Pagi itu, Kazuya bangun seperti biasa. Dengan wajah masih mengantuk, ia melangkah ke kamar mandi sebelum duduk untuk sarapan.
“Hoaamm... Aku masih ngantuk,” gumamnya sambil menguap lebar.
Adiknya, Yui, yang tengah menyantap sepotong roti, menatapnya heran. “Loh, Kazu-nii? Bukannya tadi malam tidur lebih awal?”
Kazuya menunduk sedikit, lalu berbisik, “Sebenarnya aku main game semalam. Ssst... jangan kasih tahu Ibu ya.”
Yui mencibir pelan. “Ehh... Ternyata main game lagi. Kalau terus kayak gitu, lama-lama nilai Kakak bisa turun, loh.”
Dari luar rumah terdengar suara sahabatnya, Maeda, memanggil dengan semangat.
“Kazuyaaa! Oyy! Hari ini Idul Adha, ayo keliling-keliling lihat hewan kurban!”
Kazuya bangkit dan membuka pintu. “Pagi-pagi banget, dah...”
“Event setahun sekali, bro. Lagian kamu molor terus sih, semalam beban pula.”
“Hei, itu wajar. Aku kan baru pertama kali main.”
“Hadehh, diem beban bergerak malah bikin bencana.”
“Jadi kamu ke sini mau nge-roasting aku atau ngajak jalan?”
“Nanya lagi. Yaudah, ayo cabut.”
“Gas.”
Di tengah jalan, mereka bertemu Nara, teman sekelas yang biasanya cukup ceria. Namun kali ini, wajah Nara tampak muram.
“Eh, Nara. Mau ke mana pagi-pagi?” sapa Maeda.
Nara hanya menoleh tanpa menjawab. Tatapannya kosong, bibirnya terkatup rapat. Kazuya dan Maeda saling pandang, lalu mendekat.
“Nara, kenapa diem aja?” tanya Kazuya, sedikit khawatir.
Masih tak ada jawaban. Maeda mencoba mencairkan suasana.
“Nara, ikut yuk ke bazar! Katanya di sana bagi-bagi daging Wagyu A5 gratis. Lumayan buat rendang!”
“Hah? Wagyu A5 buat rendang? Gak salah? Itu mah cocoknya dibakar ala restoran bintang lima,” sela Kazuya sambil melotot kecil.
Nara hanya menggeleng pelan, lalu berjalan pergi begitu saja.
“Kenapa dia tiba-tiba pergi? Kayaknya ada yang gak beres,” gumam Maeda.
“Iya. Mungkin... dia sedih karena gak pernah makan daging?” duga Kazuya.
“Bisa jadi sih. Dia memang bukan dari keluarga kaya, tapi juga nggak miskin.”
“Mending kita kasih dia daging,” saran Kazuya.
Maeda mengangguk. “Setuju. Ayo kita ke bazar sebelum kehabisan.”
Sore harinya, mereka mengajak Nara ke tempat biasa mereka nongkrong. Di sana sudah tertata berbagai olahan daging—sate, steak, bahkan rendang.
Nara terkejut. “Ini semua... untukku?”
“Iya,” jawab Kazuya ramah. “Makan sepuasmu.”
Nara menunduk. Matanya berkaca-kaca, dan air mata mulai menetes pelan. Maeda dengan cepat menghampirinya, menepuk pelan bahunya.
“Sudah, gak usah nangis. Kita kan teman.”
Dengan suara pelan, Nara mengusap air matanya, lalu menatap mereka.
“Kazuya... Maeda... Terima kasih untuk semuanya. Tapi...”
Mereka langsung menatapnya penasaran. “Tapi?”
“Tapi... aku sakit gigi.”