---
Senja hari itu berbeda. Langit seperti merunduk, mengguratkan luka-luka samar di antara awan jingga yang mulai memudar. Di sebuah kafe kecil dekat pelabuhan, aku duduk sendiri, menunggu entah apa — mungkin jawaban, mungkin keajaiban yang tak pernah datang.
Dia masuk begitu saja, membiarkan pintu berderit pelan. Tatapannya kosong, namun teduh. Seorang perempuan dengan payung yang masih basah, menaruh buku catatan di meja seberangku.
Aku tak berniat bicara. Tapi dunia, kadang bermain iseng. Saat pelayan keliru mengantarkan pesananku ke mejanya, tawa kecil kami pecah, lirih di antara denting gelas.
“Sepertinya hari ini memang penuh kejutan,” katanya. Suaranya serak, nyaris patah.
Kami mulai berbicara — tentang hal-hal remeh yang tak penting, lalu perlahan tentang kehilangan, tentang mimpi yang patah di tengah jalan. Ada luka di matanya yang tak bisa ia sembunyikan, dan mungkin aku pun serupa.
Di luar, langit makin gelap. Pelabuhan berpendar lampu-lampu redup. Dia menatap arlojinya, napasnya berat.
“Aku harus pergi,” katanya, sambil meraih buku catatannya. Tangannya gemetar sedikit.
Aku ingin berkata: tinggallah. Tapi kadang, yang ingin kita tahan justru yang paling harus kita lepaskan.
Dia berdiri, menatapku sejenak. “Terima kasih… untuk sore ini.”
Lalu melangkah pergi, membiarkan payungnya terbuka di bawah gerimis yang nyaris habis. Aku duduk membeku. Di meja, ia sengaja meninggalkan secarik kertas kecil:
"Kadang pertemuan singkat justru yang paling lama tinggal dalam ingatan."
Senja berlalu. Dan aku tahu, di balik segala kemungkinan yang tak jadi nyata, satu senja, satu pertemuan — cukup untuk merubah cara kita memandang dunia.
---
Bali , 07-06-2025
M.Deena