---
## Pewaris yang Menghilang
Bau klorin menusuk hidung Ayu Larasati, tajam dan menenggelamkan. Bukan, bukan bau air kolam renang yang biasa ia gunakan untuk menenangkan pikiran setelah hari yang panjang. Ini bau ruang arsip kepolisian Surabaya, semacam klorin yang bercampur dengan debu kertas tua dan keputusasaan. Dua bulan lalu, tepat di sinilah ia merasa kariernya mati. Ia menatap tumpukan berkas yang menjulang di meja. Kasus korupsi terbesar di kota, yang melibatkan seorang politikus berpengaruh, **Bapak Surya Adi**. Bukti-bukti yang ia kumpulkan dengan susah payah, satu per satu lenyap tak berjejak. Saksi kunci, seorang akuntan pengecut bernama Bapak Handoko, tiba-tiba bungkam, matanya kosong penuh ketakutan.
Ayu ingat betul raut wajah atasannya saat itu, Kompol Gatot. Ada campuran penyesalan dan peringatan di sana. "Larasati, kasus ini terlalu besar. Ada tangan-tangan yang tak terlihat. Kita harus melupakannya." Melupakan? Bagaimana ia bisa melupakan rasa mual setiap kali ia memikirkan Bapak Surya Adi, bebas dan tertawa, sementara keadilan diperkosa? Itulah yang mengantarkannya ke Blitar. Sebuah surat tugas yang terasa seperti surat buangan, hukuman yang disamarkan dengan dalih "rotasi tugas untuk memperkaya pengalaman".
Ponselnya bergetar di saku jaketnya. Nama Kompol Budi, Kapolres Blitar, tertera di layar. Ayu menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berkejaran. Nada Budi terdengar tegang, jauh dari ramah. "Detektif Larasati? Ini Budi. Ada kasus besar di sini. Keluarga Hartono. Putra mereka, Pusaka Adiwangsa, hilang. Malam ini juga Anda meluncur ke TKP. Jangan sampai ada kesalahan sekecil apa pun. Media sudah menunggu." Suara Budi di ujung sana terdengar lelah, sarat tekanan yang tak terucap. Ayu bisa menciumnya, bahkan dari jauh. Blitar, sepertinya, tidak akan menjadi pelabuhan tenang yang ia bayangkan.
Setibanya di vila mewah keluarga Hartono, di lereng Gunung Wilis, Ayu disambut oleh hiruk-pikuk yang tak sesuai dengan nama "Harmoni" yang tertera di gerbang megahnya. Aroma bunga melati yang seharusnya menenangkan justru bercampur dengan bau alkohol yang tumpah, parfum mahal, dan kecemasan yang menggantung di udara. Lampu-lampu sorot polisi memotong kegelapan, menciptakan bayangan aneh di antara tamu-tamu elit yang masih terpaku kaget. Beberapa orang saling berbisik, wajah mereka pucat pasi, namun Ayu juga melihat tatapan ingin tahu yang terselubung di mata mereka.
Kompol Budi menyambutnya dengan senyum tipis yang tak sampai ke mata. Dahinya berkerut samar, menandakan kelelahan dan tekanan. "Selamat datang di Blitar, Detektif. Sepertinya kota ini tidak mau memberimu istirahat." Nadanya terdengar seperti sebuah gurauan pahit.
Ayu mengangguk. "Detail, Komandan. Saya butuh detail."
Kompol Budi hanya menghela napas, gestur yang menunjukkan bahwa ia sudah lelah berurusan dengan hal-hal remeh. "Penculikan. Itu kesimpulan sementara. Motifnya jelas, uang." Ia menunjuk ke arah ruang tengah, yang kini dilingkari garis kuning polisi.
Ayu menyusuri TKP. Di lantai marmer yang mengilap, tergeletak sebuah gelas anggur pecah, dengan serpihan berkilauan tersebar di sana-sini. Sebuah kalung berlian, putus, tergeletak tak jauh dari noda darah samar yang membuat perut Ayu sedikit mual. Noda itu tidak terlalu banyak, tidak sesuai dengan dugaan penculikan brutal. Dan warnanya, lebih gelap, seolah sudah sedikit mengering. Ini yang pertama membuat Ayu skeptis.
Ia berjongkok, mengamati pecahan gelas. **Pola retakannya aneh, tidak seperti pecah karena jatuh**. Lebih seperti **dihantam dengan tekanan yang disengaja**, pecahannya menyebar dalam pola tertentu, seolah seseorang ingin memberikan kesan *kerusakan yang tidak disengaja*. Matanya bergerak cepat. Di balik vas bunga yang terbalik, ia menemukan **percikan tinta printer yang sangat kecil**, hampir tak terlihat, seolah dari cetakan baru, warnanya sedikit kebiruan. Ia mengeluarkan pinset dan kantong bukti kecil dari tasnya.
"Hanya detail kecil, Detektif," ujar Kompol Budi, yang berdiri di belakangnya. "Fokus pada gambaran besarnya. Keluarkan perintah pencarian. Kita cari Pusaka."
"Detail kecil, Komandan," balas Ayu, nadanya tegas, tak gentar. Ia berdiri, menatap Kompol Budi lurus. "Seringkali adalah kunci kebenaran. Dan kadang, justru detail besar yang menipu."
Di luar vila, di tanah lembap yang basah embun malam, Ayu menemukan **jejak sepatu *boot* yang mencurigakan**. Ukurannya besar, ukiran solnya unik, dan jelas bukan sepatu pesta yang dikenakan tamu-tamu elit. Ayu mengambil sampel tanah dari jejak itu. Saat ia sibuk dengan itu, ia melihat seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam dan tatapan dingin, yang belakangan ia tahu adalah kepala keamanan Hartono, **Pak Gunawan**, mengamatinya dari kejauhan. Sebuah peringatan tak terucap.
Malam itu, di kantor polisi Blitar yang sunyi, Ayu menatap laporan awal kasus. Terlalu banyak lubang, terlalu banyak asumsi. Ponselnya bergetar. Nomor tidak dikenal. Ia mengangkatnya. "Detektif Larasati."
Suara berat, yang entah mengapa terasa familiar, di ujung sana berbisik, "Jangan terlalu dalam, Detektif. Blitar punya cara sendiri untuk menelan kebenaran. Dan Anda, Anda sudah punya satu kasus gagal di Surabaya, bukan?"
Napas Ayu tertahan. Tangan yang memegang ponselnya sedikit gemetar. Ini bukan lagi peringatan samar. Ini adalah tembakan langsung ke luka lamanya. Sebuah **ancaman tersembunyi** yang sangat personal.
---
Ayu tahu dia butuh mata yang lebih berpengalaman. Ia melacak Suryo Kuncoro, mantan profiler FBI legendaris, ke sebuah rumah tua di pinggiran Blitar, jauh dari keramaian dan bau kota. Rumah itu berbau cat minyak dan buku-buku lama, sebuah bau yang anehnya, justru menenangkan bagi Ayu. Suryo, dengan rambut putih acak-acakan dan mata tajam yang tampak melihat menembus jiwa, duduk di antara tumpukan manuskrip kuno. Ia mengenakan kaus oblong yang pudar dan celana tidur.
"Bapak Suryo Kuncoro?" sapa Ayu, berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka.
Suryo tidak menoleh dari buku yang dibacanya. "Detektif Larasati," katanya, suaranya serak seperti bebatuan yang bergesekan. "Saya sudah pensiun dari kegilaan manusia. Kecuali, tentu saja, kegilaan itu mau bayar dengan harga pantas untuk lukisan saya." Ia menunjuk ke arah kanvas yang belum selesai, sebuah potret abstrak yang terlihat seperti badai emosi.
"Pusaka Adiwangsa menghilang dari pesta pertunangannya," kata Ayu, mencoba nada setenang mungkin, walau sebenarnya ia merasakan sedikit kegugupan. "Kasus ini... ada yang tidak beres, Pak. Bukti-bukti terasa... terlalu rapi."
Suryo akhirnya meletakkan buku, menatap Ayu. Ada kilatan ketertarikan di matanya, seperti percikan api yang menyala di kegelapan. "Terlalu rapi? Itu menarik. Manusia cenderung berantakan. Terutama saat ketakutan atau berbuat jahat. Terlalu rapi berarti ada yang menyembunyikan kekacauan. Atau menciptakan kekacauan baru." Dia bangkit, langkahnya lambat, seolah setiap gerakannya diperhitungkan. "Darah samar, kalung putus, kaca pecah. Sebuah opera sabun, Detektif. Manusia suka drama. Terutama orang kaya. Mereka punya terlalu banyak waktu untuk merangkai skenario-skenario rumit."
"Tapi mengapa tidak ada yang melihat? Vila itu penuh tamu," Ayu bersikeras, mencoba memancingnya, melihat reaksi pria itu.
"Itulah inti masalahnya, bukan?" Suryo tersenyum sinis, senyum yang tak mencapai matanya. "Keramaian. Tempat terbaik untuk bersembunyi atau menghilang. Mereka yang paling dekat adalah yang paling sedikit terlihat. Itu pelajaran pertama, Detektif." Dia berjalan ke dapur, aroma kopi menyeruak dari cerek yang mengepul. "Mau segelas kopi?"
"Kopi Anda... aromanya aneh," Ayu mengamati, sedikit mengernyit. "Seperti... tanah dan sedikit rempah."
"Seperti kebenaran, Detektif," Suryo menuangkan kopi ke dua cangkir usang yang tampak seperti peninggalan masa lalu. "Pahit di awal, tapi memberikan pencerahan di akhir. Tergantung bagaimana Anda mencampurnya." Dia menyerahkan secangkir pada Ayu. "Jadi, kasus di Surabaya itu... bagaimana? Saya dengar bukti-buktinya menguap seperti embun pagi." Mata Suryo menusuk langsung ke mata Ayu.
Ayu menegang. Ia tahu Suryo tahu. Tidak ada gunanya menyembunyikan. "Ada tangan-tangan besar yang bermain, Pak. Saya tidak bisa membuktikannya. Dokumen-dokumen lenyap, saksi bungkam. Seolah mereka sudah tahu setiap langkah saya." Suara Ayu sedikit bergetar, menunjukkan luka lama yang masih menganga. Ia tak bisa menyembunyikan rasa sakit dan frustrasi itu.
Suryo menatapnya tajam. Ia menghela napas panjang, mata tuanya menatap jauh, seolah melihat ke masa lalu. "Justru itu yang menarik, Detektif. Kejahatan yang sempurna adalah yang tidak bisa dibuktikan. Tapi bukan berarti tidak ada." Dia mendesah, ada kesedihan dan kepedihan yang mendalam di matanya. Ia mengusap pipinya, seperti mencoba menghapus jejak air mata yang tak terlihat. "Saya juga pernah... kehilangan jejak. Kehilangan segalanya, karena kejahatan yang sempurna itu. Mereka terlalu kuat. Terlalu licin. Dulu saya percaya, setiap teka-teki pasti ada jawabannya. Sekarang... saya tidak tahu. Mungkin ada kejahatan yang tidak bisa dipecahkan, Detektif. Mungkin kebenaran itu terlalu mahal."
Konflik kemanusiaan Suryo terpapar jelas di depan Ayu. Ia tak hanya sinis, tapi juga patah, dibebani oleh kegagalan masa lalu yang menghancurkan jiwanya. Namun, di balik semua kepahitan itu, Ayu melihat secercah harapan. Ia merasakan bahwa kasus Pusaka ini, dengan segala intriknya, mampu membangkitkan kembali profiler yang dulu legendaris itu. Setidaknya, ada seseorang yang memahami bahwa keadilan tidak selalu hitam dan putih, dan bahwa pertarungan ini jauh lebih rumit dari yang terlihat dipermukaan.
---
Aroma kopi pahit dari cangkir usang masih melekat di lidah Ayu saat ia meninggalkan rumah Suryo Kuncoro. Pikirannya berputar, mencerna setiap kata sinis, setiap pandangan tajam dari mata tua profiler itu. Suryo memang pahit, tapi kebenaran yang ia tawarkan—bahwa ada lapisan di balik setiap kejahatan, dan bahwa manusia selalu lebih rumit dari yang terlihat—memberikan Ayu energi baru. Ia tahu, perjuangan ini tak hanya akan menguji kemampuannya sebagai detektif, tetapi juga mentalnya, integritasnya, bahkan fisiknya.
Hari-hari berikutnya menjadi neraka yang dingin. Ayu kembali ke kantor polisi, wajahnya tegang, sorot matanya tajam mencari setiap ketidakberesan. Kompol Budi menyambutnya dengan senyum kaku. "Detektif, sudah ada kemajuan? Keluarga Hartono mulai menekan." Nada suaranya penuh peringatan, seolah Budi tahu Ayu tidak hanya mengerjakan apa yang diperintahkan.
Ayu mengabaikannya. Ia meminta tim forensik untuk menganalisis **percikan tinta printer yang sangat kecil** yang ia temukan di vila. Hasilnya datang dua hari kemudian, diantar oleh seorang staf forensik muda yang tampak gugup. "Detektif, ini... agak aneh. Tinta ini berasal dari printer kelas atas, merek tertentu, yang tidak umum di Blitar. Dan ini... mungkin dari pencetakan dokumen yang baru." Ayu menatap laporan itu, sebuah benang tipis di tengah kekusutan.
Bersamaan dengan itu, ia mulai menyelidiki **rekaman CCTV vila**. Seperti yang ia duga, rekaman dari kamera utama yang mengarah ke pintu masuk pesta **rusak total** pada saat insiden. "Kerusakan teknis," kata kepala keamanan vila, Pak Gunawan, saat Ayu menekan. Matanya yang tajam menatap Ayu tanpa berkedip. "Sudah biasa, Detektif. Cuaca Blitar kan kadang ekstrem." Nada suaranya dingin, seolah menantang. Ayu tahu itu bohong. Ia merasakan urat di pelipisnya menegang. Ini bukan kerusakan, ini **sabotase yang disengaja**. Perutnya melilit tegang. Perjuangan akan lebih berat dari yang ia bayangkan.
Ayu tidak menyerah. Ia mendapatkan izin untuk meminta rekaman dari **kamera pengawas tetangga**, sebuah vila yang sedikit lebih sederhana namun memiliki sudut pandang ke jalan masuk utama vila Hartono. Setelah negosiasi yang alot dengan pemilik vila yang enggan (dan tampak sedikit takut pada keluarga Hartono), Ayu akhirnya mendapatkan rekaman tersebut. Di dalamnya, ia menemukan sekilas: **sebuah mobil van hitam gelap, melaju pelan tanpa lampu depan**, tepat sebelum lampu padam di vila Hartono. Plat nomornya buram, tapi Ayu berhasil menangkap bentuk dan model van itu. Ini adalah petunjuk baru, sebuah jarum di tumpukan jerami.
Ayu memutuskan untuk menginterogasi keluarga Hartono secara terpisah, mencari celah dalam cerita mereka, mencari keretakan dalam fasad sempurna mereka.
**Bapak Wisnu Hartono** adalah yang pertama. Ia duduk tegak di kursi kulitnya yang mewah di kantornya, di lantai atas mansion. Aroma cerutu mahal memenuhi ruangan. Wajahnya datar, namun matanya memancarkan kecerdasan yang licik.
"Detektif," sapanya, suaranya tenang, nyaris tanpa emosi. "Saya berharap Anda membawa kabar baik tentang putra saya."
Ayu meletakkan foto pecahan gelas dan noda darah samar di meja. "Bapak Wisnu, kami menemukan kejanggalan di TKP. Pecahan gelas ini tidak seperti pecah karena jatuh. Dan noda darahnya..."
Wisnu mengambil foto itu, mengamatinya sekilas. "Pesta yang kacau, Detektif. Mungkin seseorang tak sengaja menginjak. Darah? Bisa saja dari luka kecil. Anda terlalu memusingkan hal kecil." Ia tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak menenangkan. "Fokuslah pada pencarian Pusaka, bukan teka-teki receh ini. Berapa tebusan yang mereka minta? Kami siap membayar berapa pun."
Ayu menatapnya lurus. "Belum ada permintaan tebusan, Bapak Wisnu. Itu yang membuat saya curiga."
Wisnu hanya mendesah, pandangannya beralih ke jendela besar yang menghadap ke kebun. "Mungkin para penculik itu sedang menunggu waktu yang tepat. Mereka tahu kami ini keluarga besar." Nada suaranya tenang, terlalu tenang. Ayu bisa merasakan tembok tebal yang dibangun Wisnu di sekelilingnya, menolak setiap upaya untuk menembus. Setiap jawabannya penuh dengan pernyataan umum, menolak teori lain selain penculikan sederhana, dan berusaha mengarahkan Ayu pada motif uang tebusan. Ini adalah **negosiasi verbal** yang sulit. Ayu tahu dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari Wisnu untuk saat ini.
Kemudian giliran **Ibu Retno Hartono**. Wanita itu duduk di ruang tamu yang dihiasi lukisan-lukisan mahal, tampak rapuh dan kelelahan, matanya sembab. Ia menggenggam sapu tangan sutra. Namun, Ayu merasakan ada ketegangan aneh di balik kesedihannya, seolah ada sesuatu yang ditahan.
"Pusaka..." bisiknya, suaranya parau. "Dia anak yang baik. Dia hanya... kadang terlalu ambisius."
Ayu menanyakan tentang hubungan Pusaka dengan tunangannya, Dian. "Apakah mereka bahagia? Apakah ada masalah di antara mereka?"
Ibu Retno memalingkan wajah, menghindari kontak mata Ayu. "Tentu saja. Mereka akan menikah. Sebuah perjodohan yang sudah lama direncanakan. Dian gadis yang baik." Nadanya datar, nyaris hampa. Ayu melihat jarinya meremas sapu tangan, ekspresi wajahnya sedikit berkedut, seolah ada sesuatu yang ingin ia katakan tapi tak bisa. Ayu tahu ini adalah **dilema awal** bagi Ibu Retno; ia mencintai putranya, tetapi juga takut pada suaminya dan rahasia keluarga.
**Anindya Hartono**, adik Pusaka, adalah yang paling berbeda. Ia adalah seorang mahasiswi seni yang terlihat lebih bebas dan ekspresif. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang tulus, namun ada juga kemarahan yang membara di matanya.
"Kak Pusaka... dia tidak sebahagia yang terlihat," kata Anindya, suaranya pelan, seolah takut terdengar. "Pernikahan itu... dia tidak menginginkannya. Bapak yang memaksa. Kak Pusaka punya rencananya sendiri. Dia sering bilang dia ingin bebas dari semua ini." Anindya menghela napas panjang, menatap lukisan abstrak di dinding. "Dia memang *bad boy* di luar, tapi dia juga sangat pintar. Dia punya pikiran sendiri. Bapak tidak pernah mengerti itu."
Ini adalah petunjuk pertama yang signifikan. "Rencananya sendiri?" tanya Ayu, mencoba memancing lebih jauh.
Anindya hanya menggeleng. "Dia tidak pernah cerita detail. Tapi dia sering bilang dia ingin lepas dari bayang-bayang keluarga Hartono. Dia tidak ingin jadi boneka Bapak." Ia menatap Ayu dengan mata memohon. "Tolong temukan Kak Pusaka, Detektif. Dia tidak pantas menerima ini." Ayu melihat konflik internal dalam diri Anindya: loyalitas keluarga versus keinginannya untuk kebenasan dan kebenaran.
-----
Dengan petunjuk dari Anindya, Ayu mulai menyelidiki "rencana sendiri" Pusaka. Ia kembali ke kantor Pusaka di vila, kali ini lebih teliti. Ia menggunakan sarung tangan dan senter kecil, memeriksa setiap sudut. Di belakang rak buku tua yang berdebu, yang seharusnya berisi buku-buku hukum bisnis, ia menemukan sebuah **mekanisme rahasia** yang membuka panel kayu tersembunyi. Di dalamnya, ada beberapa **buku akuntansi ganda** yang dijilid rapi.
Jantung Ayu berdebar kencang. Ia tahu ini adalah emas. Dalam buku-buku itu, ia menemukan transaksi mencurigakan dalam jumlah besar, tidak tercatat dalam pembukuan resmi perusahaan Hartono. Banyak transaksi menggunakan nama sandi: **"Kolektor Naga"**. Ada juga korespondensi singkat, tertulis tangan, yang mengindikasikan Pusaka ingin "mengatur ulang" beberapa kesepakatan dan "mengambil alih sebagian operasi".
Ayu segera menghubungi Suryo Kuncoro. "Pak Suryo, saya menemukan ini. 'Kolektor Naga'. Dan ada tanda-tanda Pusaka ingin menguasai operasi itu."
Suryo terdiam sejenak di ujung telepon. "Kolektor Naga. Wijaya. Dia adalah pemain besar di pasar gelap artefak internasional. Licin seperti belut, dan punya koneksi yang sangat tinggi. Dia tidak akan mudah disentuh." Ada nada peringatan dalam suara Suryo. "Berhati-hatilah, Detektif. Ini bukan lagi sekadar kasus orang hilang. Ini sarang ular."
Ayu memutuskan untuk menemui Kolektor Naga. Ia menempuh perjalanan jauh ke Jakarta, dengan mobil dinasnya yang sedikit rewel. Perjalanan fisik yang melelahkan. Ia tahu ini berisiko, tapi instingnya mengatakan Wijaya adalah kunci. Pertemuan itu diadakan di sebuah galeri seni mewah yang terpencil, jauh dari keramaian pusat kota. Aroma lukisan mahal dan AC yang dingin menyambutnya. Kolektor Naga, Bapak Wijaya, seorang pria tua yang tampak ramah dengan rambut putih rapi dan senyum menawan, menyambut Ayu. Ia mengenakan setelan sutra mahal.
"Ah, Detektif Larasati," sapanya, suaranya halus seperti sutra, namun ada nada menguji. "Saya sudah mendengar tentang Anda. Kasus Pusaka Adiwangsa, ya? Sayang sekali. Pemuda yang berbakat." Matanya yang kecil menatap Ayu dengan tatapan tajam, mencoba mengukur dirinya.
Ayu menatapnya lurus. "Bakat di bidang apa, Bapak Wijaya? Koleksi seni, atau sesuatu yang lain?" Ayu mengamati ekspresi Wijaya, mencari kerutan di sudut mata, pergerakan tangan yang tak wajar, setiap mikro-ekspresi yang bisa menjadi petunjuk. Ia tahu, negosiasi dengan orang seperti ini bukan tentang pertanyaan lugas, tapi perang psikologis.
Wijaya tersenyum tipis, tidak gentar sama sekali. "Tentu saja seni. Dia punya selera yang bagus. Tapi terkadang, selera yang bagus membawa seseorang ke tempat yang tidak seharusnya." Ia menuangkan teh melati ke cangkir keramik tipis. "Teh melati terbaik dari pegunungan, Detektif. Menenangkan pikiran. Kadang-kadang, pikiran yang tenang melihat hal-hal yang tidak ada." Ini adalah **negosiasi verbal** yang sangat sulit, penuh sindiran dan kalimat ganda. Ia menolak memberi informasi, memberikan jawaban samar yang menguji kesabaran Ayu.
Ayu mencoba menanyakan tentang transfer dana besar yang terkait dengan Pusaka yang ia temukan di buku akuntansi ganda. Wijaya hanya tersenyum lebih lebar. "Ah, bisnis adalah bisnis, Detektif. Ada banyak transaksi yang terjadi setiap hari. Anda tidak bisa menuduh seseorang hanya berdasarkan nama sandi, bukan?"
Meskipun percakapan itu terasa buntu, Ayu merasakan adanya ketegangan di balik ketenangan Wijaya. Saat Wijaya lengah sebentar untuk mengambil telepon, Ayu bergerak cepat. Dengan lihai, ia menggunakan ponselnya untuk memotret beberapa dokumen yang tergeletak di meja Wijaya, yang tampak seperti daftar pengiriman. Sebuah tindakan berani dan berisiko. Ia juga memperhatikan sebuah ukiran kecil di sudut meja kerja Wijaya: **sebuah simbol naga dengan mata permata hijau**.
Ayu segera kembali ke Blitar dengan mobil dinasnya yang semakin rewel. Sesampainya di kantor, ia segera mengirimkan foto-foto dokumen itu kepada Suryo. Beberapa jam kemudian, Ayu menerima berita. Sebuah notifikasi berita kilat di ponselnya: "Kolektor Seni Terkenal Bapak Wijaya Meninggal Mendadak karena Serangan Jantung." Ayu merasakan darahnya berdesir dingin. Ini bukan kebetulan. Ini adalah pesan. Dan saat ia mencoba menghubungi kantor Wijaya untuk mendapatkan salinan dokumen yang ia curigai, ia diberitahu bahwa **kantor itu disegel dan semua dokumen terkait lenyap**. **Bukti dihancurkan secara aktif**.
---
Kematian Kolektor Naga memicu gelombang baru. Kompol Budi memanggil Ayu ke ruangannya. Wajahnya tegang, peluhnya menetes di pelipisnya. "Detektif, saya mendapat panggilan telepon langsung dari Jakarta. Dari... lingkaran yang sangat tinggi. Mereka ingin kasus ini ditutup. Sekarang juga. Pusaka sudah hilang cukup lama, kita bisa menganggapnya... ya, hilang saja. Mungkin lebih baik kita fokus pada teori penculikan biasa dan mencari tebusan. Jangan mencari-cari masalah baru."
Kompol Budi kemudian meletakkan sebuah amplop tebal berisi uang tunai di meja Ayu. "Ini untuk biaya operasional tambahan, Detektif. Anggap saja sebagai tunjangan. Jangan bilang tidak tahu." Matanya menatap Ayu dengan tatapan yang menguji. "Dan ingat, reputasi Anda dipertaruhkan. Anda tidak ingin karier Anda berakhir di Blitar, bukan? Anda sudah tahu rasanya gagal." Ini adalah **godaan finansial yang kotor** dan **ancaman halus** terhadap karier Ayu. Ayu menatap amplop itu, tangannya mengepal di bawah meja. Sebuah kilatan amarah melintas di matanya, mengingatkannya pada kasus Surabaya yang menghancurkan. Dia menolak amplop itu, mendorongnya kembali ke Kompol Budi. "Terima kasih, Komandan. Saya tidak butuh tunjangan tambahan untuk melakukan tugas saya."
Malam itu, saat Ayu sedang menganalisis jejak sepatu *boot* dengan lup di apartemen kecilnya, ia mendengar suara retakan yang keras dari luar. Ia bergegas ke jendela. Ban mobil dinasnya, yang baru saja ia perbaiki, kini kempes lagi, paku yang tajam menancap di bannya. Kemudian, sebuah batu besar dilempar ke jendela apartemennya, menciptakan retakan seperti sarang laba-laba. Sebuah pesan singkat muncul di ponselnya dari nomor tidak dikenal: "Jangan melangkah terlalu jauh, Detektif. Kami tahu di mana Anda tinggal. Kali ini, jendela Anda. Lain kali, bisa jadi kepala Anda."
Ayu merasakan adrenalin memompa dalam nadinya. Tangannya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena amarah yang membakar. Mereka tidak hanya mencoba menghalanginya, mereka mencoba membuatnya takut. Tapi amarahnya justru membakar tekadnya. Dia menelepon Suryo, suaranya sedikit gemetar namun tetap terkontrol, menceritakan ancaman yang ia terima.
Suryo terdiam di ujung telepon. "Mereka semakin dekat dengan kebenaranmu, Detektif. Itu pertanda baik. Itu berarti kau berada di jalur yang benar. Tapi, berhati-hatilah. Anjing yang terpojok akan menggigit lebih keras." Nada suaranya dingin, namun ada sedikit kekhawatiran yang tak terucap di sana. "Ini bukan lagi permainan kucing-kucingan, Detektif. Ini sudah menjadi pertarungan hidup dan mati."
---
Pengalihan yang Sempurna dan Bukti Palsu
Di tengah semua tekanan itu, sebuah teori baru tiba-tiba muncul dari kepolisian Blitar. Mereka "menemukan" bukti bahwa Pusaka terlibat dalam **perampokan bank kecil** beberapa bulan lalu di luar kota, dan kepergiannya adalah upaya untuk melarikan diri dari kejahatan itu. Bukti-bukti yang disajikan tampak sangat kuat: kesaksian yang sinkron dari beberapa saksi yang baru muncul, alibi Pusaka yang goyah pada hari kejadian (yang sebenarnya Ayu tahu itu karena Pusaka sedang melakukan perjalanan bisnis rahasia), dan beberapa jejak sidik jari yang "cocok" dengan Pusaka di TKP perampokan.
"Bukti-bukti ini, Detektif," kata Kapolres Budi, menatap Ayu dengan ekspresi kemenangan. "Mereka sangat kuat. Kita bisa menutup kasus ini sebagai upaya Pusaka melarikan diri dari kejahatan lain. Sederhana, cepat, dan tidak akan menimbulkan riak politik. Tidak ada penculikan, tidak ada penyelundupan. Hanya kriminal kecil yang kabur." Ini adalah **pengalihan yang sempurna**, dirancang untuk membuat kasus ini lenyap dari perhatian publik dan juga dari penyelidikan Ayu.
Suryo tertawa pahit mendengar kabar itu dari Ayu. "Lihat, Detektif? Begitulah cara mereka bekerja. Mereka menciptakan cerita yang cukup masuk akal untuk dipercaya orang banyak, dan cukup sederhana untuk menenangkan pihak berwenang. Lalu kebenaran yang busuk itu terkubur di bawah tumpukan kebohongan yang rapi."
"Bagaimana cara membuktikannya palsu?" tanya Ayu, frustrasi.
"Setiap kebohongan, tidak peduli seberapa rapi, pasti memiliki retakan," jawab Suryo. "Fokus pada apa yang tidak masuk akal. Sidik jari itu. Alibi yang goyah. Apakah itu terlalu sempurna? Terlalu mudah?"
Ayu kembali ke meja kerjanya. Dia tahu ini adalah titik krusial. Dia harus membongkar pengalihan ini, tidak hanya untuk kasus Pusaka, tetapi juga untuk harga dirinya, untuk keadilan yang ia yakini. Ia mengambil laporan sidik jari dari perampokan bank itu, membandingkannya dengan sidik jari Pusaka yang ia dapat dari dokumen lama. Ia menemukan perbedaan kecil yang nyaris tak terlihat, sebuah detail yang hanya bisa diungkap dengan mata teliti dan kesabaran seorang detektif yang teruji. **Sidik jari itu dipalsukan**, dengan teknik yang sangat canggih. Dan alibi yang goyah itu, ia menemukan bukti bahwa pada hari perampokan bank, Pusaka sebenarnya sedang berada di luar negeri untuk sebuah pertemuan bisnis rahasia yang terkait dengan jaringan penyelundupan, bukan untuk perampokan.
---
Pengungkapan bahwa sidik jari Pusaka di TKP perampokan bank adalah palsu, sebuah rekayasa tingkat tinggi, menguatkan keyakinan Ayu bahwa kasus ini jauh lebih kotor dari yang terlihat. Dia menyampaikan temuannya kepada Kompol Budi, berharap ada dukungan. Namun, reaksi Budi justru dingin. "Detektif, kami sudah punya saksi yang kredibel. Jaga integritas tim. Jangan sampai Anda terlihat... terlalu ambisius." Budi mengalihkan pandangan, menatap tumpukan berkas di mejanya, seolah tak ingin berlama-lama dalam percakapan ini. Perilaku Budi tak hanya mengindikasikan tekanan eksternal, tetapi juga konflik internal yang ia hadapi.
Ayu menyelinap kembali ke apartemennya yang kini terasa tidak aman. Setiap bayangan di luar jendela, setiap derit lantai di koridor, mengirimkan gelombang paranoid. Ia tahu ia sendirian dalam pertempuran ini, kecuali Suryo.
Ayu kembali menemui Suryo, membawa semua temuannya, termasuk foto ukiran naga dengan mata permata hijau di meja Kolektor Naga dan analisis sidik jari palsu. Suryo duduk di kursinya, menyeruput kopi. Raut wajahnya datar, namun matanya yang tajam menyorot Ayu dengan intensitas.
"Jadi, mereka mencoba mengalihkan perhatianmu dengan cerita perampokan bank," kata Suryo, nadanya tenang, hampir geli. "Kliasik. Penjahat besar selalu menciptakan cerita sampingan yang meyakinkan. Kebohongan yang bagus selalu memiliki sedikit kebenaran di dalamnya."
Ayu meletakkan foto ukiran naga itu di meja. "Ini. Saya menemukannya di meja Kolektor Naga. Simbol naga dengan mata permata hijau."
Suryo mengambil foto itu, mengamatinya. Sebuah kerutan muncul di dahinya. "Menarik. Ini bukan sekadar simbol bisnis, Detektif. Ini lambang sebuah... serikat. Tua dan sangat tertutup. Mereka beroperasi di seluruh dunia, menyelundupkan tidak hanya artefak, tetapi juga... informasi sensitif. Mungkin bahkan manusia." Suryo terdiam sesaat, seolah kenangan lama bangkit. "Saya pernah berurusan dengan mereka. Di kasus lama saya. Mereka licin, dan brutal." Matanya tampak menerawang, ke sebuah tempat yang jauh, penuh kepedihan.
"Lalu, kalung berlian ini," Ayu menyerahkan kalung putus yang ia sembunyikan. "Bukan milik Dian, tunangan Pusaka. Saya tidak bisa melacak asalnya dari toko perhiasan di Blitar."
Suryo mengambil kalung itu, mengamatinya di bawah cahaya lampu redup. Ia membalik kalung itu. Di balik liontin, ada ukiran inisial kecil: "M. A."
"M. A." Suryo bergumam. "Ini bukan kalung biasa, Detektif. Desainnya unik, mungkin dari desainer di luar negeri." Ia bangkit, berjalan ke rak buku yang dipenuhi ensiklopedia dan jurnal lama. Ia mengeluarkan sebuah jurnal lama yang tebal, berlabel "Interpol Confidential: Syndicate Profile - Southeast Asia". Ia membuka halaman-halaman yang sudah usang. Matanya mencari-cari, jari-jarinya menelusuri daftar nama.
"Maya. Maya Azalea," Suryo akhirnya berkata, nadanya serius. "Seorang agen lapangan Interpol. Menghilang tiga bulan lalu saat menyamar dalam operasi penangkapan jaringan penyelundupan artefak. Lokasi terakhir yang diketahui... Indonesia. Tidak ada yang tahu keberadaannya." Ia menatap Ayu, ekspresinya kini tak terbaca. "Ini dia. Gadismu."
Ayu merasakan darahnya berdesir dingin. Sebuah agen Interpol? Ini mengubah segalanya. "Jadi, Pusaka tidak diculik. Dia... melarikan diri dengan agen ini?"
"Atau bekerja sama dengannya," Suryo mengoreksi. "Jaringan ini sangat berbahaya, Detektif. Mereka tidak segan-segan menghilangkan siapa pun yang menjadi ancaman. Maya pasti mencoba membongkar mereka dari dalam. Dan Pusaka... dia bisa jadi korban, atau pion, atau bahkan... partnernya."
Ayu memikirkan kembali ucapan Anindya, "Kak Pusaka punya rencananya sendiri. Dia ingin lepas dari semua ini." Sebuah gambaran mulai terbentuk, namun masih buram. Percakapan mereka penuh jeda, pikiran yang tak terucap, dan deduksi yang berpacu di antara kedua detektif yang lelah itu.
---
Ayu tahu harus berkonfrontasi kembali dengan Ibu Retno Hartono. Kali ini, ia membawa kartu As: bukti tentang Kolektor Naga, inisial M.A. di kalung, dan petunjuk tentang keterlibatan Pusaka dalam jaringan penyelundupan.
Ayu menemui Ibu Retno di ruang meditasi pribadinya, aroma dupa menenangkan bercampur dengan ketegangan yang menyesakkan. Ibu Retno tampak semakin kurus, matanya cekung, seperti jiwanya telah terkikis.
"Ibu Retno," Ayu memulai, nadanya lembut namun tegas. "Saya tahu ini sulit. Tapi saya harus bertanya. Siapa Maya?"
Ibu Retno tersentak, ekspresinya yang rapuh pecah. Tangannya gemetar. "Maya...? Saya... saya tidak tahu siapa yang Anda maksud." Suaranya bergetar.
Ayu meletakkan kalung itu di depannya. "Inisial M.A. Kalung ini ditemukan di lokasi hilangnya Pusaka. Ini bukan milik Dian. Dan saya tahu, Pusaka terlibat dalam jaringan penyelundupan artefak kuno. Saya punya buktinya."
Melihat kalung itu, tubuh Ibu Retno bergetar hebat. Air mata mengalir deras dari matanya yang sembab, membasahi pipinya. "Dia... dia mencintainya," bisiknya, suaranya parau dan penuh kesakitan. "Pusaka... dia mencintai Maya. Dia bertemu dengannya saat mereka... berbisnis. Maya... dia ingin menolong Pusaka keluar dari semua ini." Ini adalah puncak dari **dilema moral** Ibu Retno, konflik antara loyalitas keluarga dan keinginan untuk melindungi putranya.
"Bapaknya... Bapak Wisnu... dia memaksa Pusaka untuk menikahi Dian demi perjanjian bisnis," Ibu Retno melanjutkan, setiap kata adalah pengakuan menyakitkan. "Pusaka membencinya. Dia ingin lepas dari semua ini. Dia... dia berencana kabur dengan Maya. Mengungkapkan semua kotoran Bapaknya, dan menghancurkan jaringan itu dari dalam. Mereka... mereka akan memulai hidup baru." Ia terisak, menyeka air matanya dengan sapu tangan. "Saya... saya hanya ingin melindungi dia, Detektif. Seperti setiap ibu. Tapi saya tahu... saya tahu Pusaka membuat pilihan. Pilihan untuk melawan. Dan saya... saya terlalu takut untuk membantunya."
Ini bukan lagi sekadar interogasi. Ini adalah pengakuan seorang ibu yang patah hati, terjebak di antara kesetiaan kepada suami yang kejam dan cinta kepada putra yang memberontak. Konflik kemanusiaan Ibu Retno jelas terukir di wajahnya yang pucat dan mata yang putus asa. Ia adalah korban juga, terjebak dalam jaring laba-laba yang ditenun suaminya. Ayu merasakan gelombang empati.
Dengan pengakuan Ibu Retno, Ayu dan Suryo kini memiliki gambaran yang jauh lebih jelas. Pusaka dan Maya tidak diculik; mereka **merekayasa penghilangan mereka sendiri** untuk kabur dan menjadi saksi kunci yang akan membongkar jaringan penyelundupan dan membersihkan nama Pusaka. Tujuannya adalah untuk menghancurkan ayah Pusaka dan jaringan yang dikendalikannya.
Suryo kini jauh lebih aktif. Ia menelepon kontak-kontak lamanya di Interpol dan jaringan bawah tanah. "Mereka tidak akan pergi jauh jika mereka berencana mengungkap," kata Suryo. "Mereka akan bersembunyi di tempat yang familiar bagi Pusaka, tapi cukup terpencil untuk menghindari pantauan. Sebuah tempat yang bisa menjadi posko operasi sementara."
Ayu memikirkan kembali semua bukti yang ia temukan. Percikan tinta printer di vila. Jejak sepatu *boot* Pusaka. Ia teringat percakapan dengan Anindya tentang "rencana sendiri" Pusaka. Suryo, dengan intuisinya yang tajam, menyatukan kepingan itu. "Tinta printer itu... Apakah Pusaka punya tempat lain yang ia gunakan untuk bisnis rahasia? Mungkin sebuah gudang, atau properti lama keluarga?"
Ayu teringat pembicaraan tentang gudang lama keluarga Hartono di pinggir kota Blitar, yang dulunya digunakan untuk menyimpan artefak sebelum direnovasi menjadi vila mewah. Sebuah gudang yang kini jarang digunakan, hampir terlupakan. Menggunakan analisis forensik pada **percikan tinta printer** itu, mereka menemukan bahwa tinta tersebut cocok dengan printer spesifik yang dulunya ada di kantor lama di gudang tersebut. Dan **jejak sepatu *boot***? Ayu ingat bahwa Pusaka memang sering memakai sepatu *boot* itu saat ia mengunjungi gudang untuk memeriksa stok lama.
"Gudang tua di Jalan Melati, ujung kota," Ayu akhirnya berkata, napasnya sedikit tersengal. "Itu pasti di sana."
Suryo mengangguk. "Itu tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Terpencil, dan di luar pantauan orang luar." Ia menatap Ayu dengan ekspresi serius. "Tapi, Detektif, jika kita bisa menemukannya, mereka juga bisa. Jaringan itu pasti sudah tahu Maya itu agen Interpol. Dan Wisnu Hartono... dia tidak akan membiarkan putranya menjadi pengkhianat."
---
Perjalanan Ayu dan Suryo ke gudang itu diwarnai ketegangan yang mencekam. Mereka menggunakan mobil Suryo yang tua, mencoba menghindari jalan-jalan utama. Ayu merasakan setiap derak suspensi, setiap sorot lampu mobil di belakang mereka, seolah ancaman itu terus membuntuti. Ponsel Ayu berdering. Kompol Budi.
"Detektif, saya dengar Anda menuju ke suatu tempat," suara Budi terdengar tegang, berbisik. "Berhenti sekarang. Ini bukan lagi kasusmu. Ini sudah ditangani oleh... pihak yang lebih tinggi." Ada jeda panjang. "Saya tidak bisa melindungimu lagi. Tinggalkan saja. Anggap ini peringatan terakhir." Jelas, Budi mendapat tekanan yang sangat besar, hingga ia mengkhianati hati nuraninya. Ini adalah **negosiasi terakhir** yang Ayu hadapi dari atasannya, sebuah **godaan untuk menyerah** demi keselamatan dan karier.
Ayu menatap Suryo. Suryo hanya mengangguk, matanya mengisyaratkan, 'Pilihan ada di tanganmu, Detektif.'
"Maaf, Komandan," kata Ayu, nadanya tegas. "Kasus ini belum selesai." Ia menutup teleponnya, mematikan ponsel. Ia tahu, setelah ini, tidak ada jalan mundur.
Mereka tiba di gudang. Suasana dingin, sunyi, dan dipenuhi debu. Aroma besi berkarat dan tanah basah menyengat hidung. Jantung Ayu berdetak kencang di dadanya. Mereka membuka pintu baja yang berkarat, menciptakan derit panjang yang memekakkan telinga.
Di dalam, pemandangan mengerikan menunggu.