Manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang paling istimewa dari segalanya, mereka diberikan pikiran, perasaan, logika, dan semua hal yang tak dimiliki oleh makhluk manapun. Namun, dibalik kelebihan, tersembunyi sebuah kekurangan yang tak disadari. Hal yang lumrah. Mereka terikat dalam sebuah janji, kesetiaan, kepercayaan, dan keyakinan. Hal tersebut bisa mereka dapatkan dengan hati yang tulus. Dosa, perbuatan yang sebaiknya dihindari dan dijauhi, jika seseorang memiliki dosa, alangkah baiknya untuk melakukan sebuah penebusan sebagai tanda bahwa mereka benar-benar serius dalam menerima sebuah kepercayaan dan menghilangkan kesalahan.
Di sebuah negeri antah-berantah yang dikenal sangat religius bernama “Taranos”. Para penduduk mempercayai bahwasanya negeri mereka dijaga oleh “The One”, sosok maha kuasa yang memberi keberkahan dan keberlangsungan hidup mereka. The One tak pernah menunjukkan wujud aslinya, namun keberadaannya dapat dirasakan. Setiap hari para penduduk berdatangan menuju kuil tempat pemujaan The One, kuil tersebut sangat besar bak gunung yang terukir membentuk istana. Pada hari-hari senja penduduk bersujud meminta ampunan kepada The One, dipimpin oleh Sacerdos yaitu pendeta yang mengarahkan proses pemujaan, ia memegang sumpah untuk tidak berpaling dari The One, dengan memotong tangan kirinya menggunakan pedang yang bernama “The Sword Of Promise”, lalu meletakkannya pada sebuah “Altar”, ia menyerahkan semua jati diri, jiwa, dan raga untuk The One.
Sangus, seorang pemuda berumur 18 tahun yang hidup sebatang kara di sebuah gubuk kecil. Ia selalu berusaha untuk bertahan hidup dengan bekerja sebagai pencari “Amethyst” yaitu batu permata yang digunakan oleh “Magic Creator” atau sang pembuat sihir untuk bisa menghasilkan sihir yang diinginkan. Bukan hanya sebagai pencari Amethyst, Sangus juga bertugas sebagai pengumpul “Angel Soul dan Demon Soul” sebuah jiwa yang nantinya akan dicampurkan dengan berbagai macam bahan-bahan untuk pembuatan sihir.
Kehidupan di Taranos berjalan dengan baik, warga-warga saling tolong-menolong jika salah satu dari mereka mengalami kesulitan, mereka juga sangat taat kepada ajaran yang telah mereka anut selama bertahun-tahun, tak pernah ada catatan seorang yang berpaling dari ajaran tersebut menjadi bukti nyata betapa taatnya penduduk disana. Namun, semua ketenangan itu berubah. Sacerdos mengalami sebuah mimpi yang berisi ramalan tentang sosok dari The One, dikatakan bahwasanya The One tak pernah ada, itu semua hanyalah khayalan belaka yang tercermin pada mimpi tersebut. Sacerdos melihat hal yang bahkan tak bisa dijelaskan oleh akal manusia. Setelah mimpi tersebut ia alami, Sacerdos memutuskan untuk melenyapkan seisi kuil dengan kekuatan sihirnya. The Sword Of Promise yang tergeletak di atas Altar menghilang secara misterius. Setelahnya ia pergi menuju tebing tak jauh dari kuil, dengan penuh rasa kecewa ia menusukkan dirinya sendiri dengan The Sword Of Promise, simbol dari kesetiaan, ketaatan, dan janji, semua itu ternodai oleh satu orang yang meyakini bahwa dunia hanyalah sebuah kekosongan tanpa ada tujuan yang jelas.
Para penduduk tak menyangka hal tersebut akan terjadi. Mereka bergegas menuju kuil untuk melihat kondisi tempat tersebut, sangat mengenaskan, kuil yang mereka agung-agungkan kini hanya tersisa reruntuhan. Sangus yang pada saat itu sedang mencari Amethyst di dalam “Metallum (sebuah lubang terjal yang sangat gelap)” tak tahu-menahu bahwasanya kehancuran umat manusia baru saja dimulai. Saat ia kembali, dirinya hanya melihat beberapa hewan ternak yang mondar-mandir, tak ada seorang pun disana, menyisakan hembusan angin dan kesunyian yang menyelimuti pikirannya. Saat ia terpaku diam, dirinya menoleh ke arah bukit tempat kuil tersebut berdiri, namun, dirinya dibuat lebih terkejut lagi saat menyadari bahwa kuil tersebut tak ada di atas sana. Ia berlari secepat mungkin menuju bukit tersebut. Tak mengenal rasa lelah, dirinya bergerak begitu gesit melewati semak belukar dan pohon-pohon yang menghadangnya, sampai pada saat ia mencapai puncak bukit. Sangus begitu syok dengan apa yang ia saksikan. Para warga bersujud di hadapan patung The One, mereka meminta ampunan atas apa yang telah terjadi. Namun, tak ada jawaban yang terdengar, hanya sebuah kesunyian, walau begitu, para warga tetap bersujud. Sampai pada satu titik dimana salah satu warga berteriak dengan lantang bahwasanya The One memang tak pernah ada. Ia meyakini jika benar The One itu nyata, mengapa dirinya meninggalkan mereka pada saat ini, saat dimana para penduduk mengalami gagal panen besar, bencana dimana-mana, dan hilangnya sebagian batu Amethyst secara misterius. Argumen yang dilontarkan oleh pemuda tersebut membuat sebagian penduduk mulai setuju dengannya. Terlebih lagi saat mereka menyadari bahwa Sacerdos hilang secara misterius. Para penduduk mulai bangkit dari sujudnya, lalu meninggalkan tempat tersebut tanpa ada rasa khawatir sedikitpun, namun sebagian masih tetap dalam pendiriannya, mereka masih tetap bersujud dan meminta ampunan. Dua hal yang bertolak belakang membuat Sangus bingung, sehingga ia memilih jalan yang seharusnya dirinya lakukan, yaitu bersujud meminta ampunan.
Sacerdos yang bunuh diri dan menghilang secara misterius, kuil yang runtuh tak tersisa, sebagian warga yang mulai berpaling dari ajarannya, hal tersebut menjadi awal mula dari hilangnya kemanusiaan, perdamaian, kesetiaan, dan awal terbentuknya sebuah kutukan. Separuh warga sudah mulai melupakan dan berpaling dari ajarannya, sementara seperempat masih tetap pada pendiriannya. Begitu pula dengan Sangus, ia tetap mempertahankan imannya, karena ia yakin bahwa The One itu nyata. Suatu hari saat Sangus berteduh di bawah pohon untuk beristirahat sejenak dari pekerjaannya, dirinya mendengar suara samar-samar dari dalam semak-semak yang tak jauh dari sana. Ia melangkah perlahan, langkah demi langkah begitu menegangkan, saat dirinya semakin dekat dengan semak tersebut, semakin dirinya dibuat takut akan hal yang menantinya dibalik sana. Matanya terbelalak, nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdebar begitu cepat, Sangus tak percaya dengan apa yang ia lihat. Tergeletak seorang wanita dengan baju compang-camping yang didampingi bayi tak bernyawa. Mata bayi tersebut mengeluarkan cairan hitam yang mempunyai aroma menyengat bak bunga bangkai, tangan yang menjulur keluar dari mulutnya yang menganga, dan tubuhnya dipenuhi dengan simbol-simbol yang tak bisa dijelaskan. Begitu pun dengan wanita tersebut yang sangat memprihatinkan, tubuhnya kurus kering bagaikan ranting kayu. Sangus berusaha menahan rasa takut, cemas, panik, dan jijik hanya untuk menolong wanita yang tampak sekarat tersebut. Dirinya menggendong wanita tersebut dan membawanya menuju “Umpasta” tempat semacam rumah sakit pada zaman itu.
Sangus berlari dengan nafas yang berat dan tak beraturan, sambil sesekali berjalan perlahan karena lelah yang sudah tak tertahankan lagi. Namun, semua rasa letih tersebut seakan hilang saat dirinya sadar bahwasanya ia akan menyelamatkan nyawa seseorang. Sangus berlari, lari, dan berlari dengan penuh harap, dirinya yakin wanita tersebut pasti bisa terselamatkan. Sangus pun tiba di Umpasta, ia memasuki tempat tersebut dan memberi tahu perawat tentang kondisi wanita yang sedang ia rangkul. Setelahnya perawat memberi izin dan bersiap untuk melakukan pengobatan. Perawat tersebut bergegas mengambil bahan-bahan obat alami dan tongkat yang tampak sudah tua, ia menaburkan semacam bubuk ke tongkat yang digenggamnya, secara ajaib sebuah cahaya terang muncul di ujung tongkatnya, saat itulah perawat menempelkan ujung yang bersinar tersebut ke dahi wanita itu. Alih-alih sembuh atau semacamnya, tubuh wanita tersebut berguncang begitu hebat, membuat Sangus dan perawat yang melihat kejadian tersebut sangat terkejut. Tak lama kemudian tubuh wanita tersebut berhenti bergetar, perlahan-lahan mata wanita tersebut terbuka, tatapannya begitu kosong bagaikan gelapnya malam yang menyelimuti dunia, samar-samar wanita tersebut berkata “The One itu nyata, malapetaka akan segera tiba”. Sesaat setelah wanita mengucapkan kalimat tersebut, tubuhnya kembali terbujur lemas, dan secara tiba-tiba dirinya tak bernafas kembali. Sangus dan perawat yang mendengar perkataan tersebut seakan tak percaya. Mereka bergegas untuk memakamkan jenazah wanita tersebut. Namun, tubuhnya berubah menjadi gumpalan daging yang memiliki mata. Saat suasana begitu tegang dan mencekam, muncul seseorang yang memberi tahu kabar penting, ia tampak begitu gelisah dan syok, dirinya mengajak Sangus untuk keluar, dan hal yang tak terduga pun terjadi.
Sebagian warga jatuh sakit, mereka juga sesekali memuntahkan cairan hitam, dan beberapa penduduk yang sudah mendekati ajalnya mengucapkan kalimat yang selalu sama, The One itu nyata. Dunia kacau balau, kelaparan dimana-mana, banyak warga yang jatuh sakit, dalam dua-tiga hari mereka sudah tak bernyawa lagi, banyaknya konflik yang terjadi. Bencana tersebut terjadi sesaat setelah kuil pemujaan The One runtuh dan Sacerdos yang bunuh diri. Semua penduduk tak menyadari bahwa bencana yang melanda seluruh dunia berasal dari satu hal, yaitu hilangnya iman pada diri manusia. Selama ini yang mereka pikir The One tidak pernah ada harus tertampar oleh realita dan fakta. The One menguji kesetiaan dan keimanan manusia melalui begitu banyaknya masalah dalam hidup yang mereka jalani. Sacerdos yang selama ini tampak berkhianat justru menjadi kunci terciptanya sebuah teka-teki bagi umat manusia, mimpi yang selama ini ia alami dan runtuhnya kuil berasal dari perintah The One.
Tak ada seorang pun yang menyadari hal tersebut sebelumnya, sehingga mereka berkesimpulan bahwa benar The One itu tidak nyata. Namun, setelah mengalami peristiwa yang merenggut korban jiwa, barulah penduduk sadar dengan dosa yang mereka perbuat. Salah seorang penduduk berkata bahwasanya mereka telah dikutuk oleh The One, dan satu-satunya cara untuk menghilangkan kutukan ialah dengan melakukan pengorbanan diri, memberikan jiwa mereka yang penuh dosa kepada The One melalui Pedang The Sword Of Promise. Warga beramai-ramai bergegas menuju kuil yang kini hanya tersisa patung The One disana. Akan tetapi Sangus berbeda, ia memilih pergi menuju “Lacus Va Spes” sebuah danau yang dijuluki sebagai danau harapan, tempat leluhur mereka menemukan sosok asli dari The One. Sangus perlahan-lahan berjalan mengitari danau tersebut. Setiap langkah yang Sangus ambil membawa ketenangan pada jiwanya seakan-akan sesuatu sedang menenangkannya. Sangus menatap danau tersebut, dan secara tiba-tiba seseorang memanggilnya dari belakang. Sangus melihat dua sosok berbadan tinggi besar. Dua sosok tersebut berbadan seperti manusia tapi tidak memiliki wajah, serta tubuh yang memiliki campuran elemen alam seperti api, tanah, udara, air, dan batu. Salah satu dari sosok tersebut menyerahkan sebuah pedang, The Sword Of Promise yang selama ini warga cari ternyata sudah berada pada genggaman Sangus. Dua sosok itu berpesan pada Sangus bahwa ialah orang pertama dan terpilih yang berhasil menembus dosanya, setelahnya Sangus Bersedia memberikan jiwanya kepada dua sosok tersebut, ia menusukkan pedang ke arah perutnya, perlahan-lahan dunia mulai tampak kabur, dan setelahnya semua terasa gelap. Sangus terbangun di sebuah dimensi putih terang. Samar-samar dirinya mendengar suara yang memberi tahu bahwa mereka adalah The One atau bisa disebut “The Mother Of Madness dan The Father Of Madness”. The Mother dan The Father memeluk Sangus sembari berkata “Anakku”.
Manusia seakan buta dengan apa yang telah mereka perbuat, bahkan seperti tak mengenal arti dari dosa. Kesombongan, ketamakan, hawa nafsu, iri hati, murka, kerakusan, dan kemalasan membawa mereka pada sebuah kehancuran. Disaat maha kuasa memberi mereka tekanan, mereka seakan tak sanggup untuk menerimanya. Hingga saat waktunya tiba, waktu dimana semua umat manusia berkumpul menanggung dosa yang mereka miliki. Manusia tak akan pernah puas dengan hasil yang diperoleh. Pada akhirnya manusia hanyalah debu yang diberi nyawa, dan bumi adalah wadahnya, mereka akhirnya terjebak di sebuah tanda tanya besar tanpa arti yang jelas.