuk satu sama lain.
Kami bertemu delapan tahun lalu.
Awalnya hanya sebatas kenal, lalu menjadi teman biasa.
Tapi, seiring waktu, hidup seperti menarik benang merah di antara kami.
Mungkin karena sama-sama mengerti rasa sepi yang tak bisa ditunjukkan ke dunia.
Atau mungkin karena sama-sama tahu bahwa menjadi ibu tunggal bukan sekadar soal membesarkan anak, tapi juga membesarkan keberanian dalam diri sendiri.
Empat tahun terakhir, persahabatan kami berubah.
Lebih dalam. Lebih jujur.
Tanpa syarat. Tanpa perhitungan.
Alin bukan tipe yang banyak bicara tentang perasaan, dan aku pun begitu.
Tapi kami punya bahasa sendiri yang tak perlu diterjemahkan.
Lalu datang masa itu.
Masa ketika aku terjebak dalam hubungan yang tak sehat, dengan lelaki yang tak mau melepaskanku bahkan saat aku sudah lelah habis-habisan.
Aku takut.
Takut untuk melangkah.
Takut akan hari esok.
Takut kalau anakku harus hidup dalam bayang-bayang itu.
Dan di saat semua orang hanya bisa berkata, “Sabar saja,” atau “Nanti juga dia berubah,” — Alin berdiri di sampingku.
Tanpa kata-kata manis.
Tanpa ceramah.
Hanya dengan tindakan nyata.
Dia jadi perisai.
Dia jadi tembok yang menutup semua celah informasi tentangku.
Dia menyembunyikan keberadaanku, memutus semua jejak yang bisa diendus lelaki itu.
Dan yang paling penting — dia tak pernah mengeluh.
Tak pernah berkata, “Aku capek,” atau “Aku takut juga.”
Dia melakukannya karena dia tahu, saat itu aku tak punya siapa-siapa lagi kecuali dia.
Hingga tiba hari aku memutuskan untuk pergi.
Pindah kota.
Memulai hidup baru.
Untuk aku, dan anakku.
Lucunya, di hari aku harus berangkat — kami malah saling diam.
Tak ada pelukan.
Tak ada tangis.
Tak ada kata perpisahan.
Mungkin gengsi kami terlalu tinggi.
Atau mungkin hati kami terlalu penuh untuk bisa diucapkan.
Tapi di balik gengsi itu, aku tahu:
Jika aku menoleh saat itu, aku akan melihat matanya yang berkata,
"Pergilah. Aku di sini. Selalu akan ada untukmu."
Hari-hari berlalu.
Aku mulai membangun hidup baru.
Jauh dari Alin, tapi dekat di hati.
Dan hari ini — lewat tulisan ini — aku ingin berkata:
Alin, terimakasih.
Untuk semua hal yang tak terucap.
Untuk semua keberanian yang kau pinjamkan padaku saat aku kehilangan punyaku.
Untuk menjadi garda terdepan saat dunia terasa melawan.
Untuk membuatku percaya, bahwa sahabat bisa menjadi rumah yang paling aman.
Aku sayang kamu.
Lebih dari yang bisa aku ucapkan langsung.
Dan meski kita sama-sama Leo yang keras kepala — kamu akan selalu punya tempat paling hangat di hidupku, seperti yang dulu kau berikan untukku dan anakku.
“aku berhutang banyak padamu…”
Salam hangat,
L♡
---