Suara heels Amara berdentak tegas di lantai marmer gedung event center malam itu. Gaun hitam berbelahan paha yang ia kenakan menambah aura dingin dan tegas yang terpancar dari wajahnya. Lampu sorot menyala, nama-nama besar dibisikkan, dan Amara berdiri di antaranya—sendiri, tapi tidak kalah bersinar.
Dari kejauhan, sepasang mata memperhatikannya. Mata itu pernah Amara cintai, dulu… saat ia masih percaya bahwa cinta dan perjuangan bisa berjalan seiringan.
Farrel.
Amara tak terkejut saat melihatnya di acara besar seperti ini. Toh, Ia yang dulu mengajari Farrel dunia ini. Dunia gemerlap fashion, sorotan kamera, pergaulan atas—semua pintu itu dibukakan olehnya.
Tapi kini, lelaki itu hanya jadi bayangan usang di matanya.
Dulu, Farrel bukan siapa-siapa. Seorang pemuda bertubuh semampai, dengan wajah rupawan tapi tanpa arah. Amara yang waktu itu sudah meniti karier sebagai model, melihat potensi di diri Farrel.
“Masuk aja ke dunia model. Badan kamu cocok. Nanti, aku bantu castingin,” kata Amara saat itu, sepenuh hati.
Farrel menerima. Awalnya ragu, tapi semangat Amara membuatnya yakin. Amara bukan cuma kekasihnya, tapi juga pemandu jalannya. Ia yang bantu submit portofolio, bantu Farrel belajar pose, bahkan pinjamkan koneksi.
Farrel mulai bersinar. Dari hanya punya dua ribu pengikut, jadi dua puluh ribu, lalu seratus ribu, dan akhirnya satu juta. Ia jadi ikon pria muda urban. Tawaran pekerjaan membanjir, mulai dari iklan sabun hingga majalah mode.
Dan saat Farrel mencapai puncaknya…
Ia jatuh cinta pada popularitasnya, dan mulai melupakan Amara.
Amara tahu kabar itu dari Salsa, sahabatnya. Ia sedang istirahat di ruang ganti saat Salsa mendekat dengan wajah gelisah.
“Mar… gue liat Farrel sama Vanya di rooftop acara kemarin. Pegangan tangan. Ciuman.”
Amara terdiam. Ia tidak langsung menangis. Hanya merasakan detak jantungnya melambat… lalu meledak dalam diam.
Vanya. Rivalnya di dunia model. Wanita yang selalu iri karena Amara mendapat job lebih banyak. Vanya yang followers-nya tidak sampai sepuluh ribu dan terus membuntuti Amara di mana pun ia melangkah.
Dan sekarang… pacarnya juga direbut.
Amara tidak marah karena diselingkuhi. Bukan karena cinta.
Ia marah… karena perjuangannya dianggap remeh. Karena seseorang yang ia bantu naik justru menginjakkan kakinya di kepala Amara sendiri.
Farrel bukan mengkhianati cinta Amara. Ia menginjak harga diri Amara.
Dan saat seseorang kehilangan hormat atas harga dirinya, dari orang yang mencintainya, maka selesai sudah.
“Aku tahu, kamu sama Vanya,” kata Amara suatu malam saat Farrel datang ke apartemennya.
Farrel hanya diam. Wajahnya datar. Ia tidak membantah, tidak juga meminta maaf. Seperti merasa itu bukan masalah besar.
“Terus, lo sedih?” tanya Farrel dengan nada sok penasaran.
Amara hanya tersenyum kecil.
“Sedih? Nggak. Gue cuma muak. Sama lo yang nggak tahu diri.”
Farrel tertawa pelan. “Gila ya, Mar. Lo terlalu ambisius. Gue cuma butuh cewek yang fun.”
“Fun? Lo pikir dunia ini taman bermain lo? Lo bisa buang orang semaunya lo?”
Farrel berdiri, mengangkat bahu.
“Lo makin dingin, Mar. Makanya gue deket sama Vanya, dia lebih ngertiin.”
Amara menatapnya lama. “Gue tahu ini bukan jawaban yang benar, farrel ” Farrel lebih memilih pergi meninggalkan Amara.
Sejak itu, Amara tidak pernah menengok ke belakang. Dia memilih pergi tanpa drama. Tanpa menangis. Tanpa curhat panjang di media sosial.
Dia tahu, diamnya lebih menyakitkan dari semua balasan.
Dia tidak ingin menangisi laki-laki seperti Farrel. Amara tahu Vanya bukan gadis baik-baik. Bukan hanya karena iri, tapi juga karena Salsa pernah mengungkap fakta lain.
“Vanya tuh bukan cinta sama Farrel, Mar. Dia tuh pengin liat lo jatuh. Dia iri karena lo selalu dapet spotlight. Dia pikir kalau bisa dapet cowok lo, lo bakal hancur dan hilang dari dunia model.”
Amara mengangguk, pelan.
“Dia nggak ngerti… gue bukan cewek yang jatuh cuma karena disakiti.”
Waktu berjalan.
Amara makin bersinar. Tawaran job foto datang silih berganti. Ia mulai dilirik brand besar. Ia diundang ke acara fashion bergengsi di Singapura dan Tokyo. Instagram-nya meledak. Namanya dibicarakan bukan hanya sebagai model, tapi ikon wanita muda mandiri.
Sementara Farrel… mulai meredup.
Wajahnya tak lagi segar, gayanya mulai terasa basi. Pendatang baru bermunculan, lebih berbakat, lebih fleksibel, dan lebih rendah hati. Dunia modeling memang kejam—begitu lo berhenti berkembang, lo dilindas.
Vanya? Sudah lama menghilang dari sisi Farrel. Setelah karier Farrel menurun, Vanya beralih ke model pria lain yang lebih bersinar. Terlihat dari foto-fotonya di Paris, berpose dengan seorang model asal Prancis.
Dan Farrel? Sendirian.
Suatu malam, Amara baru selesai dari gala dinner ketika ia menemukan sebuah buket bunga di depan pintu apartemennya. Di antara mawar putih, selembar kartu tertempel:
“Aku bodoh. Tapi aku masih cinta kamu.”
– Farrel
Amara hanya membaca sekali, lalu meletakkannya di atas meja dapur. Dia tidak berniat membalas. Dia tidak marah, juga tidak senang. Dia hanya… tak peduli.
Lalu, bunga itu terus berdatangan. Seminggu, dua minggu. Pesan DM, komentar di Instagram, bahkan ucapan dari akun fake yang jelas-jelas milik Farrel.
Tapi Amara tetap diam.
Dia bukan ingin balas dendam. Dia hanya tidak ingin mengulang kebodohan.
Sampai suatu hari, seseorang datang dalam hidupnya seperti musim semi.
Namanya Kleo.
Pria blasteran Jepang-Indonesia. Tinggi, tenang, dan memiliki tatapan mata yang damai. Mereka bertemu di acara pemotretan internasional. Kleo menjadi model utama pria, dan mereka berpasangan dalam campaign elegan untuk sebuah brand fashion mewah asal Milan.
Kleo berbeda dari semua lelaki yang Amara kenal.
Dia tidak merasa terancam dengan keberhasilan Amara. Dia tidak menyaingi. Kleo menghargai, mendukung, dan diam-diam mengagumi Amara seperti karya seni yang tak usah dimiliki, hanya perlu dijaga.
Dari project profesional, menjadi project pribadi. Dari kerja sama, menjadi cinta.
Kleo tidak menawarkan janji besar.
Dia menawarkan tangan, dan berkata, “Kita jalan bareng ya, bukan saling tarik.”
Amara tertawa saat mendengarnya. Hati yang dulu keras, kini luluh.
Tiga tahun setelah hari ia meninggalkan Farrel, Amara berdiri di altar. Gaun putih panjang menjuntai. Di depannya, Kleo dengan senyum yang selalu menenangkan.
Media menyorot, fans berkomentar, tapi Amara hanya melihat satu hal: kebahagiaan yang tak harus dipamerkan.
Beberapa bulan setelah pernikahan, Amara mengumumkan kehamilan anak kembar. Seisi internet geger. “Supermom”, “Wonder Woman”, “The Real Glow Up”—semua pujian mengalir.
Di salah satu sesi live, seorang fans bertanya:
“Mbak Amara, pernah nyesel ninggalin Farrel nggak?”
Amara tersenyum. Ia menatap layar dan menjawab tenang:
“Saya bersyukur pernah ketemu dia. Karena dari situ saya tahu… siapa yang pantas saya perjuangkan, dan siapa yang harus saya lepas. Kita nggak harus membenci masa lalu, cukup belajar dan jadi lebih baik.”
Farrel menonton siaran itu dari kamar kecilnya di apartemen sewaan. Followers-nya kini tinggal ratusan ribu. Tawaran kerja jarang. Ia mencoba jadi influencer, tapi tak semenarik dulu. Dunia sudah beralih pada sosok baru yang lebih segar dan bijak… seperti Amara.
Farrel mengirim satu DM terakhir malam itu.
“Maaf. Gue nggak akan ganggu lagi. Lo bener… gue nggak pernah layak buat lo.”
– Farrel
Amara membaca, lalu tersenyum kecil.
Bukan karena dia senang Farrel menyesal.
Tapi karena akhirnya… selesai juga semua bab yang dulu menyakitkan.
Ia menaruh ponsel, lalu keluar kamar. Kleo sedang menggendong anak kembar mereka—Kaoru dan Kirana—yang sedang tertawa bersama di sofa.
“Sudah selesai live-nya?” tanya Kleo sambil tersenyum.
Amara mengangguk, lalu duduk di sampingnya. Ia menyandarkan kepala di bahu Kleo, memeluk Kirana kecil di pelukannya.
“Aku bahagia, Kleo. Akhirnya.”
Kleo mengecup keningnya pelan. “Aku juga, Amara. Dunia boleh lihat kamu kuat. Tapi aku tahu… kamu juga pernah patah.”
Amara tersenyum.
“Iya, tapi sekarang aku sudah utuh lagi. Bukan karena waktu. Tapi karena kamu.”